Akhir-akhir ini berita hangat seputar invasi rusia terhadap negara ukraina,menjadi salah satu headline  dan santapan empuk para jurnalis baik dalam skala lokal maupun internasional,model pemberitaan jurnalistik yang ditawarkan pun berbeda-beda, ada yang netral maupun berpihak pada salah satu kubu, media-media di Indonesia pun tak mau ketinggalan harum cendananya, intensinya pun juga berbeda-beda,sudah barang tentu komersialisasi adalah salah satu tujuan utamanya.
    Terkadang media harus merelakan netralitasnya demi menyajikan komoditas berita dengan tagline yang super duper alay untuk menarik atensi publik agar singgah dan membaca hidangan diksi-diksi yang terkadang dipelintir atau bahkan dilebih-lebihkan.Lantas dengan realitas demikian,  kode etik jurnalisme, bisa kita katakana hanya sekadar formalitas yang menjadi banker bagi para jurnalis untuk berlindung dari aneka tuntutan pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan yang di sadurkan oleh para jurnalis.
    Padahal kita tahu bahwasannya media,merupakan salah satu pilar demokrasi bangsa Indonesia, yang seyogyanya bertugas membongkar kedok-kedok para penguasa melalui jalur investigasi jurnalistik agar bangsa ini dapat menilai dan melihat sejauh mana para elite memprioritaskan kemaslahatan bersama atau justru sebaliknya memuluskan jalan kepentingan pragmatis dari golongan atau kelompoknya agar tetap berada pada lingkaran kekuasaan.
Mencari Media Yang Tendensius
    Agaknya, menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk menakar sejauh mana netralitas dan independensi dari suatu media untuk berdikari dan menolak adanya intervensi kooperatif maupun intervensi kekuasaan, namun berdasarkan catatan investigasi tempo, sekurang-kurangnya terdapat beberapa media yang dianggap tendensius, Masalahnya, sejumlah media yang dimiliki elite partai menunjukkan ada indikasi tak independen dan tak netral terkait dengan berita politik menjelang pemilihan umum 9 April nanti.
    Hasil penelitian Masyarakat Peduli Media menunjukkan adanya keberpihakan media terhadap pemiliknya. Peneliti dari Masyarakat Peduli Media, Muzayin Nazaruddin, memberikan dua contoh media televisi yang berpihak ke pemiliknya, yakni TV One milik Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Metro TV milik Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Demikian pun TV One, lebih banyak menyiarkan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie dibanding partai dan calon presiden lainnya,
    Keberpihakan tak hanya terjadi di televisi, tapi juga media cetak. Muzayin memaparkan Rakyat Merdeka  juga memberi porsi pemberitaan dominan bagi Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos Group, citra yang dibangun Jawa Pos terhadap figure ini juga cenderung positif dan dominan, Dalam hasil penelitian PR2M, media massa, baik cetak maupun elektronik yang dimiliki politikus, sering digunakan untuk kepentingan pribadi.
    Tentu realitas jurnalisme yang sedemikian mirisnya, lama kelamaan akan menimbulkan kerancuan dan bias informasi di ruang publik, masyarakat yang minim literasi tentu akan menjadi objek empuk  para jurnalis dalam menyiarkan berita yang minim substansi , terutama jika dibumbui dengan tagline yang cenderung vulgar dan melebih-lebihkan fakta clickbait masyarakat akan mudah terpancing dan terkooptasi oleh alur berpikir media yang tendensius.Terutama  tingkat literasi masyarakat Indonesia yang belum berbanding lurus dengan penggunaan internet itu sendiri.
Netralitas Hanya Mitos?
    Netralitas media dan jurnalisme sebetulnya menjadi ruh  agar tercipta suatu hidangan yang objektif terhadap fakta yang terjadi dilapangan, Netralitas mengandaikan media dan jurnalis menjaga jarak dengan objek pemberitaan, sehingga prasangka dan intervensi kepentingan bisa jauh dari objek pemberitaan,namun apakah bisa demikian? Tentu tak semudah membalikan telapak tangan, media dan jurnalis diberondong berbagai macam intervensi yang mereka sendiri tak mampu kendalikan
    Tidak berhenti di situ, Chomsky dan Herrman (1988) bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa media tidak mungkin bersikap netral. Alasan kontekstual yang mendasari hal tersebut terbagi kedalam empat bagian; pertama, media ownership yakni berkaitan dengan kepemilikan media tertentu oleh sejumlah konglomerat sehingga,terkadang pemberitaan yang disadurkan pembaca bersifat gloryfing the owner memuja-muja figur  pemilik media serta sedapat mungkin menutup-nutupi kekurangan maupun masalah yang pernah dialami sang pemilik media.
    Kedua, advertising money ini berkaitan dengan pembiayaan iklan sebagai salah satu oksigen bagi media untuk terus bernafas dan memperoleh keuntungan komersial agar usaha pemberitaan tetap dapat berjalan . Ketiga, media elites yaitu elite media yang mengontrol redaksi atau narasi berita dengan sumber-sumber tertentu. Keempat, flack and the enforcers ini berhubungan dengan ancaman yang diberikan oleh oknum tertentu kepada para jurnalis maupun keluarga mereka jika sampai memberitakan sesuatu terutama berkaitan dengan kasus investigasi .
    Berkaca pada hal tersebut, tentu terkadang cukup mustahil bagi media dan jurnalis bersikap netral dalam menyajikan suatu berita, alhasil pemberitaan yang diproduksi  cenderung hanya berkutat pada keempat bingkai intervensi struktural diatas, dan netralitas yang diinginkan masyarakat media hanya mitos belaka.
    Kredo bahwa media harus berada dalam posisi yang netral menjadi tidak relevan lagi. Media seyogyanya mencari kebenaran bukan justru kemudian memproduksi kebenaran itu sendiri, mencari kebenaran dapat dilakukan melalui observasi lapangan, investigasi dokumen-dokumen historis sebagai basis data,wawancara atau bahkan menyebarkan angket, sebetulnya jika media dan jurnalis berjalan pada koridor metodologis seperti itu, sudah barang tentu, media kita menyajikan apa yang seharusnya disajikan.
Kemana Seharusnya Media Berpihak?
    Setiap media dan jurnalis memiliki pedoman dalam menyiarkan maupun menyuguhkan suatu berita, bumbu dan peralatan yang digunakan setiap media/pers maupun jurnalis dalam menghasilkan berita pun tergantung pada visi-misi dan orientasi dari masing-masing media, akan tetapi semua itu diatur dalam koridor yang sama yang sering dikenal sebagai kode etik jurnalistik.
    Kode etik jurnalistik ini sendiri memiliki tujuan mulia untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.Di Indonesia sendiri kode etik jurnalistik itu sendiri dipengaruhi oleh banyaknya organisasi wartawan di Indonesia, untuk itu kode etik juga berbagai macam, antara lain Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (KEJ-AJI), Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia, dan lainnya.
    Eksistensi organisasi ini kemudian bertujuan untuk menjadi garansi bagi setiap media,pers maupun jurnalis untuk mencari dan menyebarkan berita tanpa adanya intervensi termasuk dari elite dan pemilik media itu sendiri,  namun meskipun sudah di backup  dengan semua itu,agaknya media dan para jurnalis masih kurang berani untuk bentrok dengan kelompok maupun kalangan elite dari masing-masing media, hal tersebut tentu akan berimplikasi pada karier dari jurnalis maupun penulis media yang mungkin akan didepak dari media bersangkutan dan tentu menjadi ketakutan tersendiri bagi para jurnalis. Sehingga para penulis maupun jurnalis alergi ketika   berhadapan dengan elite pers dan penguasa media, mereka justru main aman dengan mengikuti propaganda maupun koridor dari elite media itu sendiri.
    Bila mengutip pendapat Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw sebagaiÂmana dikutip Bungin 2007 dijelaskan jika media memberikan tekanan pada suaÂtu peristiwa, maka media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan peÂtunjuk tentang mana isu yang lebih penÂting. Oleh kerana itu model agenda setting mengasumssikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan khalayak.
    Gagasan Maxwell McCombs dan DoÂnald L. Shaw sebetulnya  ideal dengan konteks pers saat ini . Hal itu karena eksistensi media dan jurnalisme  menjaga komitmen independensi untuk membangun ruang publik yang sehat. Namun, publik juga perlu  memahami  bahwasannya eksistensi media dan jurnalistik tidak bisa dilepaskan dari dunia industri, sehingga kalkulasi untung rugi demi masa depan media juga menjadi prioritas.
    Tak bisa dinafikan, eksistensi media dan pers tak pernah sepenuhnya netral, selalu ada kalkulasi ekonomis untuk menjaga keberlangsungan napas media agar tetap berjalan, hal yang perlu dilakukan media tentu adalah menjaga jarak  sedemikian mungkin dari kalkulasi korporasi agar berita yang disajikan juga tidak semuanya ber tendensius, oleh karena itu media pada galibnya berpijak pada independensi dan kode etik jurnalistik sehingga  apa yang diberitakan tak bias dan menimbulkan carut marut di ruang publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H