Tidak ada yang bisa dia lakukan ketika amarah itu mulai menggelegak kecuali kata-kata sarkastis yang ditujukan kepada Kadhim, sekedar untuk menghilangkan rasa bersalah yang terus bersarang dalam dirinya walaupun tak pernah berhasil.
"Dasar manusia bodoh!" begitu umpatnya selalu.
Ahmed sebenarnya bisa merasakan apa yang diungkapkan oleh Kadhim karena keluarganya juga merupakan korban rezim Saddam Hussein. Ayah dan 2 orang pamannya adalah orang-orang terdekat Ahmed yang dieksekusi oleh Saddam.
Namun, belakangan dia mulai menyadari bahwa framing yang digambarkan media barat tentang simbol runtuhnya patung Saddam Hussein di Firdos Square yang menandai jatuhnya kekuasaan Saddam di Iraq tidak seperti apa yang dia saksikan dengan mata kepala sendiri.
Sejarah memang dicatatkan oleh pemenang, dia tahu itu, bukan oleh para pecundang. Inilah ironi yang dirasakan Ahmed yang menjadikan tanah leluhurnya selalu hadir sebagai mimpi buruk yang terus menghantui kehidupannya.
Antara kebencian pada Saddam Hussein di satu sisi dan bayangan tentang sebuah negeri yang terus tercabik-cabik oleh konflik internal yang tak kunjung usai disisi lain, dimana pertikaian, pembunuhan, pengeboman, adalah pemandangan yang biasa terlihat sehari-hari di kota Baghdad.
Untuk satu hal, Ahmed setuju dengan Kadhim bahwa runtuhnya rezim Saddam Hussein telah melahirkan 1000 Saddam-Saddam baru di Iraq. Namun, Ahmed menolak untuk menyalahkan Amerika dan sekutunya atas kondisi ini.
Baginya, jika ada orang yang harus disalahkan dari apa yang terjadi di Iraq maka itu adalah rakyat Iraq sendiri.Â
Jika Saddam adalah tirani yang menjadi musuh bagi rakyat Iraq maka "peperangan"untuk membebaskannya haruslah menjadi peperangan mereka, bukan perang yang diperjuangkan dan dimenangkan oleh negara lain lalu diberikan kepada mereka sebagai sebuah "hadiah".
Kesadaran yang tumbuh akibat kepedihan ini mulai berubah menjadi sebentuk kesewenang-wenangan, sebuah pendudukan, sebuah invasi, dimana dia dan rakyat Iraq harus menerimanya karena ketidakberdayaan, hingga akhirnya meniupkan ilusi yang mulai bersemayam dalam dirinya tentang hari-hari pembalasan.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa remaja Ahmed di kota Baghdad membuatnya tahu persis apa yang di maksud dengan "harga diri" sebagaimana yang diucapkan pemimpin kota disini.