Mohon tunggu...
Hendri Juhana
Hendri Juhana Mohon Tunggu... -

seorang petualang yang suka menata sunyi di balik takdir sang waktu

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibuku Ternyata Pelacur

21 Januari 2011   10:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 1602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_86528" align="alignleft" width="344" caption="google.com"][/caption] Ibuku tinggal di sebuah tempat. Tempat yang orang tak ingin mengalaminya.Tempat para pegundal mencari kesenangan untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Itulah tempat yang oleh masyarakat disebut Lokalisasi. Itu lah rumahku.

aku enggan pulang kerumah. Kerjaku hanya “luntang-lantung” .Mencari hiburan hanya sekedar untuk melepaskan ketegangan dan kekecewaan. Kecewa yang senantisa mesesakkan dada di setiap tarikan nafasku. Marah... bingung...kecewa... kalut... mewarnai seluruh hidupku. Perasaan itu menjadi makhluk menakutkan, seolah mengajak agar aku berbuat nekat. Rasanya ingin bunuh diri.

Aku tak sanggup lagi menanggung beban ini haya karena ibuku.

Ya... aku tahu, Ibuku adalah pelacur. “Kenapa aku dilahirkan oleh seorang pelacur seperti dia?

****

Di suatu malam,aku merasakan kegundahan yang luar biasa. aku pun pergi keluar rumah hendak melepaskan ketegangan. Baru sajasampai di sebuah kios tempat biasa aku beli minuman, aku dikejutkan dengan seorang Nenek tua yang sedang menyebrang jalan di saat kendaraan-kendaraan melintas dengan cepat.

Aku mendekati Nenek tua itu dan aku tuntun nenek itu ke sebrang jalan. cahaya lampu jalanan membantu aku melihat muka Nenek tua itu. Sejenak aku termenung.

“Ya aku ingat, Ibu pernah mengenalkan Nenek ini kerumah ketika Ibu masih hidup.”

Aku tersadar dengan kejadian beberapa tahun yang silam

“aku antar nenek ke rumah!

Tawarku

“Emangnya encep, siapa?

Tanya nenek heran.

“Nanti, ngobrolnya di rumah Nenek aja, ya”

jawabku pendek. Setelah sampai di rumah Nenek itu, aku dipersilahkan masuk dan langsung saja aku ngobrol dengannya.

“Nek! Nenek masih ingat aku?”

“Iya, yah! Nenek pernah melihat encep, tapi dimana,ya? Jawab nenek sambil mengerutkan bulu alisnya yang sudah hampir berwarna putih.

“Nenek pernah kerumah aku, saat Ibuku masih hidup!

“Oh... iya, sekarang Nenek ingat! Sebelum meninggal, Ibumu datang dulu kesini.”

“Benar, nek? Bisa Nenek ceritakan, kenapa Ibuku kesini,? ngobrol apa Ibu di sini?

Aku pun bertanya dengan penuh penasaran.

“Sebenarnya Ibumu orang yang sangat baik.”

Kata Nenek.

“Baik apanya, ibuku kan pelacur, nek?”

tanyaku heran.

“Ibumu sering ngobrol bersama Nenek. Ibumu pernah bercerita. Katanya, ibumu harus mengurus anak-anak sendirian sedangkan Ibumu hanya seorang janda tua yang bodoh. Ibumu sudah mencoba mencari pekerjaan kesana kemari, tapi hanya lelah yang ia dapatkan. Dan Ibu mu pernah mengatakan satu hal!.”

Jelas nenek sambil menatap wajahku.

“mengatakan apa, nek?”

Tanyaku.

“Ibu mu pernah berkata. Ibu mu harus menyekolahkan anak-anak. Sekalipun harus nyawa dan kehormatan yang menjadi taruhannya!”

Jelas nenek

“Terus Ibuku pernah berkata apa lagi nek?”

Tanyaku penasaran.

Ibumu perbah berkata. dia ingin bertaubat.Ibumu pun berjanji tidak akan pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dibenci Tuhan. Itulah kata-kata terakhir yang Nenek dengar dari Ibumu. Kemudian Ibumu pulang dan ke esokan harinya Nenek mendengar bahwa Ibumu meninggal dunia. Tetapi berita yang Nenek dengar, penyebab kematian Ibumu adalah dia dikejar oleh seorang begundalsehingga Ibumu terjatuh pingsan. Tetapi setelah Ibumu dibawa kerumah, diperjalanan Ibumu meninggal dunia.”

Setelah Nenek bercerita tentang Ibuku, tiba-tiba badanku gemetar.Aku malu pada diriku sendiri.Aku sudah mencaci dan memaki ibu yang telah mengorbankan jiwa dan kehormatannya demi hidup dan kebahagiaanku. Aku telah menuduh ibu sebagai wanita penghibur yang hanya memuaskan ambisi seksual semata. Aku sudah membenci makhluk mulia itu hanya karena kebodohan dan kemalasanku untuk memahami situasi yang sesungguhnya. Berdosa lah aku... terhina lah aku...

“ Tuhan... maafkan hamba yang hina ini, Berikanlah kebahagiaan untuk ibu di alam sana!!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun