Mendengar mengenai kata sampah, tentunya tidak asing bagi telinga kita semua. Sebenarnya, apa sih pengertian sampah? Nah, merujuk pada Undang Undang No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Dari pengertian ini, akan muncul pertanyaan lain apakah pembuangan yang berbentuk cair bukan sampah? Tentunya, pembuangan yang berbentuk cair juga termasuk sampah karena sampah memiliki beberapa jenis berdasarkan sifat dan bentuknya yaitu jenis sampah organik, sampah anorganik, sampah padat, dan sampah cair. Pengklasifikasian mengenai jenis sampah ini sangat mudah disebutkan akan tetapi akan menjadi tidak mudah apabila mengelola berdasarkan jenisnya seperti yang terjadi di Kota Ruteng Ibu Kota Kabupaten Manggarai.
Beridentitas sebagai kota dingin yang memiliki suhu di antara 9-220C dan berada di bawah kaki Gunung Ranaka dengan pepohonan hijau yang masih tumbuh dengan cantiknya, membuat udara di Kota Ruteng ini sangat bersih dan segar. Akan tetapi, potret kesegaran udara ini nampaknya tak cukup untuk mengganti identitas lain dari Ruteng yakni kota dengan tumpukan sampah. Pada tahun 2018, Ruteng menjadi salah satu dari lima kota dengan perolehan nilai terendah dalam program penilaian Adipura oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bersama dengan Waikabubak di Kabupaten Sumba Barat, Waisai di Raja Ampat, Buol di Sulawesi Tengah, dan Bajawa di Kabupaten Ngada, Ruteng mendapat gelar sebagai kota kecil terkotor di Indonesia. Gelar ini menjadi sebuah tamparan yang mengenai angin, karena rupanya selama kurun waktu hampir 7 tahun, masalah sampah masih menjadi perhatian khusus. Penyebab masalah sampah di Kota Ruteng masih terus ada antara lain;
- Kurangnya Kesadaran dan Tanggung Jawab Masyarakat terhadap Sampah
Tanggung jawab masyarakat sangat berkaitan dengan kesadaran dan perilaku mengenai pemisahan sampah di rumah tangga, membuang sampah pada tempatnya, dan pemeliharaan sampah di tempat umum. Hal-hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh pertanggungjawaban dalam hal produksi sampah. “Produksi sampah saat ini mencapai 6 hingga 8 ton per hari. Untuk menangani persoalan sampah di Ruteng tidak hanya tergantung Dinas Lingkungan Hidup tetapi juga menjadi tanggung jawab semua masyarakat". Hal ini disampaikan oleh Antonius Hani selaku Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Manggarai kepada wartawan viktorisnews.id, Rabu (17/7/2024). Peningkatan produksi sampah berhubungan dengan cara masyarakat untuk mengelola dan memilih tempat pembuangan sampah. Keadaan di Kota Ruteng, sampah di tempat umum sepert di Pasar Inpres Ruteng dan Pasar Puni berserakan tak karuan seolah-olah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dan air limbah menggenangi got yang menimbulkan bau yang menyeruak.
- Kurangnya Sarana, Prasarana, dan Sumber Daya
Kurangnya sarana Tempat Penampungan Sementara (TPS) di setiap kelurahan dan juga tidak tersedianya TPS di jarak terdekat dengan masyarakat, menyebabkan masyarakat lebih memilih membuang sampah di tempat yang terlihat seperti sungai. Keterbatasan TPS di setiap kelurahan juga berkaitan dengan tidak tersedianya petugas kebersihan pada setiap kelurahan sehingga sampah menjadi berserakan dan menimbulkan bau menyeruak. Lebih lanjut, pengangkutan sampah dari petugas menjadi tidak jelas mengenai waktu dan arahnya.
- Tidak Terkelolanya Sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
TPA di Kota Ruteng yang berada di jalan kilometer (km 5) Ruteng-Reo, Ncolang, Kelurahan Tadong belum dilakukan pengelolaan yang optimal. Sampah-sampah yang dibuang ke TPA, dibiarkan tanpa pemisahan yang jelas sehingga jarang dilakukan daur ulang. Akibatnya, bau yang kurang sedap di sekitar daerah TPA juga menyebabkan produksi lalat meningkat yang akan menghampiri warga sekitar.
Masalah sampah di Kota Ruteng, apabila tidak ditangani akan berdampak pada kesehatan khususnya pada penyakit menular. Dari sampah, akan muncul binatang yang dapat menularkan penyakit seperti lalat dan nyamuk. Peningkatan binatang penular ini atau yang biasa disebut vektor akan menyebabkan risiko meningkatnya penyakit menular yang ditularkan melalui vektor, seperti contohnya penyakit yang ditularkan melalui nyamuk yaitu Malaria dan DBD. Selain itu, sampah juga bisa menyebabkan macet dan tercemarnya aliran air di Kota Ruteng yang akhirnya akan menyebabkan masalah penyakit kulit dan masalah kesehatan lainnya seperti diare atau difteri.
Penanganan sampah sangat diperlukan di Kota Ruteng. Dapat dimulai dengan pemberdayaan masyarakat melalui tingkat kelurahan yang selanjutnya diperkecil lingkupnya pada Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW). Pemberdayaan ini, bukan sekedar memungut sampah tetapi juga meliputi pemberian informasi mengenai sampah, cara pemilahan sampah yang baik dan benar, dampak sampah bagi masyarakat, hingga penghasilan yang bisa diperoleh dari sampah. Setelah pemberian informasi, kemudian berdayakanlah masyarakat dengan pembuatan tempat sampah mini atau karya kerajinan dari sampah yang dapat digunakan sebagai tambahan penghasilan.
Kolaborasi pemerintah dalam pendekatan ke kelurahan untuk kemudian diteruskan ke tingkat RT perlu dipertajam lagi. Menangani masalah sampah bukan menjadi program Dinas Lingkungan Hidup saja, bisa juga dilakukan dengan beberapa lingkup berikut seperti:
- Dinas Sosial yang biasa berhubungan dengan masyarakat dalam pembagian bantuan (memberi sosialisasi dan penegasan mengenai pemilahan dan pengolahan sampah).
- Dinas Pariwisata Kreatif dalam menghasilkan karya dari sampah sehingga pada saat dilakukan pameran/festival bisa dipertimbangkan untuk dijual.
- Dinas Kesehatan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular.
- Akademisi dari tingkat Perguruan Tinggi di Kota Ruteng untuk membantu pemberdayaan pada masyarakat yang dilakukan mahasiswa pada saat KKN (membuat tempat sampah, membuat karya dari sampah, dsb).
Pemerintah perlu menetapkan regulasi mengenai kejelasan mengenai waktu pengangkutan sampah dan batasan kerja petugas kebersihan di Kota Ruteng. Selain itu, perlu memperhatikan mengenai pendistribusian TPS di daerah-daerah yang dapat dijangkau warga, minimal di setiap kelurahan terdapat satu. Dengan meratanya pendistribusian TPS, langkah pemberdayaan masyarakat dapat lebih mudah dilaksanakan juga bisa mengurangi penumpukan sampah di TPA, sehingga pemilahan dan pengolahannya lebih mudah.
Penangan mengenai masalah sampah, dilakukan dari masyarakat hingga ke pemerintah semaksimal mungkin dapat memberi identitas baru bagi Kota Ruteng. Identitas baru yang akan diperoleh bukan lagi mengenai sampah, melainkan sebagai “Kota Molas” (Molas adalah bahasa daerah Manggarai yang berarti Cantik/Indah) bukan hanya sebagai penghasil enu-enu (Enu=gadis/perempuan) molas, tetapi juga menjadi kota dengan lingkungan yang molas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H