[caption id="attachment_306210" align="alignnone" width="581" caption="Dua tokoh film seri populer dari Jepang dan Korea Selatan (sumber: Google pictures)"][/caption]
Kata “jual” berkonotasi bisnis dan cenderung berorientasi keuntungan belaka. Maksud kata “jual” dalam judul di atas adalah “menjual gagasan.” Disebut menjual ide boleh juga. Bahwa belakangan tercipta nilai ekonominya atau mendatangkan keuntungan keuangan, itu lebih sebagai dampak sampingan. Saya jelaskan berikut ini maksudnya.
Maksud persisnya adalah “adakah wanita Indonesia yang kisah hidupnya begitu menginspirasi sehingga bakal banyak orang yang mau membaca novelnya apalagi menonton filmnya?” Sebelum Anda menjawab sendiri dalam hati hati, mari kita lihat dua contoh dari dua negeri berbeda.
Dari Jepang, nama Oshin kini telah masuk menjadi bagian dari ingatan sebagian masyarakat Indonesia. Mungkin hanya sedikit dari generasi muda hari ini yang ingat cerita Oshin. Tetapi, bagi penggemarnya, nama itu dijadikan kausa kata yang artinya “ibu rumah tangga yang turun tangan [karena pembantu rumah tangga sedang pergi] mengerjakan pekerjaan di rumah, seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci, menyetrika, mengasuh anak kecil, dan lain-lain.”
Padahal, perjuangan Oshin tidaklah sekedar melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia belajar menjadi penata rambut, pernah menjual ikan keliling, menjual pakaian, membuka restoran. Perjalanan hidupnya mengantarkannya pada kisah kehidupan di Tokyo. Kondisi keuangan keluarganya, dalamperkawinannya dengan Ryuzo, menjadi bumbu sangat sedap untuk cerita Oshin. Kebangkrutan suami dan perjuangan Oshin menghidupi keluarga mewarnai kisahnya. Apalagi ibu mertua dan kakak ipar yang sangat memusuhi.
Nama tokoh asli dari Oshin adalah Shin Tanokura.
Struktur cerita Oshin, sebagaimana tercantum di Wikipedia, didasarkan pada kumpulan surat-surat yang disusun oleh Sugako Hashida. Catatannya tentang masa lalu seorang perempuan dari era Meiji. Setelah susunan cerita siap, Sugako menawarkan ke berbagai stasiun televisi Jepang. Tak satupun mau menerima. Salah satu komentar yang diberikan kepada Sugako adalah “Kami tidak sanggup berhadapan dengan issue Meiji.” Tetapi, akhirnya seorang pimpinan sebuah stasiun bersediamenerima.
Film Oshin ditayangkan berseri di stasiun televisi NHK selama satu tahun, yaitu dari tanggal 4 April 1983 hingga 31 Maret 1984.
Saat tayangan film seri Oshin di televisi Jepang, penerimaan masyarakat terbilang tinggi. Puncak ratingnya adalah 62,9% yang pernah dialami. Rating rata-rata per tahun berada di tingkat 52,6%. Di Jepang, Oshin dimaknai sebagai figur yang menggambarkan ketangguhan berjuang, yang menunjukkan seseorang tidak akan menyerah meski keadaan sangat sulit. Kesan dan gagasan inilah yang membuat penerimaan film Oshin terbilang tinggi di negeri-negeri lain. Total negara yang menyiarkan film seri ini adalah 59.
Dua puluh tahun setelah kemunculan film seri Oshin muncul di televisi Jepang, muncul film seri lain di negeri yang berbeda yaitu di Korea Selatan. Film seri ini tak kalah hebatnya dalam hal cakupan negri yang menayangkan dan dalam hal inspirasi yang ditimbulkannya.
Tokoh perempuan Korea Selatan yang film serinya amat terkenal itu adalah Dae Jang-Geum. Judul film serinya adalah Dae Jang-Geum atau Jewel in The Palace. Film seri ini sukses besar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di RRC, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, AS (khususnya di Chicago), bahkan di Iran!
Tokoh sejarah yang dijadikan film ini adalah dokter kerajaan perempuan pertama dari Dinasti Joseon. Ceritanya berlangsung dalam rentang waktu tiga raja Korea berkuasa, yaitu Raja Seongjong, Raja Yeonsan-gun, dan Raja Jungjong.
Cerita tentang istana dan kerajaan mana pun akan mempunyai intrik-intrik yang sangat seru untuk dijadikan cerita, baik novel maupun film. Demikian pula dengan istana raja Korea. Terpentalnya Janggeum dan ibunya sebagai abdi dalem istana, tak lain adalah karena tuduhan berkomplot pembunuhan ibunda Raja.
Terusirnya Janggeum hingga dia bisa kembali ke Istana melalui waktu yang panjang, petualangan yang berliku, dan perasaan yang beragam. Dalam lika-liku perjalanan hidupnya itu, dia mengalami permusuhan dari teman yang (karena harus ikut tradisi keluarga) berubah menjadi lawan. Dia mengalami pembelaan dari teman ibunya. Perjuangannya dari kecil hingga dewas tak selesai-selesai.
Keberhasilannya meniti (lagi) karir sebagai dayang Istana, bukan berarti perjuangannya selesai. Justru dayang senior yang melanjutkan tradisi keluarga untuk bermain politik internal dan melakukan bisnis gelap untuk memperkaya diri membuat Janggeum dan sahabat ibunya dibuang ke pulau Jeju. Ringkas cerita, setelah beberapa waktu, Janggeum berhasil kembali ke Istana. Perjuangannya masih berlanjut. Sampai akhirnya dia berhasil dipromosikan ke tempat terhormat sebagai dokter perempuan pertama di Istana Kerajaan.
Nah dari kedua cerita di atas itu, kita bisa melihat bahwa daya sihir sebuah cerita, dalam arti tingkat kedalaman inspirasi sebuah cerita, terletak pada nilai perjuangannya. Apalagi kalau perjuangan itu dimulai dari lembah kesengsaraan dan kehinaan. Semakin terpuruk seseorang memulai perjuangannya ditambah semakin tinggi tingkat kesuksesannya, maka semakin besar daya inspirasinya. Semakin besar daya pikat ceritanya.
Dengan itu, mungkin sekarang Anda bisa menjawab, menyebutkan sebuah nama, atau mungkin dua bahkan tiga nama. Alangkah bagusnya kalau kita bisa mendapatkan 3 nama yang amat diminati banyak orang Indonesia untuk difilmkan.
Dan alangkah membanggakan jika satu atau dua atau tiga film itu bisa merambah ke pemirsa di banyak negri lain dan mendapat sambutan baik, tidak perlu sehebat sambutan terhadap Oshin dan Janggeum—setengahnya saja sudah membanggakan.
Menurut Anda, siapakah perempuan Indonesia yang cerita hidupnya layak difilm-serikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H