Di awal sudah saya jelaskan bahwa saya  pernah salah menilai Kartini. Saat ini harus saya akui kesalahan  tersebut. Saya terlalu cepat memberikan 'vonis' kepada Kartini. Saya  terlalu terburu-terburu menilai Kartini gagal sebagai seorang perempuan.
Saya merasa saat ini seperti warga  negara Jerman dalam penglihatan Nietzsche. "Apa yang kurang dari  orang-orang Jerman? Belajar melihat, membiasakan mata pada ketenangan,  pada kesabaran, untuk membiarkan hal-hal datang kepadanya, untuk menunda  penilaian. Belajar melihat secara seksama yang partikular untuk  memahami dalam totalitasnya." kata Nietzsche.
Harus saya akui Nietzsche benar tentang  orang-orang yang terlalu cepat memberikan penilaian terhadap sesuatu.  Saya saat itu tak mengkaji pemikiran Kartini terlalu dalam, saya tak  membaca surat-suratnya hingga tuntas, tapi sudah berani menilai Kartini.  Ceroboh memang.
Tapi, sepertinya tak hanya saya yang ceroboh. Para penganut paham feminisme pun sepertinya banyak yang ceroboh menilai Kartini.
Saat ini mungkin para feminis masih  banyak yang setuju dengan pemikiran Gadis Arivia yang menilai Kartini  gagal sebagai perempuan. Dalam terminologi feminisme, bersuamikan  seorang laki-laki beristri tiga bukanlah cerminan seorang feminis  sejati. Menikah dengan laki-laki saja sudah merupakan bentuk  ketertindasan bagi seorang feminis. Apalagi menikah dengan laki-laki  yang sudah beristri tiga. Padahal Kartini dalam beberapa suratnya  menentang keras pernikahan. Ia bahkan menganggap poligami ialah sebuah  dosa.
"Hukum Islam mengizinkan laki-laki  menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan,  beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap  selama-lamanya aku mengatakan itu dosa.... Mengertilah engkau sekarang apa  sebabnya maka sesangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja yang  serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan  sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, aku bebas," tulis Kartini pada  Stella Zeehandelaar pada 18 Agustus 1899.
Tapi pada akhirnya, tanpa paksaan  Kartini menikah dengan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga. Hal  inilah yang membuat para feminis (termasuk Gadis Arivia) sangat kecewa  dengan Kartini.
Asal tahu saja, pemikiran Kartini memang  sangat dekat dengan ideologi feminisme sebelum tahun 1902. Tak hanya  mengkritisi pernikahan, ia dalam beberapa suratnya juga mengkritiki  agama dan adat istiadat jawa yang melarang perempuan saat itu untuk  berpendidikan.
Kekecewaan para feminis cukup wajar,  karena mereka menganggap Kartini bagian dari mereka. Namun, sepertinya  para feminis tak membaca tuntas surat-surat Kartini.
Mengganggap Kartini seorang feminis saya  pikir tidak tepat. Apalagi menganggap Kartini gagal sebagai perempuan  (dalam artian feminisme), menurut saya, itu penilaian yang ceroboh.
Jika kita baca buku 'Habis Gelap  Terbitlah Terang' yang disusun oleh Armijn Pane, maka akan terlihat  perubahan ideologi Kartini. Pada Surat yang dikirim pada 1899, Kartini  banyak mengkritik masalah agama, poligami, dan adat istiadat Jawa. Surat  yang dikirim pada 1900 banyak berbicara mengenai kegirangan Kartini  yang akan bersekolah ke batavia dan bicara tentang pentingnya pendidikan  untuk perempuan pribumi.