Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Bisakah Mendukung Anies Tanpa Menjadi Benci Ahok

28 Maret 2017   17:55 Diperbarui: 29 Maret 2017   02:00 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini tak membahas pilihan calon mana yang benar, meski topiknya berada dalam wilayah politik. Tulisan ini tak membahas soal iman dan tauhid, meski temanya menyangkut masalah Gubernur Muslim. Apa yang salah dengan para pendukung pak Ahok tak dibahas di sini. Juga, apa yang benar dengan para pendukung pak Anies takkan dibahas.

Sebenarnya tulisan ini mengajak: “Yuk mendukung Cagub idaman tanpa menyimpan rasa benci kepada Cagub lawan.” Dan khususnya kepada Umat Islam, saya yang Muslim mengajak Pilkada damai. Bagi Muslimin pendukung Paslon 2 monggo pilih pak Ahok. Bagi Muslimin pendukung Gubernur Muslim monggo pilih Paslon 3.

Sehingga ketika rakyat DKI “memutuskan” salah satu Paslon menjadi Gubernur DKI periode 2017 – 2022, luka hati di kedua pihak jangan sampai parah dan berkelanjutan.

Tetapi saya sengaja memasang judul “Bisakah Mendukung Anies Tanpa Menjadi Benci Ahok” karena lebih sulit bagi kelompok yang besar (umat Islam yang mayoritas) menahan diri dari emosi yang tidak perlu. Lebih pantas kelompok yang besar melakukan upaya sabar, khususnya terkait komunikasi.

Dari sebuah artikel yang banyak beredar di media sosial, Nama panggilan cagub nomor 2, “Ahok,” disebutkan totalnya sampai 39 kali. Tetapi itu ditulisan dalam tiga nama yang berbeda, yaitu Zhong Wan Xie disebutkan 3 kali, Ahok disebutkan 5 kali, dan Ahoax disebutkan 31 kali.

Sementara nama Anies disebutkan totalnya 30 kali, dan konsisten disebutkan dengan sebutan “Anies.”  

Dari cara penulisan dan penyebutan itu saja sudah terasa rasa kesal yang tertahan atau rasa amarah yang tertahan. Belum lagi kata-kata sifat yang dilekatkan pada pak Ahok. Kata-kata sifat yang dilekatkan, dan biasa kita menyebutnya dengan melabel atau memberi label, seperti terurai dalam kalimat-kalimat panjang ini:

  • … bak seorang dosen yang sedang mengajari seorang mahasiswa yang lambat nalar berpikirnya, dalam debat malam ini Anies menjelaskan apa saja kelebihan program KJP Plus kepada Zhong Wan Xie alias Ahoax yang nampak sangat kebingungan dan sulit untuk mengerti
  • Hal ini sebetulnya tidaklah aneh karena intelektual dan kecerdasan Anies yang seorang Ph.D, seorang Doktor Sarjana Strata 3 dibandingkan dengan Ahoax mahasiswa pas-pasan yang bahkan IPK (Indeks Prestasi Komulatif) nya hanya 2,8 memang terlalu jauh
  • Anies juga membongkar perilaku kasar dan arogan Ahoax yang seringkali mencaci maki
  • Segala kesombongan Ahoax yang berusaha membanggakan diri bahwa ia telah banyak berhasil

Adalah wajar kita sebagai umat Islam merasa kesal atau marah pada seseorang non-Muslim yang (kita tuduh) menista agama kita. Tetapi, menjadi tidak bijaksana ketika rasa amarah itu kita biarkan menguasai diri kita sehingga tumpah pada tulisan. Sebab tulisan akan tersimpan lama. Apalagi tulisan itu disertai gambar ilustrasi yang pada hakekatnya juga berdampak buruk yang sama atau malah lebih besar.

Artikel yang menyebar luas via medsos (baik WA maupun FB), membuat dampak buruk dalam hal efek multiplier-nya. Kata-kata yang belakangan muncul dari masyarakat bisa menjadi semakin kasar dan menyakitkan hati, seperti  Dalih bahwa pendukung Ahok-lah yang lebih dulu membuat pernyataan yang menyakitkan hati, bukan dalih yang baik meski boleh membalas. Justru yang baik di mata Allah adalah tidak membalas sesuatu tindakan tidak baik dengan perbuatan yang juga tidak baik.

Dalam Islam, ketika kita sedang marah, maka kita dianjurkan untuk mengambil air wudhu. Syukur-syukur kita lanjutkan dengan shalat sunnah. Sehingga rasa amarah itu mereda.

Dan setelah kita tidak terlalu dipengaruhi emosional itu, dengan ingatan pada ajaran adab Islam dalam berkomunikasi, kita bisa menjadi lebih strategis dan taktis menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun