Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan-jangan Black Campaign Tidak Berhenti di Tanggal 9 Juli 2014

24 Juni 2014   22:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:14 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14036007081300008114

[caption id="attachment_312569" align="alignnone" width="728" caption="(Ilustrasi oleh Hendri Maruf)"][/caption]

Di Indonesia, black campaign dalam wujud yang sudah lama dikenal salah satunya adalah character assasination atau pembunuhan karakter. Ketika istilah black campaign belum populer, pembunuhan karakter banyak beredar. Dan banyak di antara kita belum menyadari bahwa pembunuhan karakter adalah sebuah kejahatan serius atau kejahatan besar.

Karena, kalau waktu-waktu itu sudah ada kesadaran betapa jahat dan kotor upaya pembunuhan karakter, maka masyarakat pun bisa bangkit dengan cara-cara waktu itu untuk melawan. Mengapa tidak bangkit melawan?! Bisa saja karena sebab-sebab berikut ini: kesadaran masih rendah bahwa pembunuhan karakter adalah kejahatan serius; sarana untuk bangkit melawan kejahatan itu tidak ada; atau pun karena kekuatan di balik pembunuhan karakter itu terlalu besar untuk dilawan.

Kini, berkemaskan nama indah black campaign disertai teknologi internet, pembunuhan karakter menemukan cara-cara kemunculan yang canggih. Bahwa di musim pemilihan legislatif sudah muncul dan sekarang di musim pemilihan presiden bertambah-tambah, itu karena banyak faktor. Faktor kepentingan, adalah salah satunya.

Kepentingan apakah yang bisa ditarik dari kampanye kotor terhadap seseorang capres berupa pemuatan foto halaman muka Kompas edisi suatu hari di bulan Agustus 1998 dengan headline “Prabowo Diberhentikan”? Padahal Capres tersebut adalah Cawapres yang lima tahun lalu berpasangan dengan Megawati dan waktu itu dia aman-aman saja dari gangguan kampanye jahat/black campaign. Bukan cuma soal diberhentikan, tuduhan penculikan/ pembunuhan aktivits 1998 juga dilancarkan. Pun “penjahat HAM” disematkan.

Tujuan menjatuhkan nama sang capres memang jelas. Lebih dalam dari tujuan itu adalah supaya capres yang didukung berpeluang lebih besar dalam merebut pikiran dan hati rakyat yang masih bimbang memilih siapa. Khususnya merebut pikiran dan hati 22,4% masyarakat yang belum memutuskan pilihan (survei Kompas yang diberitakan harian tersebut 21 Juni 2014). Kalau ditarik lebih dalam lagi: lantas keuntungan apa yang dapat diraih kalau capres dukungannya memang akhirnya memenangkan pilpres 2014? Kepentingan diri sendiri sang pendukung bisa menjadi muaranya.

Hal yang sama juga berlaku pada capres sebelahnya. Kepentingan apakah yang bisa ditarik dari kampanya kotor terhadap capres tersebut berupa pemuatan berita RIP (Rest In Peace) yang tak lain berita dukacita? Tidak sekedar kematian, label SARA pun disematkan, yaitu huruf H yang disebarluaskan sebagai Herbetus (Herbertus) bukannya Haji. Pun keturunan Cina dilekatkan. Selain SARA, dia juga digelari tidak amanah karena janji memimpin DKI bakal tidak bisa dipenuhinya.

Menjatuhkan nama sang capres lawan adalah tujuan yang jelas; tetapi tujuan itu adalah tujuan antara saja. Tujuan menaikkan nama sang capres dukungannya adalah yang utama. Dan kalau tujuan utama tercapai tidaklah akan berakhir di situ. Itu akan berlanjut ke tujuan akhir yaitu yang menyangkut diri sendiri, tentang keuntungan diri dan kelompok pendukung.

Banyak pihak yang berkepentingan agar memperoleh kedudukan, mempertahankan kekuasaan politik, mempertahankan akses pada kekuasaan, dan seterusnya. Lalu ada faktor mencari peluang. Khususnya mencari peluang mencetak uang dari masa kampanye.

Cilakanya, buat sebagian pendukung tidak lagi jelas antara strategi kampanye dan pembunuhan karakter (sekarang kita senang menyebutnya black campaign). Batas antara strategi kampanye dan serangan jahat berupa pembunuhan karakter sudah buram karena unsur kepepet, unsur keterpaksaan memilih segala cara. Untuk tahu apakah sebuah strategi/cara sudah keterlaluan atau tidak adalah ketika Polisi sudah dipanggil-panggil untuk menahan.

Sayangnya, masyarakat kita sering menerima berita (yang sebagiannya adalah kampanye hitam dan negatif) tanpa bersikap kritis. Sehingga, ketika ada koreksi berita datang, berita yang pertama diterima itu sudah masuk ke benak dan tak dikoreksi lagi. Sehingga, pendukung Jokowi menganggap Prabowo memang penjahat HAM karena menculik dan membunuh aktivis. Sementara pendukung Prabowo menganggap Jokowi bakal merugikan orang Islam.

Mungkin ada pembaca yang berpendapat bahwa upaya pembunuhan karakter atau black campaign atau serangan opini jahat sama-sama kok diarahkan kepada kedua calon presiden. Dan mungkin saja segera seseorang lain nyeletuk bahwa serangan kepada nomor dua lebih banyak dibandingkan kepada nomor satu dengan menyuguhkan info ini: 5 negative/black campaign kepada Prabowo berbanding 25 black campaign kepada Jokowi. Ini pun mungkin saja berlanjut dengan balasan dari orang lain yang mengajukan berita negative campaign itu boleh, asalkan bukan black campaign.

Di bulan Juni 2014 ini, aktivitas pendukung kedua pihak semakin meningkat di dunia maya. Tetapi sekaligus juga mereka kini menjadi sensitif. Pertemanan pun di banyak kejadian menjadi renggang bahkan putus.

Masih ada beberapa hari menjelang tanggal 9 Juli 2014. Akan berkembang seperti apakah serangan opini jahat dalam wujud pembunuhan karakter atau black campaign itu?

Menyimak perkembangan perilaku masyarakat di semua lapisan, baik di kota besar maupun di kota kecil, selama puluhan tahun terakhir, maka perilaku yang beradab tampaknya masih jauh. Sebuah contoh adalah bagaimana perkembangan perpeloncoan di kampus bahkan di sekolah telah berevolusi dari sekedar kekerasan verbal (diejek-ejek) pada era 1960an, 1970an menjadi kekerasan verbal plus kekerasan fisik pada era 2000an, 2010an. Korban cidera banyak, dan korban jiwa pun terjadi.

Perilaku tawuran di tingkat sekolah menengah yang dari waktu ke waktu terjadi, tanpa pernah putus. Tawuran juga terjadi di sebagian kecil mahasiswa dan di sebagian kecil masyarakat (antar wilayah). Porsinya memang kecil, tetapi dari waktu ke waktu itu terjadi. Tawuran massal dalam wujud amuk massal masuk ke dalam kamus bahasa Inggris berupa “run amok.”

Tampaknya, tawuran massal telah berevolusi ke dunia maya. Tawuran massal di dunia maya dikatakan pengamat berwujud pada dua jenis: yang diorganisir dan yang tidak diorganisir.

Mungkin saja intensitas serangan sampai 9 Juli 2014 bakal tetap tinggi. Mungkin saja mereda setelah tanggal itu.

Tetapi, sangat mungkin terjadi bahwa tahun pertama kepemimpinan Presiden RI ke-7 yang baru nanti black campaign masih berlanjut dalam wujud serangan opini jahat. Kebanyakan masyarakat kita belum sampai tingkat jiwa besar mengakui kemenangan lawan. Apalagi kalau mengingat sifat orang Indonesia menurut Mochtar Lubis, antara lain: hipokrit, tukang menggerutu, watak yang lemah, cepat cemburu & dengki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun