Masalahnya, ketika kita memberikan kritik terhadap NU dengan segala sikap para pengurusnya, kita selalu dihujat dan dinilai tidak memahami ajaran-ajaran tokoh-tokoh NU, terutama pandangan K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa ummat Islam di Jakarta harus memilih pemimpin Mulim, kita lantas diperlawankan dengan pandangan-pandangan Gus Dur. Padahal, tafsiran NU tidak final pada Gus Dur. Bahkan para tokoh NU juga memiliki perbedaan pandangan dengan Gus Dur. Misalnya, Almarhum K. H. Hasyim Muzadi sendiri pada aspek tertentu memiliki pandangan yang berbeda dengan Gus Dur.
Tokoh ulama NU lain yang berseberangan dengan Gus Dur juga banyak. Misalnya, K.H. Kholil Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Gunung Jati, Jawa Timur, berseberangan dalam hal politik maupun agama. Bahkan, beliau menilau pemikiran Gus Dur berbahaya bagi ummat Islam.
Nama Gus Dur memang akhir-akhir ini sering ‘dijual’ dalam Pilkada DKI Jakarta. Ahok dan para pendukungnya berulang kali menyebutkan nama dan pandangan  Gus Dur untuk melegitimasi dirinya melenggang di Pilkada DKI sekaligus untuk mendapatkan simpati masyarakat NU dan ummat Muslim secara keseluruhan. Padahal, Gus Dur memang NU, tapi NU bukan hanya Gus Dur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H