Pagi itu hanyalah seperti pagi-pagi yang lain di Jakarta, tidak ada yang berbeda, tapi tidak buat Lucy, kala dia sontak menghempaskan tubuh ke sandaran sofa sambil menghela nafas panjang setelah melihat sebaris nama muncul di smartphone-nya yang baru saja bergetar.
Lucy tidak dengan serta merta meraih ponselnya, malah mengambil cangkir kopi yang sudah tidak panas lagi, menghirupnya sebentar, baru kemudian dengan malas mengambil ponsel untuk berbicara dengan penelpon.
Tidak banyak kata yang keluar dari mulut Lucy, kecuali ya pak, sudah pak, siap pak, sementara orang yang diseberang, direktur perusahaan yang menjadi atasannya, seperti membombardir dengan luapan kata-kata yang tanpa henti mengalir.
Namun tidak lama bagi Lucy mengendalikan suasana, hingga ia kembali punya kesempatan menyeruput kopi sambil sesekali tersenyum. Si direktur juga sepertinya tidak lagi di situasi panik, dan melanjutkan kata-katanya dengan lemah lembut.
"Kalau begitu bisa tolong email ke saya laporannya? Nanti di kantor saya pelajari, sekarang saya masih stuck di jalan kena macet."
"Ok pak, langsung saya kirim," jawab Lucy sambil jari-jari tangannya menekan tombol-tombol keyboard dari sebuah laptop yang sudah sedari tadi dalam posisi menyala di atas meja.
"Sudah terkirim ya, Pak John..," lanjut Lucy.
"Oh gitu.., thanks ya," jawab sang direktur heran dengan respon Lucy yang sangat cepat.
"Memangnya Lucy lagi dimana sekarang?"
"Di starbucks dekat rumah pak."
"Lho.. kamu ngga ngantor? Kita kan ada meeting satu jam lagi?"
"Ngantor pak.. Saya cuma perlu waktu 45 menit paling lama dari sini ke kantor."
***
Potongan dialog di atas hanyalah ilustrasi, antara Lucy dan direkturnya, John, yang menyajikan sebuah ironi dari apa yang biasa kita saksikan dalam pola hubungan antara direktur dengan para staff, atau atasan dengan bawahan, di mana hal itu biasanya terjadi dalam posisi yang berkebalikan.
Saya bahkan bisa menambahkan cerita tentang pagi yang dialami Lucy di hari itu, pagi yang tidak berbeda dengan pagi-pagi yang lain, tidak dimulai terlalu pagi sebelum ayam berkokok, dengan aktivitas yang juga biasa, tiada satupun terlewatkan, mulai dari membangunkan anak dan suami, membuat sarapan pagi, mandi, dandan, dan kemudian berangkat kerja.
Keseharian Lucy baru di mulai jam 5.30 saat bangun tidur, jam 7 berangkat dari rumah, tiba di starbucks jam 7.05, dan jam 9.00 meeting di kantor.
Mungkin banyak para pekerja level staff di Jakarta akan cemburu dengan "kemewahan" yang dimiliki seorang Lucy, seorang karyawan biasa, yang baru berangkat jam 7 pagi dari "rumah" yang telah berstatus hak milik, untuk menghadiri meeting jam 9.00, dimana 1 jam-nya sudah dihabiskan di starbucks.
Namun, di atas kertas, illustrasi yang digambarkan di atas "mungkin" bisa terjadi dalam beberapa tahun mendatang, seiring dengan mulai direalisasikannya beberapa proyek hunian yang menerapkan konsep Transit Oriented Development (TOD) di Jakarta dan beberapa lokasi di daerah pendukung Jakarta (Bodetabek).
Ide tentang TOD, berdasarkan literatur, sebenarnya sudah lama di ajukan untuk diterapkan pada sebuah kota, agar kota bisa meng-adaptasi perubahan-perubahan yang terjadi dan menciptakan lingkungan yang tetap nyaman untuk di tinggali hingga masa yang akan datang.
Tonggak TOD dijadikan sebagai "perlengkapan standar" bagi perencanaan kota modern sendiri di mulai pada tahun 1993 saat seorang mahasiswa bernama Peter Calthorpe mempublikasikan sebuah jurnal berjudul "The New American Metropolis".
Pada artikelnya, Calthorpe secara umum mendefiniskan TOD sebagai pengembangan "mixed-used community" yang akan mendorong orang untuk tinggal dekat dengan layanan transit angkutan umum dan mulai meninggalkan ketergantungan terhadap penggunaan kendaraan pribadi.
Pada perkembangan selanjutnya, TOD lebih banyak diaplikasikan dalam bentuk konsep pengembangan "mixed-use" area yang terdiri dari area hunian (residential), area komersial, dan juga area perkantoran, yang kemudian diintegrasikan (bisa ditempuh dengan berjalan kaki) dengan moda transportasi massal (Stasiun KRL, LRT, atau MRT).
Lingkungan sosial yang dibangun pada area TOD memungkinkan warga tidak hanya memanfaatkanya untuk tinggal dan mengakses kebutuhan sehari-hari dengan aman dan nyaman, tapi juga bisa mendukung mobilitas mereka karena waktu tempuh antara rumah-kantor yang lebih rasional dan lebih terukur degan menggunakan angkutan massal, serta biaya transport yang rendah.
Dari sisi pemerintah, daya tarik area TOD diharapkan mampu membuat masyarakat pindah atau minimal bermigrasi dari penggunaan angkutan pribadi ke pengguna angkutan massal. Keuntungannya tidak hanya akan mengurangi kemacetan atau sekedar mendapatkan sumber pendapatan alternatif dari pengelolaan area, tapi dalam jangka panjang penerapan konsep TOD diyakini menjadi salah satu solusi bagi beragam masalah sosial yang dihadapi untuk meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat yang tinggal di kota.
Pada saat ini, pemerintah sudah merealisasikan proyek hunian berorientasi TOD di Stasiun KRL Tanjung Barat, Stasiun KRL Pondok Cina Depok, dan Stasiun KRL Bogor.
Namun, ada pertanyaan menarik, apakah konsep TOD yang sedang dijalankan pemerintah di 3 Stasiun KRL tersebut akan menjadi solusi bagi masyarakat untuk memiliki rumah pertama mereka?
Menurut saya, belum tentu. Sebagai catatan saja, dari keseluruhan unit yang dibangun pemerintah di 3 stasiun ini, proporsi peruntukan bagi MBR (rusun bersubsidi) hanya 25%. Ini tentu jumlah yang masih belum memadai.
Saya menggunakan frasa "belum memadai" berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama, seharusnya pemerintah mampu mengatur proporsi yang lebih besar bagi MBR, karena tanah sudah milik pemerintah sendiri dan developernya juga pemerintah, dan pembangunan TOD ini sejalan dengan program nasional pembangunan 1 juta rumah yang difokuskan untuk MBR.
Kedua, ada ketentuan tentang hunian berimbang yang sayangnya belum dilaksanakan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Hunian berimbang yang saya maksudkan adalah kewajiban pengembang untuk membangun hunian dengan perimbangan 1:2:3, dimana setiap pembangunan 1 unit hunian mewah, developer harus membangun 2 unit hunian menengah, dan 3 unit hunian sederhana bagi MBR.
Kemudian, tentang 75% unit hunian lainnya yang akan menjadi rusun komersial (apartemen), problem klasik dimana mayoritas unit-unit tersebut akan dimiliki oleh investor property kemungkinan besar kembali terulang.
Sebagaimana dikatakan Direktur Korporasi dan Pengembangan Bisnis Perumnas, Galih Prahanant, sebagaimana di kutip dari rumah123.com, "Kami inginnya 30-40% sudah laku sebelum groundbreaking. Ya agar kami groundbreaking sudah secure, sudah ada yang beli. Kalau groundbreakingenggak ada yang beli bagaimana."
Situasinya akan mirip dengan illustrasi di atas, dimana John, direktur perusahaan tempat Lucy bekerja, tentu tahu persis betapa menariknya tempat yang dimiliki Lucy, sambil bergumam dalam hati, "Ahh.. Lucy in the sky with diamonds". John pasti ingin juga memiliki tempat seperti itu, sama seperti John-John yang lain yang memiiki uang untuk membelinya secara cash atau cash bertahap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H