Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Koalisi vs Kerjasama di Sistem Presidensial

20 April 2014   04:24 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:19 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak bisa tidur, itulah dampak buruk yang saya alami setelah merenungi tulisan Bang Faisal Basri di Kompasiana (18/4) berjudul “Sesat Pikir Koalisi”. Ada yang menggelitik saya untuk menulis tanggapan, walaupun ragu-ragu, mengingat siapa saya sampai berani-beraninya menanggapi tulisan orang sekelas Faisal Basri? Belum lagi tulisan-tulisan senada yang sebelumnya sudah di posting oleh kompasianer hebat sekaliber Sutomo Paguci atau Mas Wahyu?

Tapi, sudahlah. Satu hal yang mengusik saya untuk menulis adalah pembicaraan tentang sistem pemerintahan presidensial yang tidak mengenal konsep koalisi, oleh karena itu konteks ‘koalisi’ sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan ‘kerjasama’ untuk menghindari politik transaksional atau politik dagang sapi. Tapi, mungkinkah?

Seperti Apa Sistem Presidensial di Indonesia?

Secara konsep, mengutip informasi dari beberapa literatur, sistem ketatanegaraan Indonesia menganut sistem presidensial lewat adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, yang memungkinkan terwujudnya sistem checks and balances antara kedua lembaga tersebut dimana Presiden mempunyai kedudukan yang sederajat dengan parlemen.

Namun, Berdasarkan UUD 1945 Setelah di Amandemen, sistem presidensial yang kita anut juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial (Sumber:  http://sistempemerintahanindonesia.com/), sehingga secara singkat bisa dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang berjalan di Indonesia merupakan gabungan atau perpaduan antara sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer.

Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut;

1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.

2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.

3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.

4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)

Amandemen UUD 45 tersebut lahir sebagai sintesa dari begitu dominannya kekuasaan eksekutif di jaman orde baru dengan menggeser dominasi tersebut ke arah perimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Disini, kemampuan Presiden terpilih digunakan dalam mempertimbangkan semua aspek dalam penyusunan kabinet, apakah yang dinginkan adalah stabilitas kabinet dengan cara memasukkan orang-orang dari partai pendukung atau gabungan partai pendukung, atau menginginkan kemajuan pemerintahan dengan menempatkan orang-orang profesional dalam kabinet sesuai dengan keahlian yang dimiliki?

Apabila dalam penyusunan kabinet Presiden lebih mengedepankan kemajuan dan perkembangan negara, maka selayaknya orang-orang profesional atau beberapa orang dari partai pendukung Presiden yang benar-benar ahli yang harus ditempatkan di dalam kabinet . Akan tetapi Presiden dan kebinetnya akan mendapat kesulitan dalam menjalin hubungan dengan parlemen.

Sebaliknya, jika stabilitas pemerintahan yang dikehendaki, maka Presiden harus mengakomodir partai politik pendukung dengan menempatkan orang-orang parpol tersebut di dalam kabinetnya. Konsekuensinya akan muncul hubungan yang harmonis antara Presiden dengan parlemen karena Presiden dan kabinetnya telah didukung oleh mayoritas suara di parlemen (walaupun ini tidak terjadi di pemerintahan SBY).

Dari sinilah konteks “koalisi” di sistem presidensial Indonesia dimulai, dimana tantangan seorang presiden dalam menciptakan sistem pemerintahan yang kuat dan stabil tersebut mengharuskannya bekerja secara sinergis dengan dukungan penuh parlemen.

Perjalanan Konsep ‘Kerjasama’ Jokowi

Sehabis pileg, Jokowi lalu melakukan roadshow ke kediaman pimpinan-pimpinan partai (Nasdem, Golkar, dan PKB) demi menjajakan ‘konsep kerjasama’ yang katanya berbeda dengan ‘konsep koalisi’ dengan ide dasar untuk semakin memperkuat sistem presidensial di negeri ini.

Konsep kerjasama ala Jokowi ini menjadi gampang dicerna jika arahnya adalah penyatuan platform visi misi partai berikut program-program pembangunan menuju Indonesia Hebat seperti yang dideklarasikan PDIP.

Namun, jika dinyatakan bahwa kerjasama tersebut sama sekali terbebas dari politik transaksional, atau membantah keras anggapan adanya pembicaraan bagi-bagi kursi menteri, mungkinkah ini terjadi?

Maaf. Kali ini saya golongan yang sependapat dengan Harold Laswell (ilmuwan politik) yang mengatakan, “Pasti membicarakan kursi. Karena politik itu tentang who gets what, how, and when,” katanya di Jakarta, Minggu (13/4/2014), atau pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia Margarito, yang menyatakan bahwa Jokowi tak bisa mengabaikan kepentingan partai mitra kerjasama. Karena bagaimana pun juga tujuan sebuah partai adalah ingin meraih kekuasaan.

Jika Jokowi menawarkan konsep idealis tentang kerjasama antar partai yang murni menentang politik transaksional dan bukan juga power sharing, masalahnya adalah mungkinkan tercapai kesepakatan bersama jika Jokowi hanya berbicara di tataran idealis sementara pimpinan partai berada di tataran pragmatis? Bukankah parpol adalah mahluk pragmatis yang bahkan di pileg 2014 kemarin caleg-caleg mereka menjalankan politik transaksional untuk bisa lolos ke parlemen?

Oke-lah baik Jokowi maupun Surya Paloh berkelit dengan mengeluarkan pernyataan bahwa kesepakatan yang telah mereka capai bukan politik transaksional atau bagi-bagi kursi. Namun, tetap saja pernyataan mereka tersebut merupakan bahasa politik yang masih bersifat normatif; butuh informasi lebih detail tentang apa saja yang menjadi point-point kesepakatan mereka.

Ironisnya, di kesempatan lain seperti dikutip dari www.antaranews.com, Wakil Sekjen Partai NasDem Willy Aditya justru menyatakan bahwa bisa saja pejabat negara berasal dari partai, lalu mengenai cawapres pendamping Jokowi dia juga meyakinkan bahwa Surya Paloh dan Megawati akan duduk bersama untuk membahas hal tersebut (Nah lho).

Peristiwa politik yang terjadi antara PDIP dan Nasdem belakangan ini seperti hanya permainan bahasa saja, istilahnya malu-malu tapi mau, atau hanya menggunakan penghalusan kata-kata mirip metode smoothing dalam ilmu statistik. Atau bisa juga kesepakatan kerjasama ala Jokowi ini merupakan modifikasi politik transaksional yang dianalogikan sebagai politik dagang sapi menjadi politik dagang kambing atau politik dagang ayam.

Realitas politik faktanya telah menciptakan jurang lebar antara idealisme dengan pragmatisme, dan bukankah inilah alasan yang diungkapkan Bang Faisal Basri pada publik saat keluar dari PAN dulu?

Anyway, apapun itu, baik Jokowi maupun Surya Paloh layak mendapatkan kredit karena usaha-usaha yang mereka lakukan membuat demokrasi kita bisa selangkah lebih maju.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun