Sebagai benua yang dinaungi oleh lebih dari 4 milyar manusia, dengan nilai total GDP mencapai 41,78 triliun dolar AS, Asia merupakan raksasa ekonomi dunia. Dengan melihat betapa besarnya uang yang mengalir di benua ini, tentu tidak terbayangkan seberapa destruktifnya krisis finansial apabila hal tersebut sampai terjadi.
Namun faktanya, krisis finansial benar-benar pernah terjadi di Asia, tepatnya pada tahun 1997. Pada saat itu, krisis finansial dimulai dengan runtuhnya mata uang Thailand, baht. Peristiwa tersebut menyebabkan "kabur"nya modal-modal asing dari kawasan yang juga dibarengi dengan turbulensi pasar saham. Kekacauan tersebut, selain menyebabkan resesi ekonomi, juga membuat beberapa pemerintahan harus terguling. Pemulihan ekonomi baru terjadi di tahun 1999, 2 tahun setelah krisis terjadi.
Sekarang, bayang-bayang krisis finansial tersebut kembali menghantui. Hal ini terjadi karena melemahnya mata uang dan pasar saham negara-negara besar Asia yang disebabkan oleh semakin menguatnya dolar AS. Selain itu, melambatnya pertumbuhan ekonomi China juga memicu keluarnya modal asing dari wilayah Asia.
China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, mengalami pelemahan mata uang, yuan, ke tingkat paling rendahnya dalam sejarah. Nilai tukar yuan terhadap dolar jatuh sampai ke angka 7,27.
Segala upaya telah dilakukan Pemerintah China melalui bank sentralnya. Akan tetapi, yuan terus mengalami pelemehan sampai rekor terendahnya di pasar luar negeri. Menurut laporan dari Refinitiv, Â sepanjang tahun 2022, yuan telah jatuh sebesar 11% terhadap dolar AS, menjadi yang terburuk sejak 1994.
Jepang sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, bahkan bernasib lebih buruk. Sepanjang tahun 2022, tercatat yen Jepang telah jatuh sebesar 26%, menjadikannya sebagai mata uang negara Asia yang mengalami penurunan paling parah. Di Asia Selatan, rupee India juga merosot ke rekor terendahnya sebesar 9%.
Kepala ekonom Asia di HSBC, Fredric Neumann, berpendapat bahwa pelemahan tersebut terjadi karena diperketatnya moneter oleh The Fed. "Pengetatan moneter yang dilakukan The Fed secara cepat membuat ekonomi global bergemuruh. Bahkan Asia dengan fundamental ekonomi makro yang kuat, sekarang menghadapi volatilitas pasar keuangan yang meningkat."
Dengan semakin tertekannya mata uang negara-negara di Asia, beberapa pengamat finansial khawatir akan terjadinya kembali krisis finansial apabila situasi tidak dapat terkontrol.
Walaupun begitu, para investor dipercaya belum mengalami kepanikan yang signifikan mengingat ekonomi Asia sekarang berada di posisi yang lebih baik untuk memulihkan mata uangnya dibandingkan dengan tahun 1997.
Untuk menghindari potensi krisis finansial 1997 kembali terjadi, beberapa negara sudah melakukan upaya-upaya pencegahan. Sebagai contoh, Jepang melalui Kementerian Keuangannya telah menghabiskan dana hampir 20 milyar dolar AS sejak September 2022 untuk memperlambat penurunan mata uang yen.
Kemudian India juga melalui Bank Sentral India telah menggunakan hampir 75 miliar dolar AS untuk menekan volatilitas rupee-dolar. Adapun volatilitas merupakan naik turunnya nilai tukar uang di pasar uang yang terjadi antara mata uang suatu negara dengan mata uang negara yang lain.
Terlepas dari semua itu, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, Asia sekarang berada di posisi yang lebih baik. Fundamental makro yang mendasari ekonomi Asia sekarang lebih baik dibandingkan dengan pertengahan 1990-an. Dimana yang paling penting adalah tidak ada lagi penumpukan utang, yang mana hal tersebut menjadi salah satu penyebab Krisis Finansial Asia.
Peningkatan kualitas pembuatan kebijakan juga membuat potensi krisis finansial di masa depan menjadi semakin kecil, ucap Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings. "Nilai tukar menjadi lebih fleksibel, yang membantu menyerap sebagian besar tekanan eksternal," katanya.
China dan Jepang memiliki dua cadangan devisa terbesar di dunia, masing-masing memegang 3 triliun dolar AS dan 1,3 triliun dolar AS. Gabungan dari kedua nilai tersebut, merupakan sepertiga dari seluruh cadangan devisa dunia. Dengan cadangan devisa sebesar 1,3 triliun dolar AS, Jepang hanya menghabiskan sekitar 20 miliar dolar AS. Itu artinya, kemungkinan Bank Jepang untuk kehabisan uang sangat kecil.
Meskipun begitu, ekonomi Asia harus tetap waspada. Diperkirakan suku bunga AS akan mengalami kenaikan lanjutan yang menyebabkan kenaikan dolar yang lebih tinggi sekaligus memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Bank Dunia baru-baru ini memangkas perkiraan PDB di wilayah Asia dari yang awalnya 5% menjadi 3,2% untuk tahun 2022. Begitu juga dengan China yang ikut menurunkan prospek PDB-nya menjadi 2,8% dari yang awalnya 5%. Prospek tersebut diperkirakan akan membaik pada tahun 2023, menururt para analis.
Krisis finansial yang pernah terjadi tahun 1997 bisa jadi merupakan blessing in disguise karena harus diakui bahwa ketahanan Asia dalam menghadapi guncangan ekonomi global saat ini sebagian karena hasil reformasi yang didorong oleh Krisis Finansial Asia 1997.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H