Ujung ajaran Islam dapat terjadi dan terlihat jika semua perintah dan larangan Allah SWT dilaksanakan. Ini adalah teori tetapi sekaligus prakteknya.
Ujung ajaran Islam adalah perilaku-perilaku seorang muslim yang membuat orang lain merasa dihormati atau dihargai atau dicintai. Selain itu, ujung lainnya adalah perilaku ibadahnya tidak demonstratif tetapi dirasakan keikhlasannya—oleh orang dekatnya khususnya. Ujung-ujung ajaran Islamnya boleh dibilang bakal menyentuh sisi relasi sesama manusia dan sisi relasi ketuhanannya.
Sepasang suami-istri akan merasa dihormati, sekaligus dihargai dan dicintai oleh anaknya yang muslim manakala anaknya berperilaku santun dalam bicara, tak meninggikan nada, tanggap memberi pertolongan ketika mereka membutuhkan, menengok ketika mereka tinggal di tempat berbeda, dan seterusnya.
Itu adalah akhlak seorang muslim pada orang tuanya, yang merupakan salah satu ujung ajaran Islam.
Tetangga-tetangga dari seorang muslim akan merasakan kebahagiaan atau kesenangan tinggal bersamanya dalam sebuah lingkungan perumahan. Sikap seorang muslim pada tetangganya sesuai ajaran Islam adalah memperlakukan dengan baik. Bahkan sekiranya masakannya sampai membuat tetangganya dapat mencium aromanya, menjadi anjuran keras agar tetangganya diberi makanan tersebut. Islam tidak memilah mana tetangga muslim mana tetangga nonmuslim ketika bicara berbagi makanan itu.
Ajaran Islam diakses oleh seorang anak pertama kalinya adalah dari orang tuanya. Anak kecil dari keluarga muslim bisa saja mulai belajar mengaji dari ayah atau ibunya atau dari keduanya. Tetapi sesungguhnya anak kecil belajar ajaran Islam dengan meniru perilaku orang tuanya.
Banyak orang tahu ini. Sayangnya, pengetahuan itu hanya berhenti di kepala sang orang tua, tidak berlanjut ke kaki, tangan, lidah, dan tubuhnya dalam wujud perilaku. Misalnya sang anak disuruh shalat dan mengaji, tetapi orang tuanya tidak konsisten melaksanakan shalat dan mengaji.
Selanjutya, sang anak mengakses pelajaran Islam dari guru agama di sekolahnya. Dengan jumlah jam pelajaran yang tidak banyak, maka tentu saja ajaran Islam menjadi kurang cukup untuk bekal sang anak kelak ketika lulus SD, SMP, dan SMA. Kecuali tentu saja madrasah ibtidaiyah, madrasan tsanawiyah, dan madrasah aliyah yang memberi ajaran Islam dalam porsi yang dilebihkan dari SD/SMP/SMA.
Masyarakat adalah tempat belajar dan sekaligus tempat praktek anak-anak usia sekolah menimba pengetahuan/ajaran Islam. Guru di sekolah dan para orang dewasa di masyarakat adalah pihak yang menjadi panutan kedua, setelah orang tua, bagi anak-anak yang tumbuh dewasa.
Ketika ajaran Islam lebih sebagai pengetahuan di kepala saja, yang siap dikeluarkan manakala diperlukan (misalnya untuk ulangan dan ujian di sekolah), maka kritik dari Imam Syafi’i rahimahullah, menjadi sangat relevan dikutipkan di sini: “Pengetahuan adalah apa yang memberi manfaat, bukan apa yang dihafalkan.” Maksudnya, seseorang yang bisa mengucapkan sesuatu ilmu tapi tak terlihat dalam tindakan, maka dia belum berpengetahuan.
Dia juga mengatakan: “Pengetahuan tanpa diwujudkan pada tindakan adalah sebuah kesombongan.” Ini merupakan kritik pedas pada orang-orang yang sepertinya berpengetahuan tetapi tak pernah terlihat di ujungnya, yaitu tak terlihat dalam perilaku, sehingga orang ini dikategorikan sombong.