Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apa yang "Norak" dari Program Pembangunan Rumah untuk Rakyat?

26 September 2017   01:50 Diperbarui: 27 September 2017   05:36 4410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: properti.kompas.com

Sejak awal, saya mengikuti polemik tentang program DP Perumahan Nol Rupiah milik Cagub-Cawagub DKI Jakarta Anies-Sandi yang sudah terpilih, tanpa komentar, tanpa menulis artikel. Hanya menikmati saja.

Namun, pada saat saya berpikir polemik tersebut sudah mulai mendekati ujung, pernyataan ekonom Faisal Basri beberapa hari yang lalu pada diskusi interaktif Tempo bertajuk Rumah Terjangkau dan Memadai yang mengatakan bahwa program Anies-Sandi adalah "norak", membuat saya jadi bertanya-tanya, apanya yang norak dari program tersebut?

Saya bukan orang yang ikut melambung tinggi ke atas awan akibat terbuai janji Anies-Sandi yang punya spirit untuk mengatasi masalah besar yang dihadapi warga Jakarta selain banjir dan kemacetan. Bukan itu.

Yang membuat bingung, tadinya saya berpikir polemik per-DPan ini sudah menjadi sesuatu yang biasa; bahkan Jokowi pun bangga dengan DP rumah 1% sebagai realisasi program nasional pembangunan 1 juta unit rumah per tahun untuk mengatasi kekurangan supply (backlog) perumahan yang sudah mencapai 11 juta unit.

Tidak ada yang norak dari apa yang dilakukan Jokowi, sama halnya dengan Anies-Sandi, karena sejauh yang saya pahami program 1 Juta rumah Jokowi adalah seiring sejalan dengan program perumahan yang dicanangkan Anies-Sandi saat kampanye lalu, yang fokus peruntukannya adalah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah).

Jika ketentuan DP nol rupiah dikaitkan dengan peningkatan suku bunga bank yang akan memberatkan konsumen, dalam konteks perumahan MBR menjadi tidak relevan, karena perumahan MBR adalah tentang perumahan subsidi sebagaimana yang sering kita dengar, dimana kredit perumahan dijalankan dengan tingkat suku bunga rendah karena disubsidi oleh pemerintah.

Sudah diketahui bersama bahwa pemerintah menyalurkan dana subsidi perumahan melalui perbankan nasional dalam bentuk Fasilitas Likuidasi Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB).

Pada tulisan ini saya hanya akan menyajikan potret mengapa program perumahan DP nol rupiah merupakan program yang mungkin untuk dijalankan, terlepas ini sekedar gimmick atau tidak.

Pertama-tama, sebagaimana yang sudah sering dibahas, DP perumahan nol rupiah yang diprogramkan Anies-Sandi  adalah sebelas duabelas dengan DP perumahan 1% yang dibanggakan Pemerintahan Jokowi, dan ini tidak melanggar ketentuan BI.

Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value(LTV) untuk Kredit Properti dan Rasio Financing to Value(FTV) untuk Pembiayaan Properti, pada Pasal 17, sudah secara jelas mengatur tentang pengecualian aturan LTV dan FTV untuk program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah.

Sumber: www.bi.go.id
Sumber: www.bi.go.id
Ada dua hal yang menjadi pertimbanganan BI dalam merumuskan peraturan terbaru tentang LTV dan FTV ini:

Pertama, bagaimana meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan, yang sudah dipandang perlu dilakukan pelonggaran. Diharapkan pelonggaran ini dapat mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan di sektor properti mengingat sektor ini memiliki multiplier-effect yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kedua, penekanan pada stabilitas makroekonomi. Artinya, peningkatan pertumbuhan kredit perbankan harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian untuk mengurangi/menekan rasio kredit bermasalah (NPL).

Saya akan menjabarkan implementasi aturan BI di atas terhadap sektor properti, bukan dari sudut pandang makroekonomi karena memang bukan kompetensi saya disitu.

Kondisi yang dihadapi sektor properti ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, realisasi program 1 juta rumah dalam setahun menuntut penyerapan secara maksimal unit-unit perumahan oleh konsumen, dan ini tentu butuh dukungan semua pihak yang terkait, baik di pemerintahan maupun juga swasta.

Sebaliknya, prosedur perbankan yang menyangkut aspek kehati-hatian bank sebagaimana yang disyaratkan BI, serta kapasitas perbankan itu sendiri, justru akan berkontribusi pada perlambatan jalannya program.

Saya setuju, sudah menjadi kodratnya bahwa dengan mengurangi/menekan DP maka developer akan mampu menjangkau market yang lebih luas, lalu meningkatkan realisasi penyaluran kredit perbankan. Namun, hal ini memiliki konsekuensi pada menurunnya "kualitas" kredit secara keseluruhan, yang berakibat pada meningkatnya potensi NPL (Non Performing Loan) perbankan.

Apalagi jika bicara karakteristik MBR, terutama mereka yang bekerja di sektor informal. Para pelaku sektor properti sudah tahu sama tahu tentang rumitnya penyaluran kredit ke mereka, karena alasan proses verifikasi yang menjadi lebih panjang, dokumen-dokumen yang tidak bankable, kendala BI Checking, dan lain sebagainya, serta tentu yang paling utama resiko kredit bermasalah relatif lebih besar pada segmen ini.

Pemerintah melalui kementrian PUPR telah berupaya melakukan terobosan lewat pemberlakuan aturan-aturan baru sehingga diharapkan tidak hanya berdampak pada peningkatan kemampuan supply atau peningkatan kualitas perumahannya, tapi diharapkan juga bisa meminimalisir resiko kredit bermasalah yang dihadapi perbankan.

Aturan ini bermacam-macam mulai dari penyederhanaan proses perizinan hingga persyaratan-persyaratan bagi calon konsumen perumahan subsidi, yang pelaksanaannya di kontrol dan di valuasi secara berkala oleh tim yang dibentuk Kementerian PUPR agar tidak keluar dari jalur.

Ada fakta menarik berdasarkan data Bank BTN sebagai salah satu ujung tombak penyalur KPR subsidi untuk MBR. Sejauh ini, neraca keuangan Bank BTN baik-baik saja dan rasio NPL mereka masih jauh dibawah 5% sebagai batas maksimal yang disyaratkan BI, walaupun kredit yang telah mereka kucurkan tergolong luar biasa.

BTN sudah menyalurkan KPR untuk pembelian 370.173 unit rumah atau senilai Rp 39,01 triliun hingga bulan Juni 2017, terdiri atas penyaluran KPR subsidi untuk 246.062 unit rumah dan pemberian KPR non-subsidi untuk 124.111 unit rumah.

Tahun ini, Bank BTN menargetkan memberi bantuan pembiayaan perumahan untuk 666.000 unit rumah. Rinciannya, KPR subsidi akan disalurkan untuk 504.122 unit rumah dan KPR non-subsidi untuk 161.878 unit rumah, atau lebih dari separuh dari total target pemerintah yang sebanyak 1 juta unit.

Padahal, disisi lain, ketentuan DP yang dijalankan developer untuk perumahan MBR sejauh ini tetap berada di kisaran rata-rata 1 %. Sampai sekarang saya malah belum pernah menjumpai ada perumahan MBR yang dijual dengan DP 10%-15%.

Terlepas dari masih banyaknya kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki, pelaksanaan program perumahan subsidi yang ditetapkan pemerintah saat ini mampu mendongkrak tingkat hunian (okupansi) menjadi sangat tinggi, yang menandakan bahwa segmentasi pasar yang dituju sudah tepat sasaran. 

Jadi, kesimpulan saya, ketentuan DP untuk perumahan subsidi rasanya bukan lagi menjadi issue yang sensitif, bukan juga sesuatu yang norak untuk dijalankan.

Sumber:1,2, dan3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun