Jika anak-anak dan remaja mendapatkan para orang tua, orang dewasa di masyarakat, dan guru di sekolah belum menjadi panutan dalam ajaran Islam, maka tentu saja sulit berharap bahwa anak-anak dan para remaja itu akan tumbuh menjadi muslim yang ber-ajaran agama Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dan kita saksikan bersama, dalam chat, dalam perdebatan di medsos, pihak-pihak yang berdebat sangat piawai menyebutkan ayat dan hadits sebagai dalil pendukung. Pengetahuan telah dikuasai, tetapi justru inilah yang disindir Imam Syafi’i rahimahullah di atas.
Selain ujung ajaran Islam dalam konteks sesama manusia, terdapat ujung ajaran Islam dalam konteks hubungan dengan Allah. Meski berdimensi spiritual, sebenarnya dapat mempengaruhi cara pikir dan perilaku seorang muslim dalam berhubungan dengan sesama manusia. Keikhlasan beribadah—yang terlihat dan terasakan oleh orang-orang terdekatnya—dapat berimbas pada keikhlasan dalam relationship dengan orang-orang lain.
Keikhlasan meski seringkali tak dapat diverifikasi, tetapi sebenarnya dapat dirasakan oleh orang-orang disekitar. Keikhlasan menjalankan akhlak Rasulullah SAW, dalam 4 hal ini: shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh, akan berujung pada suasana yang kondusif untuk kedamaian lingkungan.
Banyak orang yang merasa bahwa suasana masyarakat sekarang ini berbeda dari suasana 10 tahun lalu, terutama suasana sosial-politik. Sebutan masyarakat yang terpolarisasi pun muncul, khususnya antara yang keislaman dan yang keindonesiaan.
Selain itu, polarisasi masyarakat pun masih berlanjut. Kemelut antara muslim yang “Islam” dan muslim yang “munafik” berlanjut dari masalah Gubernur yang sudah divonis ke masalah kriminalisasi dan pembelaan atas seorang Ulama. Dan yang terbaru, polarisasi itu berlanjut pada penyerang “Dek Afi” versus pendukung “Dek Afi.”
Muslim yang mengamalkan ajaran Islam dengan ikhlas dapat dikatakan akan terlihat dan terasakan oleh orang lain sebagai orang Islam yang Indonesia; atau orang Indonesia yang Islam. Jika dia berada bersama keluarga, itu tak menjadi masalah. Ketika dia berada bersama orang lain, khususnya yang sesama muslim, dia menjadi waspada, karena muslimin (jamak dari muslim) itu bisa menuduhnya “muslim yang Islam” atau sebaliknya “muslim yang munafik.” Yang terasa tidak lagi soal salah atau benar, tetapi menjadi soal perpecahan.
Sungguh disayangkan bahwa ujung ajaran Islam menjadi yang demikian ini.
Mungkin semangat politik hari ini masih sama dengan semangat politik 85 tahun lalu, di mana saat itu masih kental dengan semangat agitasi menyiapkan Indonesia Merdeka daripada upaya kerja secara nyata dalam organisasi. Berikut ini tulisan Bung Hatta tahun 1932:
“Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup berjuang, tidak tahu menahan sakit. Indonesia Merdeka tidak akan tercapai dengan agitasi saja. Perlu kita bekerja dengan teratur; dari agitasi ke organisasi.”
Sebaiknya kita mengingat kembali sebuah peringatan yang selalu disampaikan oleh Khatib Jumat dari surat An-Nahl ayat 90 yang terjemahanny berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadaamu agar kamu dapat mengerti.”