Pernah sekali tepatnya hari minggu, di bulan april, saya hang out bersama barista di coffee shop  yang pernah saya jumpai, ya, sekarang kami berkawan, dan sekarang saya  pun sudah sering tersenyum. Kami berdua berjalan menyusuri dinginya kota jogja, melewati beberapa kali lampu merah, menuju  kesepakatan destinasi  kami berdua yakni malioboro, bagi mahasiswa di jogja, sudah sangat keterlaluan jika tidak pernah menyambangi tempat ini.
Malioboro  menyimpan aneka keistimewaan, simbol dan nuansa keraton khas kerajaan-kerajaan zaman dahulu, bangunan-bangunannya, arsitektur, lukisan, delman, kursi, dan orang-orangnya juga membawa kita seolah  bernostalgia dengan masyarakat kerajaan zaman dahulu.Â
Bangunan bersejarah seperti Benteng Vredeburg, Gedung Agung, Gedung Kantor Pos, Gedung Bank Indonesia dan Gedung Bank BNI juga menggambarkan arsitektur dan seni dari masa Kolonial.
Setelah sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai juga. Suasana hiruk pikuk manusia dengan berbagai macam karakter seolah menyambut kedatangan kami, hilir mudik orang kesana kemari membuat kepala saya pusing sejenak, lantas kami berjalan kaki,memarkirkan motor dan mengambil tiket masuk dan karcis parkir.Â
Kami berjalan  pelan menyusuri bangunan-bangunan megah khas kerajaan dan arsitektur khas kolonial, tak lupa pula menyempatkan untuk membeli es krim, untuk sedikit mengurangi dehidrasi  selama perjalanan .Â
Entah mengapa Saya mendadak teringat  dengan para jomblo yang kesannya kok menderita sekali  ditempat ini, beruntung saya berjalan berduaan dengan si barista, jika tidak mungkin saya  juga akan menderita, menyaksikan kemesraan dari ratusan pasangan yang ada di tempat ini.
Nasib jadi jomblo terutama ditengah keramaian, tentu menyakitkan bukan? Namun percayalah untuk para jomblo ditempat ini, termasuk saya,penderitaan kita hanyalah sekelumit permasalahan di kehidupan ini.Jadi buat kawan-kawan jomblo di Malioboro ini dan dimanapun, yang tabah ya...
Tidak bermaksud menyepelekan permasalahan para jomblo, kejombloan yang dianggap masalah yang paling menyedihkan dan menyakitkan itu, bisa jadi hanya secuil dari persoalan lain yang meramaikan gejolak kehidupan.Â
Kemanapun kita berpindah, masalah akan silih berganti menghiasi jejak Langkah kita, termasuk di saat-saat malam minggu seperti ini. Sebetulnya jatuh cinta bukanlah suatu masalah, yang jadi masalah dan bisanya paling ditakutkan adalah jatuh cinta pada orang yang salah.
Belajar dari Bawang Bombay
Saya selalu percaya tentang filosofi bawang Bombay, bahwasannya hidup ini berlapis-lapis, tiap kali dikupas akan ada lapisan baru  di dalamnya, analogi yang sejalan dengan dengan kehidupan kita, setiap suatu masalah kelar, akan muncul masalah baru, sehingga tak jarang jika mental dan hati kita tidak kuat, maka tangis dan air mata akan menemani kita saat mengupasnya.
Ya, dalam kehidupan tentu belajar menghadapi lapisan persoalan yang silih berganti dengan kurewatan masing-masing, tentu akan membuat kita letih, putus asa,kecewa, stress dan bahkan  konsekuensi yang paling buruk adalah dapat mengganggu dan merusak sistem imun tubuh. Tetapi saya selalu percaya bahwa belajar menghadapi lapisan demi lapisan persoalan akan membuat kita menjadi lebih tangguh.
 Ketika  mencintai seseorang, kita akan merelakan diri untuk berbagi waktu, perhatian, dan kesenangan bersama orang yang kita cintai. Bila kita belum merelakan diri untuk mencintai, itu karena kita masih ingin menghirup aroma kebebasan penuh.Â
Saat menjalani hidup dengan orang yang kita cintai, mengandaikan kita siap untuk menyatukan keinginan dan kebutuhan diri ke dalam kebersamaan, sepakat atas nama cinta tentu akan menumbuhkan tanggung jawab besar pada diri masing-masing.Â
Jadi untuk para jomblo, jangan pula tergesa-gesa untuk mencari pasangan, toh jika sendiri, masih merasa baik, untuk apa mengambil risiko jatuh kedunia percintaan yang berujung toxic.
Bagi saya Bahagia itu sederhana, duduk didepan teras rumah, menyaksikan sunset ditemani secangkir kopi hangat dengan sedikit tambahan aroma nikotin dari rokok sampoerna, sungguh kebahagiaan yang menurut saya sudah cukup sempurna bagi saya yang kurang sempurna dan jomblo ini, yah, tapi selalu berpikir apakah bahagia yang saya alami ini bermakna bagi diri saya  atau tidak.
Akhirnya, saya menyadari bahagia yang seseungguhnya adalah k etika kita bisa merasakan arti dari penderitaan, termasuk misalnya penderitaan menjadi seorang jomblo. Membangun  komitmen pada diri sendiri sebetulnya menjadi core poin dalam menghadapi persoalan yang, toh, kita sendiri yang menjalani, tak perlu terusik dengan persepsi orang-orang tentang hidup kita, cukup terus kukuh dan pantang menyerah, karena yang tau tentang diri kita adalah kita sendiri.
Esensi dari persoalan itu terletak pada bagaimana kita menyikapinya, karena memahami persoalan juga perlu cara yang unikl ,dengan memaknai masalah-masalah kecil secara mendalam. Sebuah konsep sederhana yang layak diikuti oleh siapa saja  yang menginginkan growth dan bukan sekadar result.
" Jos, es krimnya sudah mau habis itu, kenapa tidak di cicipi", ketus  Melania, sembari tersenyum kecil. seketika membuyarkan lamunanku selama perjalanan malam itu.
" Eh, maaf," timpal ku, mengernyitkan dahi.
Waduh kenapa jiwa jomblo ini masih mengontrol momen-momen seperti ini, padahal saya  sedang jalan berdua, tapi serasa sedang sendiri. Waduh sepertinya aku belum siap untuk berduaan hhhh...
Oh iya, untuk para jomblo jangan pernah merasa minder dengan status anda, toh yang menjalani hidup adalah diri kita, selama kita masih mendamba kebebasan, sembari menyeruput kopi dan sedikit aroma nikotin dari rokok sampoerna tak ada yang salah dengan itu, hanya saja jangan sampai kita berkutat pada kebahagian semu seperti itu, mulai dengan self management untuk mengatur kearah mana diri kita seharusnya berpijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H