Di era di mana kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi pusat perhatian, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang tak hanya menggugah, tapi juga menantang eksistensi kita: Apakah pekerjaan manusia akan tetap diperlukan, atau apakah kita akan menjadi usang dalam dunia yang semakin dikuasai mesin? Ini bukan hanya soal pekerjaan yang hilang; ini adalah pertanyaan tentang makna pekerjaan itu sendiri, tentang hubungan manusia dengan dunia yang mereka bentuk. Dan lebih dari itu, ini adalah pertanyaan besar tentang siapa yang akan menentukan arah masa depan: kita, atau teknologi yang kita ciptakan?
Dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, pada Januari 2025, ketegangan ini terungkap dengan jelas. Para pemimpin dunia dan pakar teknologi berbicara tentang masa depan tenaga kerja, namun dalam setiap kata yang terucap, ada ketidakpastian yang membayangi. Di satu sisi, ada yang menganggap AI sebagai katalisator perubahan yang akan membuka peluang kerja baru---lapangan pekerjaan yang lebih dinamis, lebih berbasis keterampilan. Di sisi lain, ada mereka yang lebih skeptis, yang khawatir bahwa kemajuan teknologi akan membuat manusia semakin terpinggirkan. Dapatkah kita, manusia, terus bersaing dengan mesin yang lebih cerdas dan lebih efisien? Akankah kita tetap memiliki tempat dalam pasar tenaga kerja?
Menggali Konsep Pekerja Digital
Di tengah perdebatan ini, muncul sebuah konsep baru yang mungkin terdengar revolusioner: pekerja digital. Istilah ini menyarankan bahwa di masa depan, bukan hanya manusia yang akan bekerja, tetapi juga AI yang akan mengelola berbagai tugas---dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Pada pandangan pertama, konsep ini mungkin tampak seperti kemajuan yang menggembirakan. Mesin yang bekerja bersama manusia, melengkapi kemampuan kita yang terbatas. Tetapi di sinilah kita mulai mendapati keraguan. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan "pekerja digital"? Apakah kita sedang berbicara tentang pengembangan simbiosis antara manusia dan teknologi, atau apakah kita hanya menanti saat ketika teknologi akan menggantikan manusia sepenuhnya dalam dunia kerja?
Kita berada di persimpangan jalan ini, di mana teknologi bisa memperluas potensi kita atau mematikannya. Jika AI hanya membantu kita menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efisien, mungkin ini akan memberi kita lebih banyak waktu untuk berkreasi dan berinovasi. Tetapi jika AI benar-benar mengambil alih sebagian besar tugas yang kita lakukan, bagaimana kita akan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan? Dan lebih penting lagi, siapa yang akan mengisi ruang tersebut? Karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat, untuk belajar keterampilan baru yang diperlukan di dunia yang semakin otomatis.
Ketidakpastian dan Ancaman FOBO (Fear of Becoming Obsolete)
Di balik optimisme yang dipromosikan oleh sebagian besar pengamat teknologi, ada ketakutan yang lebih mendalam, yang terus membayangi: Fear of Becoming Obsolete (FOBO). Ketakutan ini bukan sekadar kecemasan tentang pekerjaan yang hilang, melainkan ancaman terhadap identitas dan nilai-nilai kita sebagai individu. Pekerjaan bukan hanya sekadar cara untuk mencari nafkah---pekerjaan adalah inti dari rasa tujuan dan makna dalam hidup. Apa yang terjadi ketika pekerjaan yang kita kenal dan hargai perlahan menghilang? Apakah kita akan menemukan cara baru untuk mengisi kekosongan itu, atau akankah kita terperangkap dalam dunia yang dipenuhi dengan ketidakpastian?
FOBO bukanlah masalah individu saja; ini adalah masalah sosial yang lebih besar. Mereka yang terpinggirkan dalam proses otomatisasi---apakah mereka akan menemukan jalan untuk beradaptasi, ataukah mereka akan ditinggalkan dalam gelombang perubahan yang tak terbendung? Adakah peluang bagi mereka yang tak terakses dengan pendidikan atau pelatihan ulang untuk beradaptasi dengan dunia yang baru? Ini bukan hanya soal mereka yang sudah berusia lebih tua, tetapi juga soal generasi muda yang bahkan belum sempat memulai kariernya ketika dunia berubah begitu cepat.
Apakah Reskilling Cukup untuk Menanggulangi Gelombang Perubahan?
Reskilling---atau pelatihan ulang---dianggap oleh banyak pihak sebagai solusi yang paling praktis untuk menghadapi ancaman ini. Tetapi apakah itu cukup? Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana keterampilan baru tumbuh lebih cepat daripada yang bisa kita pelajari, apakah kita bisa mengejar ketertinggalan? Dan siapa yang akan memastikan bahwa pelatihan ini tersedia bagi mereka yang membutuhkan, bukan hanya untuk mereka yang sudah berada di puncak piramida sosial dan ekonomi?
Sementara itu, sektor-sektor yang lebih mudah digantikan oleh AI---seperti layanan pelanggan, transportasi, dan manufaktur---akan melihat perubahan yang lebih cepat. Akan tetapi, sektor-sektor kreatif dan strategis, yang selama ini dipandang sebagai wilayah yang aman bagi manusia, juga mulai terguncang. AI kini tidak hanya menggantikan pekerjaan-pekerjaan teknis, tetapi juga mengambil alih tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran kritis, perencanaan strategis, bahkan seni. Mesin, yang pernah dianggap sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas, kini berpotensi menjadi pesaing utama kita dalam bidang yang paling manusiawi sekalipun.