Bulan ini menjadi penanda 12 tahun yang terlewati sejak pertama kalinya kompasiana mulai mengudara. Aku tidak ikut merayakan ulang tahunnya yang ke-12 ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, karena aku tidak bisa menemukan cara bagaimana mengekspresikan hubungan seperti ini.
Sebelumnya, aku akan menyebut Kompasiana dengan inisial singkat saja, "K", atau biar terdengar lebih millenial aku panggil saja "Kay".
Terus terang, aku kerapkali berpikir tentang cara menempatkan diri pada sebuah hubungan yang unik dengan Kay. Sesuatu yang sulit karena aku dan Kay tidaklah nyata, dan Kay selalu berubah-ubah sesuai dengan ekspresi sel-sel (Kay menyebut mereka sebagai Kompasianer) yang mengisi sekujur tubuhnya, termasuk aku.
Ini tidak bisa dipungkiri, karena realitas keberadaan kita di sini adalah maya, seberapa pun besar usaha Kay untuk membuatnya menjadi tampak nyata.
Di sini, kita selalu bisa menjadi pribadi berbeda dengan siapa kita sebenarnya di dunia nyata. Termasuk juga mempersonalisasikan diri secara ekstrim dengan menggali sisi psikopath dari dalam diri kita. Masih ingat kasus Pakde Kartono dengan gaya Brad Pitt-nya, bukan?
Sebagai kompasianer, aku memang hanya menulis sedikit artikel, membalas komentar yang tidak banyak, memberi vote pada orang-orang yang menandai tulisanku, dan hanya sesekali memberi vote atau comment pada artikel yang sukses memunculkan keinginanku untuk melakukannya.
Jika semua kompasianer diibaratkan sebagai para pendekar silat dalam dunia persilatan, aku hanya sejenis pendekar yang biasa berkelebat dari satu artikel ke artikel yang lain tanpa banyak dikenal, dan begitu mudah terlupakan. Mungkin sejenis karakter "siluman" kalau dalam dunia persilatan.
Tidak masalah bila ada yang bilang aku adalah pribadi yang introvert, karena aku dengan sadar memilih berada diposisi ini, dan aku yakin aku tidak sendiri.
Namun, dalam rentang waktu 6 tahun sejak pertama kali aku bergabung, bisa dikatakan aku rutin mengunjungi Kay hingga aku bisa memahami seperti apa sosoknya; bahkan aku juga bisa mendeskripsikan bagaimana wujud Kay seandainya dia nyata.
Apa yang membuatku heran sekaligus terkagum-kagum adalah banyaknya Kompasianer yang mengisi sekujur tubuh Kay. Ini juga yang menjadi pembeda antara Kay dengan saudara-saudaranya yang lain.
Bayangkan saja, semua saudara Kay lahir dan besar dengan merekrut sel-sel yang ada ditubuhnya. Mereka terus dilatih dengan baik menjadi para professional sejati, sebagai seorang jurnalist, dan bekerja atas dasar penugasan.