Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kampung Pulo, Simbol Kesalahan Rakyat dan Pemerintah

22 Agustus 2015   19:29 Diperbarui: 22 Agustus 2015   19:51 2065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Photo credit: Kompas.com dan MetroTVnews.com"][(Photo credit: Kompas.com dan MetroTVnews.com)]

Bentrok saat proses perpindahan sisa warga Kampung Pulo adalah bom waktu yang meletus sebagai buah dari kelakuan keliru dari dua pihak, Pemerintah dan Rakyat. Berikut ini penjelasannya.

Pemerintah keliru dalam tindakannya karena dulunya, ketika ada beberapa orang memulai membuat bedeng (gubuk) sementara di bantaran sungai, tak ada tindakan memberitahu dan melarang. Dulu yang entah berapa puluh tahun itu sebenarnya tindakan melarang seharusnya sudah dilakukan.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa dulu itu belum ada peraturan tertulis. Belum ada Undang-undangnya. Sehingga tak ada aparat Pemerintah yang akan berinisiatif bertindak karena tak ada dasar hukumnya. Kalau dipikir, para akademisi perguruan tinggi yang mempelajari masalah lingkungan termasuk mungkin topografi dan akademisi bidang ilmu sosial bisa menjadi sumber atau dasar pengambilan keputusan Pemerintah untuk bertindak sedini mungkin. Jadi, dalam hal ini kita belum tahu mengapa dulu tidak ada tindakan dini melarang penghunian bantaran sungai.

Di sisi lain, banyak warga masyarakat yang karena keadaan terpaksa mencari tempat tinggal, membangun bedeng sementara di lahan milik Pemerintah, baik di bantara sungai maupun di areal yang dekat stasiun Kereta Api. Awalnya mungkin hanya satu orang saja. Selang berapa waktu entah dalam hitungan hari atau minggu, seseorang lainnya turut mendirikan bedeng untuk tempat tinggal. Minggu demi minggu berjalan sampai bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tak terasa bedeng itu tumbuh bagai jamur di musim hujan.

Lama-lama, bedeng atau gubuk itu menjelma menjadi bangunan semi permanen. Tak terasa, setelah puluhan tahun, bangunan-bangunan semi permanen itu terus memanjang sepanjang tepi sungai, persis di bantaran sungai. Bangunan-bangunan itu telah “resmi” menjadi rumah, lengkap dengan listriknya. Dikabarkan 1,7 hektar dari 2,8 hektar di Kampung Pulo itu mendapatkan legalisasi berupa sertifikat. Padahal sebenarnya pemberian sertifikat itu dapat diperdebatkan keabsahannya.

Puluhan tahun pula tak ada gubernur yang berhasil menggusur mereka. Warga tetap menolak walau sudah akan diberi rumah susun. Ketidak-tegasan Gubernur di masa lalu dan kebandelan warga pada hakekatnya adlaah memelihara kekeliruan bersama.

Kini, ketika Gubernur DKI,  Basuki Tjahaja Purnama, yang sekarang telah mematangkan rencana, ketika sebagian warga Kampung Pulo telah pindah ke rusunawa, sebagian sisanya bertahan, maka terjadilah kekisruhan yang berujung bentrok itu.

Kekisruhan yang terjadi tidak saja di lokasi, tetapi juga di tempat lain ketika ahli sejarah dan Anggota DPRD DKI membela warga Kampung Pulo yang digusur. Merebak ke dunia maya, karena situs berita aktif memberitakan dan media sosial pun aktif menyambut.

Sejarawan JJ Rizal mengkritisi sikap Gubernur DKI Jakarta dalam melakukan penertiban warga di kawasan Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Melalui Twitter, Rizal mengatakan bahwa bila konsisten dalam menggusur lahan hijau atau resapan air, Ahok juga harus berani menggusur lingkungan rumahnya di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. 

Terkait kritik JJ Rizal via Twitter, Tempo online melaporkan ini:

"Rumah Ahok di Pluit juga menyalahi peruntukan, harusnya dibongkar juga," kata Rizal, Jumat, 21 Agustus 2015. Menurutnya, kompleks perumahan mewah Pluit dan Pantai Mutiara, berdiri di lahan yang peruntukannya hutan bakau dan resapan air. 

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, kompleks perumahan itu dibangun oleh pengembang swasta. Berikutnya berdiri kompleks Pantai Indah Kapuk yang membabat hutan mangrove milik Departemen Kehutanan. Pemerintah Orde Baru yang represif memfasilitasi ekspansi bisnis perusahaan swasta itu. 

Kritik JJ Rizal dalam hal ini lebih untuk membela warga Kampung Pulo, yang menurutnya seluas 1,7 hektar dari 2,8 hektar dari wilayah yang dihuni sudah memiliki sertifikat. Rizal menyesalkan bahwa mereka dicap sebagai penghuni liar dan harus menjadi penghuni rusun dan menjadi orang kontrakan.

Selain JJ Rizal, seorang Anggota DPRD DKI, Fahira Idris, menyesalkan penggusuran itu berujung bentrokan warga dengan Satpol PP dan Polisi. Dia meminta Basuki melakukan moratorium penggusuran sampai benar-benar ada kesepakatan dengan warga.

Di sisi lain, Basuki mendapatkan pembelaan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Ferry Mursyidan Baldan. Dia mengatakan daerah tersebut masuk dalam penataan wilayah kumuh yang sudah lama direncanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tindakan Basuki, menurut Ferry, tidak ada yang salah dan sudah sesuai dengan peraturan dalam rangka penataan wilayah mengatasi banjir yang kerap terjadi ketika musim penghujan datang.

Anggota DPR RI, Frans Agung Mula Putra Natamenggala juga mendukung Basuki. Dia mengatakan warga yang tinggal di bantaran kali, sementara tanahnya milik negara, memang tidak boleh menjadi tempat tinggal. Melainkan, lokasi tersebut harus bebas dari lokasi hunian karena lokasi itu untuk penyerapan air agar tidak terjadi banjir.

Basuki mantab melaksanakan pemindahan warga dan penggusuran rumah-rumah di bantaran sungai Ciliwung. Menurut berita sampai dengan 21 Agustus 2015, dari kapasitas Rusunawa Jatinegara sebanyak 518 unit, 445 telah diambil, dan 380 telah ditempati. Artinya sebagian besar warga Kampung Pulo telah membuktikan diri siap pindah.

Akankah masalah Kampung Pulo berakhir bahagia bagi semua pihak (tanpa tuntutan misalnya)? Sampai tulisan ini dibuat, belum diketahui.

Tetapi, semestinya peristiwa bentrokan di Kampung Pulo ini menjadi pelajaran penting.

Masyarakat yang mengalami penggusuran semestinya bisa mendapatkan cara pandang yang benar dan baik tentang tempat tinggal yang layak dan terhormat. Masyarakat lain yang menyimak peristiwa ini seyogianya mengerti apa arti membeli tempat tinggal di wilayah yang peruntukannya memang untuk tempat tinggal. Pejabat Pemda (Dinas dan Kelurahan) seharusnya paham bahwa mereka perlu segera bertindak ketika ada warga lingkungan menggunakan lahan milik Pemerintah atau lahan yang diperuntukkan sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial. Pihak berwenang yang bertanggung-jawab melakukan pengawasan seharusnya mau dan berani bertindak pada waktunya ketika ada pejabat Pemda yang lalai bertindak.

Pada akhirnya, dapatlah dipahami apa yang dilakukan Basuki sebenarnya bukan saja sedang melakukan pembenahan bantaran Sungai Ciliwung dengan memindahkan warga Kampung Pulo ke Rusunawa. Jauh lebih penting adalah pak Ahok sedang membawa masyarakat Kampung Pulo itu menuju ke kehidupan yang bermartabat (dignity) dan membuka kita mata kita semua, ya rakyatnya ya pemerintahnya.

Peristiwa bentrokan Kampung Pulo itu hanyalah salah satu dari sekian banyak bom waktu yang lahir dari kesalahan bersama, kesalahan rakyat sendiri dan kesalahan Pemerintah juga. Semestinya kita semua belajar bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun