Mengapa?
Karena selama ini orang Indonesia dibesarkan oleh pendidikan yang tidak menghargai proses. Negara ini sangat didominasi oleh hasil. karena itu negara ini belum mampu menjadi negara industri. Satu dua jenius ada, tapi mereka membutuhkan sistem pendukung yang diisi oleh orang-orang yang berdedikasi terhadap proses. Makanya, reformasi saya (di Dep Keu) bukan untuk kelihatan keren di depan. Tapi lebih pada mengubah pola pikir.
Terlihat bahwa orang Indonesia terkondisi atau terdidik untuk tidak menghargai proses. Maunya cepat jadi. Inilah yang disebut instan oleh teman-teman saya dan ini pulalah yang disebut Mochtar Lubis “Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa.”
Sri Mulyani dengan tegas menyebut soal mengubah pola pikir.
Meski tak langsung menyebut kata pola pikir, Sarlito Wirawan Sarwono berbicara tentang pola pikir ketika dia mengulas pusat kendali seseorang. Dia membahas soal pusat kendali seseorang yang bisa ada pada dirinya (disebut Pusat Kendali Internal) atau bisa ada pada luar dirinya (disebut Pusat Kendali Eksternal). Sarlito menulis di tempo on-line, yang sebagiannya saya kutipkan di sini:
“Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong PKE [Pusat Kendali Eksternal]. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian nasional.”
Pada hemat saya, hal paling pertama dan mendasar adalah soal pola pikir yang oleh Sri Mulyani disebutnya sebagai upaya reformasi saat melakukan upaya perubahan pola pikir di Departemen Keuangan beberapa tahun lalu.
Perubahan itu dengan cara menanamkan pemahaman bahwa pusat kendali kita semua ada dalam diri kita masing-masing. Dan dengan itu, maka hal-hal negatif yang disebutkan Mochtar Lubis akan dapat terkikis dengan sendirinya: watak menjadi kuat, tidak takut keliru atau kalah (siapa sih yang selalu menang terus?!), mau mengambil sikap meritokrasi, menghargai karya orang lain, bersikap bersyukur, mau menjalani proses yang memang semestinya dilakukan.
Dan dengan itu pula, maka karakter istimewa bangsa kita sebagaimana yang disebutkan teman-teman saya di atas, dengan izin Tuhan, akan tinggal yang positifnya belaka. Kita akan menjadi bangsa yang ramah, bersahabat, cerdas, gotong royong (dengan tulus), kreatif, toleran, suka kumpul dan makan, tangguh, pemaaf, dan relijius. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H