Mohon tunggu...
Hendrik Munthe
Hendrik Munthe Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Sadarlah bahwa dalam ketidaktahuan, terbuka lebar ruang bagi segala kemungkinan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Setelah Badai - Bab 1: Jejak yang Terlupakan

5 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 5 Desember 2024   12:05 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, Rendra bangun dengan perasaan yang berat. Hujan yang terus turun semalaman memberi kesan bahwa dunia di luar sana juga gelisah, sama seperti perasaannya. Suara rintik hujan yang jatuh di kaca jendela terasa seperti irama yang mengingatkan pada kekosongan yang semakin membesar dalam hidupnya. Semua yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir meninggalkan jejak yang mendalam, tetapi tidak ada yang bisa memperbaiki keadaan.

Dia berjalan ke ruang makan, di mana meja makan yang seharusnya penuh dengan tawa dan percakapan kini terasa sunyi. Winda, istrinya, sudah tidak seperti dulu. Mereka berdua tinggal bersama, tetapi semakin lama, semakin terasa ada jarak yang tak terjembatani. Winda pulang larut malam hampir setiap hari, tidak ada lagi kebersamaan yang dulu mereka nikmati. Setiap percakapan yang mereka lakukan seakan berputar tanpa arah, dan Rendra merasa semakin terasingkan.

Rendra memandang secangkir kopi yang sudah dingin di meja. Ia mengingat bagaimana dulu mereka duduk bersama, berbicara tentang masa depan yang penuh harapan. Tetapi sekarang, masa depan itu terasa semakin kabur. Apa yang telah berubah? Apakah semuanya memang berakhir seperti ini?

Suara pintu depan yang terbuka menarik Rendra dari pikirannya. Winda masuk, tampak lelah, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Rendra bisa merasakan ketegangan di udara. Mereka sudah lama tidak berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan setiap kali dia mencoba mengajak Winda berbicara, jawabannya hanya penuh dengan kebisuan yang semakin menguat.

"Hai," kata Rendra, suaranya terdengar agak kaku. "Bagaimana hari ini?"

Winda hanya mengangguk pelan, lalu duduk di kursi yang biasanya dia duduki. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat seperti dulu. Hanya ada keheningan yang semakin mendalam.

Rendra merasa cemas. "Winda, kita harus bicara," katanya, mencoba memecah keheningan itu. "Tentang kita. Tentang apa yang terjadi."

Winda mengangkat wajahnya, tetapi tidak langsung menatapnya. "Aku lelah, Rendra," jawabnya dengan suara rendah. "Aku hanya ingin istirahat."

Rendra merasakan kegelisahan yang semakin menguasai dirinya. "Kita tidak bisa terus menghindari ini, Winda. Kita harus bicara. Tentang apa yang terjadi dengan kita," katanya, suaranya terdengar penuh dengan kekhawatiran.

Winda terdiam sejenak, matanya tetap menghindar dari tatapan Rendra. "Aku tidak tahu, Rendra," jawabnya akhirnya, suara itu hampir tidak terdengar. "Aku merasa seperti kita sudah jauh."

Rendra terdiam. Kata-kata itu menyentuh hatinya lebih dalam daripada yang dia kira. Sejak beberapa bulan terakhir, dia memang merasakan ada yang berubah, tetapi mendengar Winda mengatakannya dengan begitu jelas membuat segalanya terasa lebih nyata. "Jadi, kamu merasa kita sudah tidak bisa kembali seperti dulu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun