Mohon tunggu...
Hendri Mahendra
Hendri Mahendra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pernah aktif sebagai aktivis pers mahasiswa di kampus UIN Maliki malang dari tahun 2007-2012. Jabatan yang pernah diemban saat di pers mahasiswa adalah sebagai Litbang (penelitian dan pengembangan) dan pemimpin redaksi. Beberapa kali pernah diundang mengisi materi jurnalistik dan filsafat di beberapa komunitas pers di malang. Tertarik dengan kajian: Filsafat, jurnalistik, politik, sejarah, budaya dan mitologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

"SBY, Prabowo, Mega Tolong Jangan Baperan!"

16 April 2018   10:49 Diperbarui: 16 April 2018   10:56 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda pernah kerja kaya Pram? Seorang tokoh bangsa pidato kebangsaan, lalu anda tulis tuh apa yang ia ucapkan.  Kalau tokohnya gagap mah enak! Jari tangan kita masih sanggup mengimbangi kecepatan bicaranya. Tapi kalau kecepatan pidatonya sepertinya kecepatan cahaya? Bisa keriting tuh jari!

Saya gak sanggup deh, kalau ngelakoni yang begituan. Bayanginnya ajagak sanggup! Tapi pram sanggup loh! "Tahun 44-45, pidatonya (M. Yamin) yang merekam dalam stenogram (tehnik menulis cepat) kan saya. Diponegoro dan Gajah Mada itu saya yang susun. Dia ngomong cepat saya catat pakai stenogram. Saya susun, dicocokkan dengan memakai bahan yang ada di perpustakaan kantor berita Domei," kata Pramoedya di buku Pram Melawan!

Sungguh malang nasib Pram. Sudah jadi juru tulis, namun namanya tak pernah di sebut ketika pidato Yamin dibukukan. "Dia bicara itu secara gramatikal banyak yang keliru. Saya yang betulin. Hasilnya saya serahkan ke dia. Terus diterbitkan. Nama saya nggak disebut. Di zaman jepang, (pidato) Diponegoro itu dicetak empat kali. Berapa saya dikasih? Tiga puluh perak satu naskah. Tiga puluh perak itu harga satu baju kaos," jelas Pram.

Tak hanya bayaran yang kecil, kekecewaan Pram juga terjadi saat ia kesulitan keuangan. Bermaksud untuk meminta uang pada Yamin, "suatu waktu saya coba minta uang, datang ke rumahnya. Nggak diterima," keluh Pram.

Lalu apakah Pram marah dan memprovokasi seniman-seniman Lekra untuk bikin demo berjilid-jilid ke rumah Yamin? Nggaklah! Demo berjilid-jilid itu mah gaya anak zaman now. Kalau gaya anak zaman old itu pasang hati seluas samudra, sambil terus memuji dan membela orang yang pernah mengecewakannya.

"Dia (Yamin) itu yang memberikan pada bangsa Indonesia bahasa Indonesia. Pejuang bahasa Yamin, sejak muda. Nggak pernah disebut-sebut Yamin (dalam sejarah). Heran saya. Saya nggak ngerti Indonesia ini," kata Pram membela Yamin di buku Pram Melawan!

Nah, saya pikir sikap seperti Pram dan Hamka inilah yang kurang dari tokoh-tokoh nasional kita saat ini. Kalau saya ketemu tokoh bangsa yang suka baperan, saya akan beranikan diri bilang; Hei para tokoh bangsa, jangan mudah baperangitulah! Carilah panutan keluasan hati pada Pramoedya Ananta Toer di buku Pram Melawan! Niscaya gakbakal rugi![]

sumber asli; uapminovasi.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun