Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Realisasi FLPP Rendah, Jakarta Mau Dibawa ke Mana?

15 Februari 2020   20:37 Diperbarui: 25 Februari 2020   00:00 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Kompas.com

Berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) sepanjang 2019, realisasi penyaluran FLPP (Fasilitas Likuidasi Pembiayaan Perumahan) untuk DKI Jakarta hanya sebesar Rp 12,2 milyar untuk 83 unit rumah saja.

Angka ini tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan realisasi FLPP di provinsi yang menjadi tetangga Jakarta. Di Jawa Barat misalnya, realisasi FLPP adalah sebesar Rp 1,52 triliun untuk membiayai 15.350 unit rumah, terbesar tahun 2019. Sementara Banten membukukan realisasi sebesar Rp 364,6 milyar untuk membiayai pembangunan 3.775 unit rumah.

Ada apa dengan Jakarta? Padahal pemprov Jakarta sudah mencanangkan program unggulan DP 0 persen untuk menyediakan hunian terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.

Sayangnya memang tidak tersedia data yang memadai untuk menggambarkan sebaran realisasi FLPP di Jawa Barat dan Banten, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.

Namun, dengan proporsi seperti ini, wajar saja jika banyak yang menduga bahwa pilihan paling rasional bagi warga berpenghasilan rendah di Jakarta yang ingin memiliki rumah subsidi adalah dengan membelinya di wilayah-wilayah penyangga tersebut.

Pilihan ini mengandung konsekuensi pada timbulnya masalah-masalah baru yang menanti di depan mata. Kondisi perumahan subsidi di daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, belum tentu ideal bagi mereka yang mengais rejeki di Jakarta karena alasan-alasan berikut:

Petama terkait dengan kondisi infrastruktur dan masalah kemacetan hingga menyebabkan waktu tempuh menuju tempat kerja seringkali menjadi tidak rasonal.

Kedua, sarana transportasi massal yang tersedia hingga saat ini masih terbatas dan belum terintegrasi secara optimal, sehingga beban biaya transportasi yang harus ditanggung warga akan menjadi jauh lebih tinggi.

Di sisi lain, bagi warga yang memutuskan untuk tinggal di dekat lokasi tempat mereka bekerja di Jakarta, maka pilihan yang tersedia adalah menyewa rusunawa yang jumlahnya masih sedikit, atau menyewa rumah-rumah petak di pemukiman padat dan sangat padat yang tersebar di banyak wilayah di Jakarta.

Pilihan untuk tinggal di kawasan padat dan sangat padat ini menjadi tidak bijaksana karena sebagian besar merupakan kawasan kumuh. Salah satu karakteristik kawasan ini adalah memiliki daya dukung lingkungan yang rendah, seperti sanitasi yang buruk, terbatasnya supply air bersih, kondisi lingkungan yang tidak sehat, serta masalah-masalah klasik lain seperti rawan banjir dan rawan kebakaran.

Menjadi ironis karena Jakarta justru berada di kondisi kelebihan supply unit-unit apartemen. Menurut data Savills Indonesia, pasokan apartemen di Jakarta mencapai lebih dari 166.000 unit di sepanjang 2019, dan diperkirakan ada tambahan pasokan lagi sebanyak 50.000 unit hingga beberapa tahun mendatang

Unit-unit apartemen ini hanya menyisakan banyaknya ruang-ruang kosong karena para konsumennya adalah orang-orang yang memang tidak berniat untuk menghuni unit-unit tersebut; hanya sekedar untuk disewakan atau malah dibiarkan kosong begitu saja.

Motivasi mereka murni investasi untuk mendapatkan gain dari kenaikan harga properti, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Data-data statistik di atas seperti menyuguhkan sebuah potret Kota Jakarta yang memberi pesan penting tentang potensi kegagalan pemerintah propinsi dalam mengelola sebuah kota berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan berkelanjutan, pada saat kota-kota lain di dunia justru sedang berlomba-lomba melakukan hal itu.

Ancaman kesenjangan sosial sudah tampak di depan mata, yang kalau tidak ditangani dengan baik, dalam jangka panjang akan memunculkan bibit-bibit konflik horizontal yang akan tumbuh dan berakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Tentunya kita tidak bisa menampik fakta bahwa pemprov DKI jakarta sebenarnya sudah mulai melaksanakan program DP 0 persen. Sampai saat ini, pemprov sudah meluncurkan 2 proyek apartemen untuk melaksanakan program, yang terbaru berada di kawasan daerah Cilangkap.

Namun terus terang jumlah pasokan yang berjumlah sekitar 1.000 unit ini masih jauh dari memadai karena ketimpangan antara tingkat kepemilikan dan kebutuhan atau backlog rumah di DKI Jakarta yang sudah semakin lebar.

Data PPDPP Kementrian PUPR tahun 2015 menunjukkan kepemilikan hunian milik pribadi hanya 51,09 persen sementara angka backlog pada tahun tersebut mencapai 1,27 juta unit rumah.

Pemprov DKI Jakarta tentu sudah tau persis kondisi ini. Media akhir 2019 lalu pihak pemprov melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa mereka merencanakan akan menyediakan hunian sebanyak 250.000 unit dalam upaya mendukung keberhasilan program DP 0 Rupiah melalui kepemilikan rumah rakyat layak huni.

Hanya saja tidak ada penjelasan lebih jauh tentang di mana saja titik-titik sebaran pembangunannya, kapan mulai direalisasikan, dan sudah sampai di mana progres perencanaan untuk mengeksekusi rencana ini.

Itulah menurutku yang menjadi problem pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Pak Anies Baswedan. Pembicaraan tentang implementasi program DP 0 rupiah sudah digaungkan ke publik tidak lama setelah pelantikannya sebagai gubernur, namun, sampai saat ini, realisasinya berjalan dengan sangat lambat kalau tidak bisa dikatakan jalan di tempat.

Masing-masing pihak yang berkepentingan di lingkungan pemprov, mulai dari Sekda Propinsi, Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman, atau Perumda Pembangunan Sarana Jaya, hanya bisa menggulirkan wacana demi wacana ke publik tanpa diikuti rencana implementasi yang terukur.

Aku pikir sudah saatnya Gubernur Anies mengambil langkah-langkah yang berbeda, yang sedikit lebih ekstrim, atau langkah-langkah yang lebih progressive untuk memacu realisasi pertumbuhan pembangunan perumahan terjangkau di Jakarta.

Kita tentu berharap pihak pemprov bisa meninggalkan jejak-jejak yang lebih signifikan dalam membangun Kota Jakarta yang lebih setara bagi seluruh warganya sebelum tiba di penghujung masa jabatan di 2022 nanti.

Sumber: 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun