Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyikapi "Cina" Secara Proporsional

7 Maret 2017   15:40 Diperbarui: 8 Maret 2017   02:00 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kata “Cina” telah menjadi kata yang membuat obrolan singkat antar teman di sebuah grup WhatsApp (WA) sempat terasa tidak enak. Itu karena diawali oleh sebuah kisah yang berintikan perlunya mewaspadai Cina. Kisah itu telah diringkas seperti berikut ini yang aslinya merupakan obrolan antara seorang warga Turkistan Timur (atau Turkistan Cina) dengan seorang mahasiswa WNI. Kejadiannya di Arab Saudi:

Dulu Mereka Tukang Sapu, Sekarang Kami yang Mereka Sapu: Pelajaran Untuk Indonesia

…sekitar 60 tahun yang lalu, mereka orang-orang Cina datang baik-baik ke negara kami, bekerja, melancong, dll. Dengan berjalannya waktu, pemerintahan kami lalai dan menganggap keberadaan mereka biasa saja. Padahal pergerakan mereka masif, diam tapi pasti, targetnya panjang. Lalu jumlah mereka semakin banyak, banyak yang sudah mengambil warga negara Turkistan.

Pemerintahan kami tetap tidak sadar. Dan akhirnya mereka (Cina) melakukan kudeta. Presiden kami mereka bunuh. Pemerintahan jatuh ke tangan mereka. Pada saat kudeta itu, ratusan ribu pribumi pindah ke bermacam negara lain. Karena kekejaman kekuasaan Cina. Dulu MEREKA HANYALAH TUKANG SAPU, SEKARANG KAMI YANG MEREKA SAPU.

Disana semuanya serba ketat akhi. Kenapa ana sudah 9 tahun tidak balik ke Turkistan?! Karena mereka melarang siapapun pergi belajar ke negara Islam. Ketika pembuatan pasport mereka mensyaratkan tidak boleh pergi ke Negara Islam, seperti Saudi dan Turki. Akhirnya ana bilang bahwa ana mau kuliah ke Jepang, dari Jepang ana ke Saudi. Mereka berikan izin.

Nah, jika kembali ke Turkistan, lalu mereka lihat di passport tertulis negara Islam. Ana akan dipenjara kurang lebih 10 tahun. Dan di Turkistan sekarang ini, setiap hari orang-orang Cina berdatangan ke Turkistan, ribuan orang. Mereka diberikan tempat tinggal, diberi pekerjaan dan fasilitas. Sedangkan orang orang pribumi, dikekang bahkan diusir.

Sholat dilarang, azan dilarang. Jilbab kalau warna hitam akan dirobek ditempat. Jenggot dilarang. Setiap beberapa meter ada pemeriksaan. Handphone diperiksa, jika ada tulisan Allah atau ayat Quran maka bisa ditangkap dan dipenjara.

Tidak boleh mengucapkan kata jihad. Kalau bertamu harus melapor dulu. Kalau tidak melapor tuan rumah bisa dipenjara 10 tahun. Beli pisau agak besar dilarang.

Wah… akhi!(brother) Jangan sampai kalian tertidur atau lalai sedikitpun. Jangan sampai pemerintah kalian menganggap enteng hal ini. Keberadaan mereka merusak sekali. Mereka seperti tak punya keprimanusiaan. Egois."

Sharing oleh A di Grup WA itu, ditutup dengan kalimat ajakan ini:

Tolong di share ya ...supaya yg lain yg masih bela-bela nonmuslin untuk jadi pemimpin biar pada sadar ini kisah nyata bukan hoax....

Segera muncul tanggapan terima kasih dari dua teman lain yang merasa sependapat. Sesudah itu orang keempat (B) menulis ini:

Para sahabat tercinta...

Semakin ke sini, sharing-sharing tentang bangsa Cina (RRC) khususnya tentang kelakuan buruk mereka sebagai bangsa dan negara semakin banyak. Saya merasa ada yang aneh. Tetapi, jika sharing-sharing itu benar, tentu kita bisa senang. Hari ini, sedang terjadi upaya penyebaran info dan berita yang menyesatkan (misleading) agar tercipta ketakutan pada bahaya Cina. Jangan-jangan sedang terjadi penanaman pikiran bahwa Indonesia dlm bahaya ancaman ekspansi Cina.

Mohon maaf bahwa saya bicara terus terang seperti ini.

A memberi komentar balik begini:

Upaya eskpansi China itu ada, bukan hanya Turkestan, lihat juga Tibet yg dianeksasi, Kepala negaranya Dalai Lama dan keluarganya terusir, dan jadi pelarian di negara lain. Jadi sbg bangsa kita harus waspada. Lihat juga ulah mereka di Laut Cina Selatan. Bahkan di perairan Natuna.

B menjawab:

Yg harus waspada tuh kita2 yg ada di grup ini jugakah? Orang-orang Warga Negara Cina yg lolos jadi pekerja di beberapa daerah di Indonesia ketahuannya belakangan. Siapakah yg seharusnya waspada? Terus ngomongin praktisnya nih, apa sih maksudnya "kita harus waspada" itu? Kita-kita kita di grup ini tuh persisnya harus waspada yg bagaimana terhadap bahaya Cina?

Seorang teman, C, turut berpendapat:

Maaf, bang B. Memang TIDAK SEMUA CINA INDONESIA BURUK. Yang kita waspadai adalah PARTAI CINA KOMUNIS yang saat ini tampak banyak dan nyata gejal kebangkitannya ... Mengingat Indonesia punya sejarah serupa. Maaf kalau benar ... mengerikan.

B menyambung:

Partai Komunis Cina hari ini adalah partai yang pragmatis. Dua hal ingin saya share:

1. Ekonomi negeri mereka sudah dikelola berbasis pasar sejak 1978. Perkembangan ekonomi ekonomi selama bertahun-tahun terbilang tinggi. Meskipun mereka masih tergolong Negara berkembang, GDP mereka tinggi, sukes mengentaskan 800 juta orang miskin, dan mencapai semua target MDG mereka tahun 2015. Artinya, secara ideologi, Komunisme itu sesungguhnya sudah kalah (lihat Rusia dan Eropa Timur). Komunisme sudah bukan ancaman dunia. Yang mengancam adalah ego bangsa. Yang setiap bangsa punya ego masing-masing (nasionalisme).

2. Soal bahaya komunisme butuh tempat tersendiri utk diskusinya (soalnya kita terlalu ketakutan dengan “bahaya Komunisme” padahal bahayanya apa tidak dibahas dengan konkret dan ditambah kita juga lupa membahas bentengnya).

Kesimpulan: Yuk kita berpandangan proporsional dan bersikap proporsional.

A menukas:

Ini bukan soal Ahok, nggak ada kaitannya. Lihat pidato Panglima TNI di depan tokoh mahasiswa se Indonesia di Universitas Trisakti tentangg harus adanya kewaspadaan kita sbg warga negara terdidik.

B menjawab:

Betul...bukan soal Ahok. Tapi soal bahaya Cina. Tapi yuk kita bahas secara proporsional. Dan secara adil.

Seorang teman lainnya lagi, D, cepat berkomentar pedas:

Bukan soal Ahok...tapi dalam rangka pilkada tentunya... Udaaaah aah...malees...

Untunglah, dengan komentar terakhir itu, B punya kesempatan menutup percakapan segera dengan kata-kata “case closed.” Maka percakapan itu pun berhenti.

Lalu apa yang menjadi pelajarannya?

Kata “Cina” dalam enam bulan terakhir ini pemakaiannya dalam obrolan dan perdebatan meningkat pesat. Itu disertai rasa jijik, atau benci, pada sebagian orang. Apalagi ditambah isu kedatangan 10 juta orang warga RRC ke Tanah Air, isu Sembilan Naga yang akan menguasai negeri ini, plus berita tertangkapnya penduduk WN Cina yang bekerja di sawah atau di pabrik tanpa izin kerja. Rasa benci itu bertambah dan bahkan bercampur dengan rasa takut dan rasa marah.

Itu semua bisa dihindari jika kita memandang Cina, baik WNI keturunan Cina maupun RRC secara wajar; secara proporsional. Lebih banyak jumlah WNI keturunan Cina yang berjasa dibandingkan dengan jumlah WNI keturunan yang jadi penjahat. Kalau pun ada konglomerat WNI keturunan Cina yang ngemplang uang negara, jangan lupa banyak pejabat yang ngemplang uang negara. Bertepuk tangan tak pernah sebelah tangan, selalu dua tangan. Kejadian kolusi itu karena kedua pihak bersepakat mencuri uang negara.

Bahaya RRC di Laut Cina Selatan, ya sebaiknya kita serahkan kepada negara untuk mengurusnya. Begitu juga dengan bahaya lainnya terhadap negara. Tak perlu kita menghabiskan waktu dalam diskusi dan perdebatan yang tidak perlu dan dalam debat yang menjadikan kita emosi.

Lebih baik kita berkarya sebaik mungkin—supaya produktivitas nasional meningkat. Lebih baik kita tingkatkan gotong-royong kita—supaya kita menjadi bangsa yang dapat bergerak maju.

 (Sumber foto: http://www.ragamseni.com/tarian-tradisional-dari-betawi-yang-wajib-kamu-ketahui/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun