Indonesia adalah negara agraris. 72 persen penduduk hidup dari pertanian, yang secara luas didefinisikan mencakup pertanian rakyat, pertanian perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan darat. 50 persen memperoleh total pendapatan mereka dari kegiatan yang berhubungan dengan pertanian ini; 22 persen sisanya, selain bertani, memiliki pekerjaan tambahan. Lebih dari 50 persen nilai ekspor berada pada produk pertanian seperti karet, tembakau, kelapa sawit, kopra, teh, kopi, kina, rempah-rempah, hasil hutan, dan ternak.
Meski demikian, lemahnya industri perkayuan tercermin dari kelemahan dan desentralisasi kelembagaan kehutanan pemerintah. Pada bulan Mei 1967 pemerintah mengadopsi Undang-Undang Dasar Kehutanan (BFL) yang memusatkan sebagian besar kewenangan negara atas hutan, dan menghilangkan banyak hambatan hukum dan yurisdiksi untuk penebangan komersial skala besar. BFL memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk memberikan Hak Pengusahaan Hutan kepada perusahaan swasta secara langsung, tanpa melalui pemerintah provinsi atau Perhutani. Maka dari itu, kelestarian hutan sekarang harus didekati terutama melalui program Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) di Indonesia (2016-2021).
Dilema nafkah rumah tangga yang dihadapi petani di areal perhutanan adalah ketergantungan pada jenis tanaman tertentu seperti perkebunan kelapa sawit sehingga terjadi penyempitan ruang hidup. Hilangnya keragaman mata pencaharian mesti dirubah melalui tata pengelolaan kehutanan yang tidak didominasi monokultur komoditas pertanian. Oleh sebab itu, ekstensifikasi pemanfaatan lahan pertanian baru untuk tanaman singkong, sengon, jagung dan Jabon perlu ditingkatkan. Pembukaan areal persawahan baru dilakukan secara selektif di daerah Lampung, terutama dengan perbaikan regulasi yang rumit agar tanaman singkong dan sengon dapat dinikmati oleh petani. Pertanian jagung dan jabon di Gorontalo perlu dilakukan dengan basis dalam skala besar, agar pasar industry (manufacture) dapat berkembang dengan biaya produksi yang rendah (sumber : Wijatnika Ika 2014).
Program Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) di Indonesia yang sekarang sedang berevolusi menekankan perubahan yang jelas-jelas diperlukan untuk produksi pertanian. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, perbaikan tata kelola ekonomi daerah dengan tanaman singkong, sengon, jagung dan jabon di daerah perlu ditingkatkan (sumber: Lukas Rumboko W). Selain itu, ketika sejumlah tanaman ini tersedia, mendorong efisiensi pasar dan melakukan kegiatan lain untuk mendukung modernisasi pertanian menjadi layak untuk dilakukan. Pendekatan selangkah demi selangkah yang diproyeksikan di Indonesia memanfaatkan pengalaman yang diperoleh dalam ACIAR. Upaya ini meningkatkan produksi melalui aksi kegiatan kerja sama Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for Internatioanl Agricultural Research. Mahasiswa, peneliti, penyuluh dan petani dibina, tentang faktor-faktor produksi dan pemilihan daerah-daerah yang memiliki potensi produksi yang luar biasa - terutama dalam hal irigasi, drainase, dan transportasi. Mereka menghabiskan seluruh musim tanam bekerja dengan petani, mulai dari persiapan tanah hingga panen. Upaya telah dilakukan untuk memasok daerah ekstensifikasi pertanian dengan varietas benih unggul dan dengan pupuk dan pestisida.
Jika produksi meningkat, berbagai masalah yang lebih luas dapat diatasi, pasar, insentif harga, kredit, layanan pasokan, transportasi dan komunikasi, aksi kelompok, dan pendidikan penyuluhan. Ketika, misalnya, produksi singkong, sengon, jagung, dan jabon terjadi dalam volume yang memadai, maka akan muncul landasan baru untuk menangani kebutuhan kredit produksi. Demikian pula, perhatian pada pemasaran dapat ditingkatkan ketika ada cukup volume produksi untuk membutuhkan pasar yang lebih besar dan lebih baik.
Yang menjadi pertimbangan di Indonesia kemudian adalah asumsi tanggung jawab bertahap untuk mendukung modernisasi masyarakat pedesaan. Setelah layanan di wilayah kerja yang berpusat di kota telah menjadi unit yang berfungsi di beberapa wilayah, masalah organisasi yang lebih luas dengan lembaga perantara dan pusat dapat diselesaikan secara pragmatis. Unit lokal pada akhirnya dapat diintegrasikan ke dalam sistem nasional dan berkontribusi pada perencanaan nasional yang komprehensif. Dalam mengorganisir perbaikan tata kelola ekonomi daerah dan modernisasi pertanian, Indonesia mengusulkan untuk dialog kebijakan antar sektor terhadap produksi pertanian sebagai wilayah kerja. Di dalam wilayah kerja, ada penduduk desa yang dipimpin oleh lurah (kepala desa). Ada sekitar 3.000 wilayah kerja kecamatan di Indonesia; rata-rata kecamatan mencakup sekitar lima belas desa dengan populasi masing-masing 1.600 orang. Dalam kerangka organisasi seperti itu, personel yang bekerja untuk mempromosikan peningkatan produksi, untuk meningkatkan pasar, untuk memecahkan masalah deregulasi regulasi, dan untuk melakukan pendidikan penyuluhan dapat bergabung dalam hubungan yang efektif antara pengawas daerah dan pusat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H