Suatu hari, seingatku sudah lebih 10 tahun yang lalu, aku pernah duduk di satu cafe bersama seorang kawan yang juga merupakan seniorku di kampus dulu. Kawanku ini pernah berkarier di Kementrian PU lalu pensiun dini dan sekarang memimpin satu perusahaan konsultan.
Sebelumnya kami sudah bersama-sama sejak turun dari Stasiun KRL Sudirman lalu berjalan kaki santai melewati Dukuh Atas hingga tiba di cafe yang sejuk sore itu.
Aku tidak sedang membahas isi perbincangan kami, tapi ada satu hal yang mengembalikan ingatanku pada masa itu setelah membaca artikel admin Kompasiana tentang wacana kenaikan tarif perjalanan KRL yang akan ditetapkan awal tahun 2023 ini.Â
Saat itu, aku agak kaget mendengar jawaban yang kuterima saat aku bertanya mengapa kawanku ini lebih suka menggunakan KRL untuk berpergian.
Aku tahu persis bahwa dia tidak hanya menggunakan moda transportasi KRL untuk rute pulang-pergi dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di daerah Sudirman, tapi dia acapkali mengajakku menggunakan KRL jika kami harus meeting di luar kantornya.
"Itu namanya leading by example," katanya tegas tapi sambil tertawa.
Aku sebenarnya jengah dengan jawaban ini karena buatku kata-kata itu terdengar klise, berada di awang-awang, dan sedikit arogan, walaupun dikemas sambil bercanda.Â
Aku tentu berharap jawaban yang lebih membumi seperti agar tidak tua dijalan, hemat bensin mobil, atau jenuh menghadapi kemacetan setiap hari.
"Hadeuhh bang..," jawabku agak ketus walaupun tetap sambil tersenyum hambar.
"Lha.., aku serius Hen," lanjutnya masih sambil tertawa. "sebagai pimpinan kita harus memberi contoh, bukan? Kita kan bagian dari warga Jakarta juga yang beraktifitas di Jakarta setiap hari. Kita harus mendukung upaya-upaya yang diambil untuk mengurangi kemacetan, menekan polusi udara.."