Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Haruskah Ciptakan Musuh Bersama untuk Bisa Bersatu?

12 Desember 2016   17:03 Diperbarui: 13 Desember 2016   16:34 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakyat Indonesia mulai menunjukkan sebagai kesatuan sebuah bangsa adalah pada tahun 1928 ketika para pemudanya yang berasal dari berbagai suku menyatakan kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa.

Kesadaran adanya 'musuh bersama' yaitu penjajah Belanda membuat rakyat Indonesia bisa menghimpun persatuan untuk terus berperang melawan mereka. Kebersatuan rakyat Indonesia melawan'musuh bersama' itu terus berlanjut hingga 1948 ketika terjadi serangan agresi Belanda atas kedaulatan negara Republik Indonesia. Bahkan Belanda belum menyatakan pengakuan atas kemerdekaan itu sampai setahun kemudian, pada tanggal 27 Desember 1949 saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.

Ketika bangsa Indonesia resmi bebas dari 'musuh bersama' bernama 'penjajah Belanda' yang hengkang dari Tanah Air, maka bangsa Indonesia terbebas dari musuh nyata. Lalu beralihlah musuh bersama itu dari musuh yang nyata menjadi musuh yang abstrak. Musuh abstrak yang merupakan musuh bersama itu berupa: buta huruf, rendah pendidikan formal, penyakit fisik, lemahnya ekonomi bangsa, infrastruktur fisik yang kurang, dan lain-lain.

Mungkin karena musuh-musuh yang banyak bentuknya dan ragamnya, maka menjadi kesibukan masing-masing kelompok 'melawan' atau 'membasmi' musuh-musuh itu. Kelompok-kelompok itu bisa berupa wilayah/daerah, bisa pula berupa partai, atau golongan. Mungkin karena perhatian, budaya, dan kemampuan menangkal ragam musuh itu tidak sama antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka prioritas 'musuh bersama' pun menjadi berbeda antar kelompok itu.

Mungkin karena itu pula maka akhirnya sulit bagi bangsa Indonesia untuk bersatu sebagai bangsa dalam melihat 'musuh' utamanya yang mana yang harus dilawan bersama. Tidaklah mengherankan bahwa tidak ada visi yang mengikat bangsa ini untuk bersatu dan tidak ada semangat kebersamaan yang dapat mengikat bangsa ini untuk bersatu.

Visi dan semangat kita secara berkelompok menjadi lebih kuat daripada visi dan semangat kita secara bangsa Indonesia. Visi dan semangat 'persatuan Indonesia' dan 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' dalam Pancasila ternyata tidak cukup kuat mengikat rasa bersatunya bangsa Indonesia untuk maju bersama.

Di saat yang demikian, tiba-tiba muncul 'musuh bersama' yang nyata, yaitu pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk sesaat, maka bangsa Indonesia, utamanya umat Islam Indonesia, mendapatkan 'musuh bersama' yang nyata. Kembali bangsa ini gegap gempita bersatu melawan 'musuh bersama' yang kali ini adalah musuh yang nyata.

Tampaknya, kebersatuan bangsa ini dalam visi dan semangat hanya bisa muncul manakala muncul musuh yang nyata. Dulu 'musuh nyata' itu adalah orang-orang Belanda sang agresor, sang kolonial. Ketika 'musuh nyata' datang lagi dalam wujud orang-orang PKI, maka kebersatuan bangsa ini kembali menguat.

Ketika 'musuh bersama yang nyata' yang berwujud orang itu telah hilang dan selama 50 tahunan terakhir hanya ada 'musuh bersama yang abstrak', maka kebersatuan bangsa ini seperti tak terlihat.

Sebagai bangsa, kita seperti kurang mampu melakukan kedua hal ini: bersatu dan maju.

Terbukti selama 71 tahun merdeka bangsa Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain di negara-negara sekitar kita. Prestasi olahraga kita rata-rata kurang baik dibandingkan negara-negara tetangga. Pendapatan perkapita kalah jauh dari Malaysia dan Singapura. Negara kita relatif kalah bersih dalam hal korupsi daripada negara-negara tetangga. Belum lagi tingkat pengangguran dan kemiskinan kita. Ada kantong-kantong kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. Dan lain-lain masalah.

'Musuh' di Tahun 2016
Lalu pada tahun 2016, muncullah 'musuh bersama' (bagi umat Islam) yang berwujud pada diri seorang gubernur yang dituduh telah menista agama (Islam). Meski bukan kebersatuan bangsa, melainkan kebersatuan umat Islam, tetapi gaung dari aksi damainya pada tanggal 2 Desember 2016 (Aksi Bela Islam 212) relatif besar.

Pada tanggal 9 Desember 2016, harian Republika menulis berita terkait aksi 2 Desember itu:

"Gelombang aksi unjuk rasa yang diikuti jutaan Muslim dinilai menggambarkan ada sejenis ketakpuasan di kalangan umat Islam soal peran pemerintah dalam keadilan sosial. Terkait hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang tengah menjalani silaturahim kerja nasional (silaknas) di Jakarta mempelajari situasi tersebut."

Banyak ulama dan masyarakat Islam yang sepikiran dan sehati mengenai 'musuh bersama' dalam diri seseorang Gubernur DKI yang sekarang sedang cuti itu—meski ada ulama dan masyarakat Islam lainnya tidak sependapat. Tetapi, menjadi pertanyaan apakah 'musuh bersama' yang abstrak sebagaimana ditulis berita Republika itu (yaitu 'ketidakpuasan Umat Islam atas peran Pemerintah dalam keadilan sosial') akan dapat meneruskan kebersatuan Umat Islam dan terwujud pada perjuangan bersama menegakkan keadial sosial?

Keberhasilan para ulama, politisi, dan masyarakat Islam dalam menegakkan keadilan sosial dalam semangat 'rahmatan lil ‘aalamiin' sudah tentu akan membawa efek positif bagi seluruh rakyat Indonesia. Bisakah umat Islam Indonesia bersatu dan membawa negeri ini mewujudkan 'rahmatan lil ‘aalamiin' sehingga 'Persatuan Indonesia' dan 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia' bakal terwujud dengan sendirinya?

Itu adalah tantangan bagi bangsa ini, khususnya masyarakat yang menganut keyakinan Islam. Sedangkan penjabaran tantangannya dalam level pribadi saya pikir seperti dalam paragraf berikut ini.

Saya sebagai salah seorang dari umat Islam sekaligus sebagai salah satu anggota masyarakat Indonesia sudah tentu jawaban saya adalah “Saya bisa berpartipasi mewujudkan tantangan itu, karena ‘musuh’ saya bukanlah dalam wujud orang (yang dituduh menista ulama dan Quran), melainkan musuh yang abstrak berupa tantangan apakah saya bisa menjalankan ajaran Islam sebaik-baiknya, memperjuangkannya dengan baik, dan mewujud pada akhlak yang baik, di rumah tangga saya, di lingkungan tempat tinggal saya, di tempat kerja saya, dan di masyarakat.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun