Mohon tunggu...
Hendri Asfan
Hendri Asfan Mohon Tunggu... pemalas -

Twitter: @hendri_sumenep

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nahdlatul Ulama, Lain Dulu Lain Sekarang

11 April 2017   20:41 Diperbarui: 11 April 2017   20:55 7532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pengkaji Nahdlatul Ulama sepakat bahwa NU memiliki karakter fleksibel dalam sikap-sikap politik, keagamaan, kebudayaan, ekonomi, hingga persoalan keummatan secara umum. Fleksibilitas ini pada satu sisi memang baik, sebab dengan demikian, NU memiliki keluesan dalam bersikap dan tidak terjebak pada pandangan-pandangan sempit.

Namun, fleksibilitas NU tersebut seringkali memunculkan persoalan berupa ketidakpastian sikap alias mendua. Hari ini, dalam situasi sosial yang memanas akibat gesekan politik di Pilkada DKI Jakarta di mana salah satu calon gubernurnya Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok beragama Kristen, NU tidak memiliki sikap yang pasti mengenai keabsahan maupun ketidakabsahan pemimpin non-Muslim bagi ummat Muslim. Berbeda dengan Muhammadiyah, misalnnya, yang sejak awal memiliki ketegasan dalam bersikap bahwa ummat Muslim seharusnya dipimpin oleh pemimpin Muslim.

Kalau boleh membandingkan antara NU dan Muhammadiyah, saya ingin mengatakan bahwa Muhammadiyah memang pada aspek-aspek sosial-ekonomi-pendidikan sudah jauh melampaui NU. Hal ini juga pernah saya dengar sendiri ketika Ketua PB NU, Said Agil Siradj yang mengakui sendiri bahwa NU memang tertinggal jauh dengan Muhammadiyah. Pernyataan tersebut beliau sampaikan dalam pidato acara wisuda STAINU Jakarta pada tahun 2015.

Kenapa penting untuk menilai persoalan keunggulan Muhammadiyah dalam beberapa aspek krusial dibandingkan NU, sebab keunggulan tersebut membuat Muhammadiyah memiliki konsistensi dalam bersikap dan tidak goyah oleh terpaan persoalan-persoalan dasar sebuah organisai, semisal persoalan ekonomi dan orientasi kekuasaan.

Hari ini, konsistensi dan ketegasan itu yang absen dari NU sebab NU tidak memiliki akar yang kuat atau stabil pada sektor ekonomi, pendidikan, dan jarak dengan kekuasaan. Kita bisa lihat NU kegagapan mengurus ekonomi organisasi sebab NU tidak memiliki sumber ekonomi sendiri dan tidak memiliki strategi pembangunan ekonomi ummat. NU hingga saat ini juga tidak memiliki lembaga pendidikan sekelas universitas yang stabil dan besar layaknya Muhammadiyah.

Oleh sebab itu, NU kemudian tidak memiliki ketegasan dalam bersikap sebab takut kehilangan ‘penyumbang-penyumbang’ dana untuk kehidupan organisasi ini. Padahal, jika kita mengacu pada motif sejarah pendiriannya, terlihat bahwa NU memegang prinsip yang kuat bagi perjuangan kehidupan ummat Islam. Salah satu motif kehadiran NU adalah untuk mempertahankan dan memperjuangkan agama Islam di tengah penjajahan Belanda yang gencar menyebarkan Kristen-Katolik dengan mengirimkan para misionaris-misionaris ke berbagai daerah.

Artinya, alasan menegakkan agama Allah di bumi Nusantara adalah motif dasar bagi lahirnya Nahdlatul Ulama. Hari ini, kita melihat NU di bawah kepemimpinan K.H. Said Agil Siradj mulai melenceng dari cita-cita awal ini. Jika terus seperti ini, maka NU pasti akan mulai ditinggalkan oleh ummatnya. NU akan mulai lapuk dan ditinggalkan oleh kebesarannya. Tentu, K.H. Said Agil harus bertanggungjawab mengenai kemunduran NU hari ini. Sebab, sikapnya yang terkesan sangat dekat dan pro dengan kekuasaan dan pemilik modal, telah membuat masyarakat NU dan publik mulai kurang simpati dengan organisasi besar ini.

Beberapa ulama NU dan pengurus pondok pesantren di daerah-daerah, terutama di Jawa mulai khawatir dengan kondisi NU hari ini. Karena itu, pada 16 Mei 2016, para Kyai NU melakukan Halaqah Ulama di Pesantren al-Hidayah, Batang, Jawa Tengah. Halaqah tersebut melahirkan beberapa butir keputusan di antaranya meminta Said Agil mundur dari jabatannya karena terpilih tidak sesuai dengan ketentuan organisasi sekaligus menuntut kepengurusan PB NU di bersihkan dari kelompok-kelompok liberal dan syi’ah yang dapat menggerogoti organisasi. Halaqah tersebut dihadiri oleh KH. Sulton Syair (Pengurus PP al-Hidayah), K.H. Dr. Abu Hafsin (Ketua PWNU Jawa Tengah), Dr. K.H. Adnan, K.H. Aziz Mansyuri (Jombang), dan para utusan pondok pesantren Sidogiri, Syal Syaf Sukorejo, Butet Cirebon, dan ulama-ulama dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. https://www.nahimunkar.com/halaqah-ulama-nu-tuntut-agil-siraj-mundur-pbnu-bersihkan-pki-liberal-dan-syiah/

Halaqah tersebut sebenarnya menjadi sinyal bahwa para kyai dan masyarakat NU mulai khawatir dengan arah organisasi di bawah kepemimpinan Said Agil. Para kyai dan masyarakat NU mulai sadar jika PB NU terlihat terlalu pragmatis dan dipenuhi oleh transaksi-transaksi yang bersifat parsial dan bermotif ekonomi dan kekuasaan.

Artinya, akumulasi kekecewaan para kyai dan pengurus pondok pesantren beserta masyarakat NU sudah sangat tinggi terhadap kepengurusan PB NU di bawah Said Agil. Persoalan-persoalan janggal dalam kepengurusan Said Agil pada dasarnya sudah berlangsung lama. Misalnya, Laporan Pertanggungjawaban PB NU 2010-2015, berlangsung tidak semestinya. LPJ yang seharunya diikuti dengan pandangan umum peserta muktamar, sengaja ditiadakan oleh pengurus PB NU Said Agil. Padahal terdapat sejumlah persoalan yang menjadi perhatian para muktamirin saat itu. Kasus korupsi pada kepengurusan PB NU Said Agil yang hendak dipersoalkan muktamirin akhirnya lolos dan tidak menjadi pembahasan. Kasus korupsi yang dimaksud adalah serobot tanah 5 hektar milik PCNU Batam dan persoalan penjualan tanah di Malang yang awalnya Said Agil berjanji untuk dibangun Islamic Center namun pada akhirnya malah dibangun Seminari Kristen. http://www.nugarislurus.com/2015/08/ajaib-lpj-pbnu-tanpa-pandangan-umum-kasus-skandal-said-agil-lolos.html

Karena itu, sungguh sangat mengkahwatirkan situasi NU dibawah Said Agil saat ini.  Selain tidak memiliki sikap tegas dan berpihak pada ummat Muslim, PB NU juga mulai menyimpang dari cita-cita organisasi, mulai pragmatis, tidak transparan dan professional. Sebagai salah satu organisasi terbesar di Indonesia, NU akan mulai kehilangan arah perjuangan dan akhirnya akan ditinggalkan oleh ummat.

Masalahnya, ketika kita memberikan kritik terhadap NU dengan segala sikap para pengurusnya, kita selalu dihujat dan dinilai tidak memahami ajaran-ajaran tokoh-tokoh NU, terutama pandangan K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa ummat Islam di Jakarta harus memilih pemimpin Mulim, kita lantas diperlawankan dengan pandangan-pandangan Gus Dur. Padahal, tafsiran NU tidak final pada Gus Dur. Bahkan para tokoh NU juga memiliki perbedaan pandangan dengan Gus Dur. Misalnya, Almarhum K. H. Hasyim Muzadi sendiri pada aspek tertentu memiliki pandangan yang berbeda dengan Gus Dur.

Tokoh ulama NU lain yang berseberangan dengan Gus Dur juga banyak. Misalnya, K.H. Kholil Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati, Jawa Timur, berseberangan dalam hal politik maupun agama. Bahkan, beliau menilau pemikiran Gus Dur berbahaya bagi ummat Islam.

Nama Gus Dur memang akhir-akhir ini sering ‘dijual’ dalam Pilkada DKI Jakarta. Ahok dan para pendukungnya berulang kali menyebutkan nama dan pandangan  Gus Dur untuk melegitimasi dirinya melenggang di Pilkada DKI sekaligus untuk mendapatkan simpati masyarakat NU dan ummat Muslim secara keseluruhan. Padahal, Gus Dur memang NU, tapi NU bukan hanya Gus Dur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun