BAB I Â PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hak asasi merupakan hal yang sangat sensitive dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh negara memiliki peraturan tersendiri dalam melindungi ham. Akan tetapi sering kali ham tersebut masih di pandang sebelah mata apalagi menyangkut perbedaan gender antara pria dan wanita. Wanita sering kali di anggap rendah dibandingkan pria, sehingga sering kali bermunculan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khusunya wanita dalam pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperang dan berpenaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik,ketegangan, kekecewaan dan kepuasaan terhadap keadaan fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masingmasing, apabila masalahnya di selesaikan dengan baik dan sehat maka setiap anggota keluaraga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga, penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi mencari akan permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancer, disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga
TUJUANÂ
Tujuan Dari tulisan ini adalah : Â Â
- Menjelaskan yang di maksud dengan kekerasan dalam rumah tangga
- Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
- Menjelaskan factor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga
- Menjelaskan cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga
BAB II PEMBAHASAN
PENGERTIAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) no. 23 tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dimungkiri, bahwa masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai "tabu" internal keluarga, yang karenanya tidak layak diungkap ke muka umum. Maka tidak heran, meski uu ini sudah berlaku lebih dari tiga tahun, kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari. Terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, UU ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga. Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, keperdulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja. Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tiba-tiba saja menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia pada tiga tahun terakhir ini, utamanya setelah rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga disahkan menjadi UU-RI NO. 23 tahun 2004. Wacana ini sebenarnya bukan hal yang asing bagi para aktivis dan pemerhati masalah perempuan, karena masalah  domestic violence telah mengemuka seiring dengan munculnya concern terhadap masalah perempuan.