[caption caption="Mendikbud mengunjungi Orientasi Peserta Didikdi sebuah sekolah (dari akun facebook, Kemendikbud RI) "][/caption]
Rasa gusar menggelorakan hati saya. Foto yang memuat gambar tiga anak sekolah yang dikunjungi Menteri Pendidikan sedang diplonco membuat hati saya bergejolak oleh rasa geram. Di usia kemerdekaan Tanah Air tercinta yang ke-70 tahun ini, mentalitas memelonco adik kelas masih terus terjadi bahkan tak ada tanda-tanda mereda.
Jika tadinya perpeloncoan amat populer di perguruan tinggi di era 1960an dan 1970an (era saya), maka 1980an dan 1990an merembes ke sekolah-sekolah menengah atas bahkan ke sekelolah menengah pertama. Era 2000an dan 2010an adalah era canggih perpeloncoan itu dilaksanakan oleh anak-anak sekolah menengah pertama dan sekolah lanjutan atas. Canggih dalam arti negatif.
Tanggal 29 Juli 2015, akun Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI di Facebook memuat foto yang saya sebutkan di atas. Saya lantas memuat di akun saya tanpa saya beri kata-kata apa pun. Tujuannya adalah agar teman-teman bisa melihat foto itu dan membaca sendiri keterangannya, yang berbunyi:
“Mendikbud minta segala bentuk perpeloncoan dalam Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPD) dihentikan. Hari ini Mendikbud Anies Baswedan melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah sekolah di Tangerang dan mendapati sejumlah pelanggaran Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 tentang Orientasi Peserta Didik Baru. Mendikbud menegaskan bahwa perpeloncoan dalam MOPD harus dihentikan dan diganti dengan kegiatan yang positif dan mendidik.”
Menanggapi status saya itu, seorang teman menulis komentarnya berikut ini:
“Anak saya juga dapet perlakuan begitu pak, disuruh bawa makanan dr susu, roti, chiki, sampe nasi tapi sampe sekolahan cara makannya dijejelin pak + air kalau ga habis disiramin ke muka nya, terus permen bentuk kaki ditusukin dari mulut ke mulut sampe anak2 eneg, syur punya teman kalau ga habis diusruh ngabisin dengan cara di jejelin juga sampe habis, tapi sayangnya pak ga ada yang berani protes kecuali saya dan teman saya, padahal banyak juga ga masuk karena stres dan sakit, alesannya takut anaknya nanti dikucilkan di sekolah, menurut pak Hendri Ma'ruf gimana ya solusinya...?”
Mendapat pertanyaan begitu, spontan otak saya bekerja. Lalu hasil olahan otak saya untuk jawabannya adalah berikut ini:
“Pertanyaannya mudah, tapi jawabannya panjang.
Kalau secara singkatnya, versi saya, tetap agak panjang adalah ini:
(1) Dimulai dari pemimpin, baik pemimpin Nasional, pemimpin Daerah, maupun pemimpin politik, pemimpin partai, pemimpin bisnis, dan lain-lain...pokoknya semua pemimpin untuk kompak bersama-sama bersikap mengalah, mendengarkan orang lain, mau berubah, bertindak, tidak mudah sakit hati, sambil menahan diri dari dorongan hati mengritik orang, mencela orang, menilai/menghakimi orang, ataupun membalas sakit hati.
(2) Semua Menteri dan kementerian yang ada kaitannya dengan perploncoan (termasuk Kementerian Dalam Negeri dengan IPDN-nya) bukan cuma Kementerian P&K, mengeluarkan peraturan melarang perploncoan dalam bentuk apa pun sekaligus membuat peraturan yang memberi sanksi atas pelanggaran. Dan pihak yang paling bertanggung jawab di sekolah, kampus, akademi, pusat pendidikan (spt IPDN) harus dihukum termasuk dimutasikan atau di-staf-kan jika melanggar peraturan.
(3) Masyarakat diberi saluran telpon/email/SMS/WA untuk melaporkan kejadian perploncoan termasuk seperti contoh yang dialami anak bu Aisah dengan bukti foto jika mungkin. Jika tidak mungkin asalkan laporannya diperkuat oleh beberapa orang saksi yang bersedia disumpah untuk memberi kesaksian.
Begitu sih yang saya pikir.”
Lalu teman saya itu menulis lagi, begini: “Sayangnya itu mereka pada takut untuk melapor pak, walaupun mereka tahu anaknya pada mengeluh.”
Saya jawab: “Karena tidak disediakan sarananya (no telpon, alamat email, atau kotak pos). Juga karena syarat nomor 1 dan nomor 2 tidak dijalankan.”
Namun, setelah saya pikirkan kembali, jawaban saya sebaiknya begini: “Karena tidak disediakan sarananya (no telpon, alamat email, atau kotak pos) untuk melapor. Juga karena syarat nomor 2 tidak dijalankan.” Nomor 1 itu sulit dilaksanakan serentak saat ini. Tetapi upayanya harus dimulai dari sekarang.
Di luar gagasan di atas, ada sebuah cara lain yang saya pikir cukup efektif dikerjakan. Ini semata-mata opini. Jika ada sanggahan atas opini tentu akan saya terima, baca, dan cerna. Siapa tahu memang bakal menyempurnakan opini saya ini.
Semua pejabat, politikus, pemimpin perusahaan, manajer, perwira TNI dan Polri, pengusaha (baik besar maupun kecil), dan lain-lainnya, adalah pihak yang saya sebut dalam judul artikel sebagai alumni sekolahnya masing-masing. Apa pun sekolah mereka (SMP dan SMA), mereka harus mengunjungi kembali sekolah mereka masing-masing. Mereka harus kunjungi dua kali. Kontak dan koordinasi dengan kepala sekolah harus dilakukan dalam tujuan kedatangan alumni dua kali ini.
Pertama saat menjelang libur sekolah, libur kenaikan. Pada pertemuan ini, para alumni bersama Kepala Sekolah akan bicara kepada para pengurus OSIS dan para Pengurus Kelas (seperti Ketua Kelas berikut Sekretaris dan Bendahara jika ada). Cukup dua tiga orang alumni yang bicara, meski alumni yang hadir banyak. Intinya adalah pesan tentang tidak perlunya mengadakan perpeloncoan, apa pun nama dan bentuknya.
Ceritakan situasi di negri lain khususnya negara-negara maju yang tidak mengadakan perpeloncoan. Tekankan pesan bahwa sebagai kakak kelas, hormat adik kelas bukan dari hasil perpeloncoan. Untuk itu, penting bagi para alumni agar mereka sendiri menjauhi sikap arogansi, sikap merasa sukses, sikap bossy, dan lain-lain sikap negatif. Mereka harus datang dengan rendah hati, bersikap sopan, dan sudi mendengarkan.
Katakan kepada pengurus OSIS dan pengurus Kelas bahwa dalam masa MOPD nanti di tahun ajaran baru, akan hadir beberapa orang alumni yang akan turut menyambut kedatangan adik-adik kelas. (Tentu saja, tujuan utama yang tersembunyi adalah memastikan bahwa perpeloncoan tidak terjadi. Dan tentu ini semua dengan izin Kepala Sekolah dan koordinasi dengan Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan dan para Wali Kelas.)
Sesudah selesai acara, ajaklah mereka makan bersama. Memang perlu dana untuk ini. Tetapi dengan patungan para alumni, semestinya membiayai konsumsi untuk 40-70 orang tidaklah sulit.
Kedatangan kedua kalinya adalah ketika masa orientasi itu tiba, perwakilan alumni pun harus hadir. Harus ada beberapa orang alumni yang hadir dalam satu waktu. Dimisalkan per hari ada 4 alumni yang perlu hadir, dan jika MOPD dilakukan 4 hari, tetapi setiap alumni hanya bisa menyempatkan satu hari, maka diperlukan sedikitnya 16 orang alumni yang terdaftar akan hadir.
Apakah sulit mencari 16 orang alumni yang diminta menyediakan waktu demi mengawasi adik-adik kelas (meski sebenarnya mungkin generasi kedua). Seharusnya tidak sulit. Apalagi jika jumlah alumni sebuah sekolah bisa ribuan dan puluhan ribu orang.
Demi pendampingan pada panitia MOPD, yang adalah murid kelas 8 dan 9 untuk SMP dan kelas 11 dan 12 untuk SMA, harusnya gagasan ini tidak sulit dicerna. Apalagi dikaitkan pembentukan watak generasi muda untuk masa depan; di mana anak SD akan mengalami 3 kali perploncoan: SMP-SMA-PT.
Tidak cukup hanya mengandalkan kepada guru dan kepala sekolah untuk mengawasi dan menghentikan tindak perpeloncoan meski bernama bagus MOPD (sudah terjadi mereka kalah pengaruh dibandingkan orang-tua murid). Saatnya para alumni yang disebut sebagai para pemimpin kembali ke sekolah untuk pendampingan. Untuk memastikan bahwa tindak perpeloncoan tidak terjadi.
Gagasan ini bisa saja dijalankan bersamaan dengan gagasan ketiga butir jawaban saya dalam Facebook yang saya sebutkan di atas.
---------------------
Catatan: Tujuh jam setelah pemuatan artikel ini, melalui jalur pribadi, seorang guru SMA memberi umpan balik penting berikut ini.
Pertama, berupa pertanyaan: Apa yang dilakukan alumni di saat MOPD berlangsung? Jawaban saya: kehadiran mereka untuk dua maksud: a) memberi semangat kepada panitia dan adik-adik peserta MOPD, b) mengantisipasi perilaku yang dapat merugikan adik kelas. Intinya, mereka tidak ikut terlibat dalam kepanitaan dan aktivitas MOPD. Hanya hadir menyaksikan.
Kedua, juga berupa pertanyaan yang justru sangat penting, yaitu: Apa yang dilakukan alumni setelah MOPD selesai? Apa yang dilakukan alumni memang tidak saya bahas dalam artikel ini. Dalam konteks pencegahan terjadinya perpeloncoan yang bukan saja pada beberapa hari penyelenggaraan MOPD tetapi bisa tejadi sesudahnya, saya belum membahasnya.
Umpan balik guru tersebut penting diperhatikan karena mengubah perilaku masyarakat khususnya komunitas sekolah tidak cukup dalam masa orientasi peserta didik baru yang beberapa hari itu saja, melainkan sepanjang tahun dan bahkan sepanjang tiga tahun mereka bersekolah. Ini perlu artikel terpisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H