Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kita Harus Belajar Antisipatif dari Brebes Exit

9 Juli 2016   11:50 Diperbarui: 9 Juli 2016   12:12 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita dalam pengertian Bangsa Indonesia. Kita kurang antisipatif dalam musim mudik 2016 hingga timbul masalah Brexit, Brebes Exit. Kita itu ya Masyarakatnya, ya Pemerintahnya.

Banyak orang mengatakan lama waktu di perjalanan mudik yang melintasi tol Cipali sampai Brebes mencapai rekor terbaru. Macet total yang terpusat di Brexit telah menghabiskan milyaran Rupiah dalam wujud bensin yang terbakar habis, belanja bensin botolan, makanan yang harus dibeli, dan lain-lainnya.

Macet total itu pun dituduh oleh sebagian orang sebagai biang keladi tewasnya 12 pemudik (dalam berita online Dailymail Inggris disebut 15).

Masyarakat pun menjadi geram. Geram karena macet yang sedemikian parahnya terjadi—lama dan memakan korban. Kritik dan cacian warga masyarakat pun bermunculan di media sosial. Tokoh politik yang berseberangan dengan Pemerintah pun mengeluarkan kritik. Contohnya adalah Hidayat Nur Wahid yang mengatakan “... kemacetan yang menyebabkan tragedi di Tol Brebes Timur Exit (Brexit) harus dipikirkan jalan keluarnya oleh pemerintah. Jangan sampai, ia mengatakan, pemerintah hanya sekadar meresmikan pembangunan jalan tol saja.”

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mendesak pemerintah mengusut tuntas kejadian 18 orang pemudik yang meninggal dunia saat mengalami kemacetan di jalan tol di Brebes Timur. Indonesia Police Watch (IPW) menilai Polri seharusnya minta maaf kepada publik, khususnya kepada keluarga korban yang meninggal di 'jalur neraka' mudik Lebaran 2016.

Pemerintah tentu saja tak mau disalahkan. Pembelaan diri pun muncul.

Kapolda Jawa Tengah Irjen Condro Kirono menegaskan tidak ada pemudik yang meninggal karena terjebak kemacetan parah di Exit Tol Brebes (Brexit) saat arus mudik Lebaran. "Harus ada rekam medisnya, pemeriksaan tubuh luar maupun dalam," tegasnya, Kamis (7/7). Menurutnya, kematian belasan pemudik yang diduga akibat kemacetan saat arus mudik di wilayah Brebes harus dibuktikan secara medis. Ia mempertanyakan apakah pemeriksaan terhadap kondisi para pemudik meninggal tersebut sudah dilakukan oleh dokter.

Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan mengatakan tahun ini memang pertama kalinya ruas tol Cipali yang tembus sampai Brebes Timur dimanfaatkan oleh pemudik. Artinya, pertama kali pula masyarakat memakai jalan tol sepanjang 300 km untuk mudik. "Kalau bawa mobil tujuan Semarang lewat jalan biasa pompa bensin banyak. Ya kalau tahu lewat jalan tol ya tangki bensin diisi penuh. Masa bawa mobil macet 12 jam bensin habis? Kalau itu tangki penuh pasti macet 12 jam masih ada bensinnya. Ini memang perlu ada edukasi juga," ujarnya, Rabu (6/7). Poin lain yang disoroti Jonan adalah kondisi pintu keluar tol Brebes Timur yang berupa jalan kecil atau minor. Menurutnya, pintu keluar tol harus berupa jalan besar atau mayor sehingga bisa menampung lebih banyak kendaraan yang keluar.

Dari kacamata manajemen, khususnya berkaitan dengan mobilitas manusia dan barang, sebenarnya masalah Brexit dapat diantisipasi.

Kementerian Perhubungan tentu memiliki orang-orang yang mengerti secara teknis masalah transportasi dan penanganan masalahnya. Kemenhub tentu memiliki orang-orang yang kompeten di bidang lalu-lintas manusia dan barang. Dalam hal ini, menjadi tandatanya, khususnya bagi saya, mengapa orang-orang ini tak muncul menjadi ‘perwira’ atau ‘pasukan’ di lapangan.

Mungkin karena budaya di Kementerian umumya yang masih berbudaya sungkan dan pakewuh, sehingga orang-orang itu merasa tidak pantas menawarkan diri untuk maju menjadi pasukan apalagi perwira, dalam pengaturan perjalanan mudik nan sulit ini.

Di sisi lain, Polri dengan TMC (Traffic Management Control)-nya sesungguhnya bisa berperan besar menjadi panglima sekaligus pasukan yang melayani masyarakat dalam pengaturan perjalanan mudik itu.

Mungkin karena sifat masing-masing korps yang cenderung menjalankan Tusi (Tugas dan Fungsi) korpsnya sendiri sehingga secara alamiah menjadi berjalan sendiri-sendiri. Secara alamiah tidak muncul koordinasi dan kolaborasi antara Kemenhub dan Polri. Apalagi dengan pihak-pihak lain yang bisa menjadi tim asistensi.

Di sini, diperlukan sebuah kemauan politis (political will), baik dari Kemenhub ataupun Polri (plus Jasa Marga) untuk bersatu dan membentuk sebuah Tim Gabungan yang bersifat adhoc (sementara) selama Musim Mudik dan berada di bawah satu pimpinan. Pimpinan itu bisa dari Polri bisa dari Kemenhub. Dengan adanya tim gabungan atau tim adhoc ini, maka pihak-pihak lain yang perlu dilibatkan pun bisa diperintahkan untuk bergabung. Contohnya Pertamina dan Kemkes; yang satu berkepentingan dengan pengaturan pengiriman bahan bakar minyaknya, yang lain berkepentingan dengan penugasan petugas kesehatan dan pendirian pos kesehatan.

Jika tim gabungan telah terbentuk, maka orang-orang Kemenhub atau siapa pun dalam tim gabungan yang memang memiliki kompetensi dalam penanganan lalulintas mudik diberi kepercayaan untuk bergabung dan membantu tim.

Tim gabungan yang lintas sektoral itu harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam satu aturan main dengan satu komando dengan satu tujuan yaitu melayani publik dalam perjalanan mudik yang lancar dan aman. Untuk itulah orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang transportasi massive, baik manusia maupun barang, harus diberi kesempatan.

Dengan itu, maka jauh sebelum masa mudik tiba, mereka bisa segera memulai dengan analisa skenario dan dengan alat-alat manajemen lain yang diperlukan. Masing-masing skenario akan membutuhkan bentuk penanganan yang sesuai.

Adanya tim gabungan yang berada di bawah satu komando, memungkinkan adanya koordinasi dan kolaborasi. Tim gabungan yang kompeten dan diberi wewenang yang sesuai inilah cerminan bahwa bangsa Indonesia bakal mampu mengantisipasi situasi sulit yang bisa muncul dari perjalanan mudik massal jutaan warganya.

Soal masyarakatnya yang kebanyakan belum bisa mengantisipasi, ya berarti memperkuat pendapat bahwa Pemerintahlah yang semestinya berinisiatif mencari jalan yang terbaik untuk membantu rakyatnya mudik dengan lancar, aman, dan nyaman. Tim Gabunga yang berisikan orang-orang kompeten dan diberi wewenang memadai adalah jawabannya.

Semoga pada Mudik Lebaran 2017 kita melihat adanya Tim Gabungan demikian.

===============

Referensi:

Dailymail: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3678467/Is-world-s-worst-traffic-jam-Fifteen-people-die-getting-caught-gridlock-Indonesian-junction-named-BREXIT.html

Hidayat Nur Wahid: http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/info-mudik/16/07/06/o9w031394-hnw-minta-pemerintah-belajar-dari-tragedi-brexit

Kapolda: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/07/07/o9xdmk354-kapolda-tidak-ada-pemudik-meninggal-karena-macet-parah-di-brexit

YLKI: http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/info-mudik/16/07/08/oa049x282-ylki-desak-pemerintah-usut-kematian-18-pemudik-di-brexit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun