Ini yang membuatku jengah dengan lembaga-lembaga survei, konsultan politik, atau lembaga survey yang merangkap sebagai konsultan, dan termasuk juga para pengamat. Mereka adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan opini yang menempatkan semua pihak hanya peduli pada elektabilitas.Â
Mereka seolah-olah lebih "menghamba" pada jajak pendapat, pada hasil polling, seolah-olah hasil pemilu akan ditentukan dengan jajak pendapat yang rutin mereka lakukan.
Program-program kampanye disusun hanya untuk menggerakkan hasil polling, psikologi pemilih juga dipengaruhi agar hasil polling ikut menjadi dasar pemilih untuk mengambil kepususan siapa yang akan mereka coblos saat pemilu, bahkan ada yang mongopinikan bahwa pemilu sudah selesai dengan berpijak pada hasil polling semata.
Kalau ada yang membayangkan bahwa pesta demokrasi akan identik juga dengan pesta literasi, karena wacana yang diluncurkan tentang ideologi kebangsaan, konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, tentang program-program pembangunan, atau peningkatan kualtas SDM, mulailah untuk realistis dengan kenyataan bahwa semua itu hanya menjadi pelengkap saja. Ibarat kita mengkonsumsi hidangan penutup dari menu utama elektabilitas yang tersaji.
Kita semua seolah-olah digiring untuk cuma perduli pada hasil jajak pendapat. Itulah alasan hari-hari yang kita lewati dimasa kampanye pilpres ini hanya berkutat dengan hoaks, pencitraan, fitnah, dan lain-lainnya, karena semua berpikir dengan cara seperti itu.
Itulah yang membuatku sangat terganggu belakangan ini. Bahkan aku berharap elektabilitas ini sekali waktu bisa menunjukkan wujudnya secara fisik, karena aku sudah siapkan sebilah belati untuknya. Kapan pun kami berpapasan di jalan, dia akan kubuat tersungkur di tanah dan tewas seketika.
Aku tidak peduli akan menjadi orang paling dibenci di negara ini karena sudah membuat mereka begitu berduka. Namun, kalian mungkin bisa membayangkan kepuasan yang kurasakan jika ada orang yang berusaha mencari kata itu dari dalam kamus dan menemukan statusnya yang sudah almarhum.
Bagiku, menjadi penting untuk membuat semua orang berduka demi sebuah kelahiran baru, demi sebuah identitas baru, demi sebuah definisi yang lebih layak ditempatkan kepada satu kata yang akan menjadi pengganti kata elektabilitas nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H