Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ujung Ajaran Islam (Renungan)

2 Juni 2017   19:41 Diperbarui: 3 Juni 2017   06:25 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ujung ajaran Islam dapat terjadi dan terlihat jika semua perintah dan larangan Allah SWT dilaksanakan. Ini adalah teori tetapi sekaligus prakteknya.

Ujung ajaran Islam adalah perilaku-perilaku seorang muslim yang membuat orang lain merasa dihormati atau dihargai atau dicintai. Selain itu, ujung lainnya adalah perilaku ibadahnya tidak demonstratif tetapi dirasakan keikhlasannya—oleh orang dekatnya khususnya. Ujung-ujung ajaran Islamnya boleh dibilang bakal menyentuh sisi relasi sesama manusia dan sisi relasi ketuhanannya.

Sepasang suami-istri akan merasa dihormati, sekaligus dihargai dan dicintai oleh anaknya yang muslim manakala anaknya berperilaku santun dalam bicara, tak meninggikan nada, tanggap memberi pertolongan ketika mereka membutuhkan, menengok ketika mereka tinggal di tempat berbeda, dan seterusnya.

Itu adalah akhlak seorang muslim pada orang tuanya, yang merupakan salah satu ujung ajaran Islam.

Tetangga-tetangga dari seorang muslim akan merasakan kebahagiaan atau kesenangan tinggal bersamanya dalam sebuah lingkungan perumahan. Sikap seorang muslim pada tetangganya sesuai ajaran Islam adalah memperlakukan dengan baik. Bahkan sekiranya masakannya sampai membuat tetangganya dapat mencium aromanya, menjadi anjuran keras agar tetangganya diberi makanan tersebut. Islam tidak memilah mana tetangga muslim mana tetangga nonmuslim ketika bicara berbagi makanan itu.

Ajaran Islam diakses oleh seorang anak pertama kalinya adalah dari orang tuanya. Anak kecil dari keluarga muslim bisa saja mulai belajar mengaji dari ayah atau ibunya atau dari keduanya. Tetapi sesungguhnya anak kecil belajar ajaran Islam dengan meniru perilaku orang tuanya.

Banyak orang tahu ini. Sayangnya, pengetahuan itu hanya berhenti di kepala sang orang tua, tidak berlanjut ke kaki, tangan, lidah, dan tubuhnya dalam wujud perilaku. Misalnya sang anak disuruh shalat dan mengaji, tetapi orang tuanya tidak konsisten melaksanakan shalat dan mengaji.

Selanjutya, sang anak mengakses pelajaran Islam dari guru agama di sekolahnya. Dengan jumlah jam pelajaran yang tidak banyak, maka tentu saja ajaran Islam menjadi kurang cukup untuk bekal sang anak kelak ketika lulus SD, SMP, dan SMA. Kecuali tentu saja madrasah ibtidaiyah, madrasan tsanawiyah, dan madrasah aliyah yang memberi ajaran Islam dalam porsi yang dilebihkan dari SD/SMP/SMA.

Masyarakat adalah tempat belajar dan sekaligus tempat praktek anak-anak usia sekolah menimba pengetahuan/ajaran Islam. Guru di sekolah dan para orang dewasa di masyarakat adalah pihak yang menjadi panutan kedua, setelah orang tua, bagi anak-anak yang tumbuh dewasa.

Ketika ajaran Islam lebih sebagai pengetahuan di kepala saja, yang siap dikeluarkan manakala diperlukan (misalnya untuk ulangan dan ujian di sekolah), maka kritik dari Imam Syafi’i rahimahullah, menjadi sangat relevan dikutipkan di sini: “Pengetahuan adalah apa yang memberi manfaat, bukan apa yang dihafalkan.” Maksudnya, seseorang yang bisa mengucapkan sesuatu ilmu tapi tak terlihat dalam tindakan, maka dia belum berpengetahuan.

Dia juga mengatakan: “Pengetahuan tanpa diwujudkan pada tindakan adalah sebuah kesombongan.” Ini merupakan kritik pedas pada orang-orang yang sepertinya berpengetahuan tetapi tak pernah terlihat di ujungnya, yaitu tak terlihat dalam perilaku, sehingga orang ini dikategorikan sombong.

Jika anak-anak dan remaja mendapatkan para orang tua, orang dewasa di masyarakat, dan guru di sekolah belum menjadi panutan dalam ajaran Islam, maka tentu saja sulit berharap bahwa anak-anak dan para remaja itu akan tumbuh menjadi muslim yang ber-ajaran agama Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dan kita saksikan bersama, dalam chat, dalam perdebatan di medsos, pihak-pihak yang berdebat sangat piawai menyebutkan ayat dan hadits sebagai dalil pendukung. Pengetahuan telah dikuasai, tetapi justru inilah yang disindir Imam Syafi’i rahimahullah di atas.

Selain ujung ajaran Islam dalam konteks sesama manusia, terdapat ujung ajaran Islam dalam konteks hubungan dengan Allah. Meski berdimensi spiritual, sebenarnya dapat mempengaruhi cara pikir dan perilaku seorang muslim dalam berhubungan dengan sesama manusia. Keikhlasan beribadah—yang terlihat dan terasakan oleh orang-orang terdekatnya—dapat berimbas pada keikhlasan dalam relationship dengan orang-orang lain.

Keikhlasan meski seringkali tak dapat diverifikasi, tetapi sebenarnya dapat dirasakan oleh orang-orang disekitar. Keikhlasan menjalankan akhlak Rasulullah SAW, dalam 4 hal ini: shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh, akan berujung pada suasana yang kondusif untuk kedamaian  lingkungan.

Banyak orang yang merasa bahwa suasana masyarakat sekarang ini berbeda dari suasana 10 tahun lalu, terutama suasana sosial-politik. Sebutan masyarakat yang terpolarisasi pun muncul, khususnya antara yang keislaman dan yang keindonesiaan.

Selain itu, polarisasi masyarakat pun masih berlanjut. Kemelut antara muslim yang “Islam” dan muslim yang “munafik” berlanjut dari masalah Gubernur yang sudah divonis ke masalah kriminalisasi dan pembelaan atas seorang Ulama. Dan yang terbaru, polarisasi itu berlanjut pada  penyerang “Dek Afi” versus pendukung “Dek Afi.”

Muslim yang mengamalkan ajaran Islam dengan ikhlas dapat dikatakan akan terlihat dan terasakan oleh orang lain sebagai orang Islam yang Indonesia; atau orang Indonesia yang Islam. Jika dia berada bersama keluarga, itu tak menjadi masalah. Ketika dia berada bersama orang lain, khususnya yang sesama muslim, dia menjadi waspada, karena muslimin (jamak dari muslim) itu bisa menuduhnya “muslim yang Islam” atau sebaliknya “muslim yang munafik.” Yang terasa tidak lagi soal salah atau benar, tetapi menjadi soal perpecahan.

Sungguh disayangkan bahwa ujung ajaran Islam menjadi yang demikian ini.

Mungkin semangat politik hari ini masih sama dengan semangat politik 85 tahun lalu, di mana saat itu masih kental dengan semangat agitasi menyiapkan Indonesia Merdeka daripada upaya kerja secara nyata dalam organisasi. Berikut ini tulisan Bung Hatta tahun 1932:

“Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahu menahan sakit. Indonesia Merdeka tidak akan tercapai dengan agitasi saja. Perlu kita bekerja dengan teratur; dari agitasi ke organisasi.”  

Sebaiknya kita mengingat kembali sebuah peringatan yang selalu disampaikan oleh Khatib Jumat dari surat An-Nahl ayat 90 yang terjemahanny berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadaamu agar kamu dapat mengerti.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun