Sehari-hari saat kita berkendaraan di Jabotabek, suara klakson banyak terdengar. Mobil menglakson, tetapi lebih banyak sepeda motor yang “murah klakson.” Rata-rata, bunyi klakson itu dimaksudkan untuk memberitahu kendaraan di depannya untuk cepat-cepat bergerak, atau untuk cepat-cepat menyingkir dari hadapannya. Tujuannya akhirnya jelas, yaitu sang pengendara yang menglakson ingin jalannya lancar.
Hiruk pikuk lalu lintas sangat terasa di pagi hari saat orang berangkat ke tempat pekerjaan dan sore hari saat orang-orang pulang. Setiap orang berharap jalannya lancar. Kalau pun tersendat, harapannya hanya sebentar. Sebagian orang mampu bersabar menjalani kemacetan sehari-hari. Mereka tidak membunyikan klakson sama sekali.
Tetapi, sebagian lainnya begitu mudahnya memencet tombol klakson. Selain itu, sepak terjang pengendara baik yang (sepeda) motor atau pun mobil, boleh dibilang sama. Sama-sama ingin mengambil tempat lowong di depannya secepat mungkin. Kalau sebuah mobil bersaing dengan sebuah motor, maka dapat dipastikan yang kalah adalah mobil. Kalau motor dengan motor, rata-rata sama lincahnya. Mobil bersaing dengan mobil berbeda, siapa yang lebih terampil dan berani untuk menyerobot dia yang dapat.
Yang seru adalah saat lampu lalin (lalu-lintas) mati. Apalagi jika lampu lalin itu ada di perempatan. Maka pemandangannya menjadi rutin setiap kali lampu lalin mati, yaitu saling serobot. Perilaku saling serobot dilakukan oleh hampir semua motor dan mobil. Seringkali terlihat lucu (tapi menyebalkan bagi yang mengalami) ketika semua kendaraan di perempatan itu tak bisa lagi bergerak, karena lalin terkunci. Kalau sudah begitu, tinggal menunggu ada orang yang berinisiatif mengaturnya. Butuh waktu sebelum arus lalin kembali bisa bergerak.
Lebih seru lagi, karena lebih parah, adalah lampu lalin di perempatan itu mati berbarengan dengan hujan. Maka, kesemrawutan menjadi-jadi. Jelas terlihat perilaku umumnya para pengendara pada situasi itu adalah egois. Yang penting dirinya yang lancar, bodo amat dengan orang lain.
Main serobot, main potong kompas, adalah perilaku-perilaku ingin serba instan. Kata-kata “ingin serba instant” ini kalau diterjemahkan ke sifat-sifat negatif Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis mungkin mencakup empat dari 12 sifat yang ia sebutkan. Keempat sifat negatif itu, menurut hemat penulis, adalah: segan & enggan bertanggung-jawab, berjiwa feodal, lebih suka tidak bekerja kerjas kecuali kalau terpaksa, dan tukang menggerutu. Bunyi klakson bolak-balik itu adalah perwujudan dari suka/tukang menggerutu. Pembaca yang mau lihat sifat-sifat negatif orang Indonesia menurut Mochtar Lubis, bisa mengklik salah satu contoh, misalnya http://chillinaris.blogspot.com/2013/01/12-sifat-negatif-mayoritas-orang.html. Kalau meminjam istilahnya Koentjaraningrat, bunyinya menjadi sifat mentalitas yang suka menerabas.
Perilaku potong kompas (menerabas) atau ingin hasil yang instan, seringkali terbawa ke tempat kerja. Perilaku ini akan terasa lebih parah jika kita mengingat dua perilaku lain yang disebutkan oleh Handi Irawan (pakar pemasaran) sebagai karakter khas konsumen Indonesia, yaitu berpikir jangka pendek dan silau pada kemasan. Mungkin pembaca ada yang bertanya kok bicara tentang karyawan membawa-bawa karakter konsumen. Jawabannya adalah karena karyawan juga konsumen dan dan sebagian konsumen adalah adalah karyawan. Tentang karakter khas konsumen Indonesia ini bisa dilihat di sini: http://onikchan.blogspot.com/2008/12/ciri-manusia-indonesia-menurut-mochtar.html.
Karyawan ataupun manajer yang ingin hasil yang instan, berpikir jangka pendek, dan silau pada kemasan, seringkali melupakan etika, baik etika secara umum maupun etika bisnis. Karena itu, perusahaan yang lemah dalam Sisdur (sistem dan prosedur) kerja akan mudah dimanfaatkan oleh karyawan nakal untuk kepentingan pribadinya. Kalaupun Sisdurnya sudah solid, bagaimana dengan pelaksanaannya? Kadang kala terjadi kongkalikong, sehingga Sisdur tinggal Sisdur. Karena itu, selain lengkap Sisdurnya, perangkat organisasi (yang mengurus reward & punishment, career path, risk management misalnya) harus lengkap, dan pimpinan tertinggi punya integritas tinggi dan mampu jadi teladan.
Singkat kata, perilaku-perilaku buruk di jalan raya dijamin bakal hilang dari kehidupan perusahaan sehari-hari dengan adanya sistem yang dijalankan perusahaan dengan ketat dan pimpinan pun memberi contoh perilaku yang seharusnya terjadi di dalam perusahaan.
Kita bisa lihat perusahaan mana saja yang tidak terdengar perilaku jelek dari para karyawannya. Kalau pun ada itu adalah benar-benar kasuistik (kejadian langka) yang bisa terjadi pada perusahaan hebat sekalipun. Kita juga bisa melihat perusahaan atau organisasi mana yang orang-orangnya dikenal atau ditengarai berperilaku agak malas-malasan atau kurang melayani target group yang jadi stakeholdernya (pihak yang harus dilayani). Apalagi kalau ini dikaitkan dengan sifat feodal yang disebutkan Mochtar Lubis atau sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh yang disebutkan Koentjaraningrat.
Apa sih poinnya? Poinnya mudah saja. Kalau kita mau maju bersama dan enak bersama, kita harus mau bekerja dengan benar dan tulus di jalur kita masing-masing.
Kalau mau sejahtera di jalan raya (enak bersama), maka kita harus mau menjalani antrian dengan benar dan tulus. Tidak menyerobot, tidak emosional. Kalau mau sejahtera di perusahaan, ya kita harus bekerja sesuai peran yang dituntut, dan dengan tulus. (Soal karir, itu menjadi topik terpisah. Karena yang kita maksudkan di sini ya sejahtera bersama, enak bersama, dalam suasana yang damai.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H