Mohon tunggu...
Hendrika
Hendrika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

A lifelong learner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Orang Eropa Berjalan Lebih Cepat daripada Orang Asia?

29 Maret 2023   20:39 Diperbarui: 29 Maret 2023   20:48 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang berjalan (freepik.com)

Di era globalisasi seperti sekarang, sudah bukan menjadi hal yang aneh apabila kita, orang Indonesia, melihat bule-bule (sebutan orang Indonesia pada warga negara asing berkulit putih) pergi lalu lalang di jalanan kota.

Fenomena ini juga terjadi di Yogyakarta, bahkan mungkin telah terjadi jauh lebih dulu dibandingkan dengan kota-kota lain mengingat statusnya sebagai destinasi pariwisata nomor dua di Indonesia setelah Bali.

Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, setidaknya terdapat 2.900 wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Yogyakarta setiap bulannya (www.yogyakarta.bps.go.id November, 2022).

Jumlah tersebut cukup untuk membuat para pedagang atau wisatawan lokal di Jalan Malioboro untuk melihat setidaknya satu bule setiap harinya.

Seringnya melihat para bule berlalu lalang di jalanan kota Yogyakarta membuat saya tertarik untuk memperhatikan gerak gerik mereka. Para wisatawan mancanegara ini biasanya memiliki sebuah dresscode yang identik satu sama lain. 

Bagi pria biasanya menggunakan atasan kaos lengan pendek dengan celana setinggi lutut yang dipadukan dengan sepasang sneakers. 

Outfit serupa juga biasa digunakan oleh wanita hanya saja biasanya untuk atasan mereka menggunakan kaos tanpa lengan.

Tidak jarang juga keduanya memadukan gaya berpakaian tersebut dengan kacamata hitam untuk menahan teriknya sinar matahari Jogja dari mata mereka. 

Dari kegiatan “observasi bule” tersebut, terdapat satu hal yang menarik perhatian saya, yaitu cara berjalan para bule.

Apabila diperhatikan, para wisatawan mancanegara dari Eropa dan Amerika ini berjalan setidaknya dua kali lipat lebih cepat apabila kita bandingkan dengan warga lokal Jogja. Lebih jauh, mereka juga cenderung berjalan lebih cepat dibandingkan dengan wisatawan mancanegara lain yang berasal dari Asia maupun Amerika Latin.

Fenomena tersebut membuat saya berhipotesa bahwa bisa saja mereka cenderung berjalan lebih cepat dari orang Asia, khususnya Indonesia, karena budaya jalan kaki mereka yang cukup kuat.

Hipotesa saya tersebut bisa saja benar karena mengingat akses transportasi publik negara-negara di utara yang sudah saling terintegrasi sehingga para warga di sana tidak terlalu membutuhkan kendaraan pribadi untuk pergi bekerja ataupun melakukan aktivitas-aktivitas lain. 

Oleh karena demikian, berjalan kaki merupakan satu moda transportasi yang awam mereka gunakan.

Hipotesa saya tersebut juga didukung oleh riset yang dilakukan oleh PLOS One pada tahun 2018 yang mengatakan bahwa masyarakat Eropa dan wilayah barat Pasifik (termasuk Cina, Jepang, dan Korea) cenderung berjalan kaki lebih sering dibandingkan dengan kawasan lain. 

Namun sayangnya, riset tersebut juga membuktikan bahwa masyarakat negara berkembang berjalan lebih sering dari masyarakat negara maju (dalam hal ini, hipotesa saya terbantahkan).

Pertanyaan serta hipotesa tersebut kemudian terjawab setelah saya menemukan sebuah artikel karya Edward T. Hall berjudul “Monochronic and Polychronic Time” yang ia tulis dalam buku “Intercultural Communication: A Reader” karya Larry A. Samovar (dkk.) tahun 2010.

Hall berargumentasi bahwa perbedaan latar belakang kebudayaan mempengaruhi suatu kelompok masyarakat memandang waktu. Dalam artikel tersebut, ia membagi kelompok masyarakat ke dalam dua representasi (dalam artikelnya ia tidak ingin menyebutnya sebagai kategori) yaitu Monochronic Time (M-time) dan Polychronic Time (P-Time).

Kelompok masyarakat yang berasal dari budaya P-time (representasi dari wilayah Afrika, sebagian Asia, dan Amerika latin) memandang waktu sebagai sesuatu yang bisa mereka kontrol sehingga mereka cenderung melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan dan lebih tak acuh pada jadwal dan tenggat waktu.

Di sisi lain, kelompok masyarakat dengan budaya M-time (representasi dari wilayah Eropa dan Amerika utara) percaya bahwa waktu adalah segalanya. Orang-orang seperti ini memandang waktu sebagai sesuatu yang nyata dan konkrit sehingga, secara teknis, waktu merupakan sesuatu yang bisa kita simpan, gunakan, dan habiskan.

Kembali ke pertanyaan di awal, mengapa orang Eropa berjalan lebih cepat daripada orang Asia? Berdasarkan argumentasi dari Hall, hal ini disebabkan oleh orang-orang Eropa yang lebih menghargai waktu. Bagi mereka, berjalan kaki dengan tempo yang lambat sama saja dengan membuang waktu mereka. 

Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam konteks berjalan saja, di dunia kerja dan bisnis pun negara-negara di Eropa dan Amerika utara cenderung memiliki jadwal yang lebih ketat. Hal tersebut sesuai dengan istilah yang dipopulerkan oleh Benjamin Franklin, Founding fathers-nya Amerika Serikat, di tahun 1748 bahwa “Time is Money” (“Waktu adalah Uang”).

Dengan kembali mengacu pada pendapatnya Hall mengenai Monochronic Time dan Polychronic Time, kecenderungan masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta, untuk berjalan lebih lambat dibandingkan dengan para wisatawan mancanegara disebabkan oleh mayoritas orang Indonesia yang secara alamiah menganut Polychronic Time atau P-Time.

Orang Indonesia cenderung lebih santai dalam berjalan (dan kegiatan yang lain) karena mereka menganggap bahwa waktu merupakan sesuatu yang bisa “dikompromikan.” Kecenderungan ini juga yang menyebabkan orang Indonesia untuk lebih mungkin terlambat dibandingkan dengan orang-orang Eropa.

Terlepas dari itu semua, Hall juga menyebutkan bahwa tidak ada yang lebih baik dari satu dengan yang lain. Misalnya, di balik M-time yang sangat disiplin akan waktu, mereka mengesampingkan fakta bahwa masa depan sangat tidak bisa diprediksi. Di sisi lain, hidup terlalu santai juga tidak baik.

#upnyk #KLB2023  #klasmitingwriting2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun