Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ongkos Politik pada Pemilu 2014

1 Mei 2014   12:53 Diperbarui: 15 Februari 2022   22:18 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang tergolong muda hingga ongkos politik yang dikeluarkan masih sangat tinggi,” begitu kata banyak pengamat. Jika dikaitkan dengan Pemilu 2014, berapa sebenarnya nominal biaya politik yang dikeluarkan? Lantas, layakkah biaya pemilu caleg dianggap sebagai sebuah investasi politik?

Sedari sore saya berusaha mencari data-data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas. Setelah lebih dari 3 jam googling, hasil yang didapat lebih banyak membuat saya garuk-garuk kepala. Ternyata benar memang susah mendapatkan informasi yang valid tentang Pemilu 2014, misalnya jumlah caleg keseluruhan, jumlah total kursi yang diperebutkan, apalagi tentang biaya-biaya politik yang dikeluarkan parpol dan caleg, informansinya sangat minim.

Beberapa sumber akhirnya bisa memberi saya data-data, walaupun ada yang sedikit berbeda, yang selanjutnya saya coba paparkan dalam uraian berikut:

Berapa Keseluruhan Ongkos politik pada Pemilu 2014?

Sebelumnya, ongkos politik Pemilu 2014 saya kelompokkan kedalam 3 komponen pengeluaran yaitu biaya yang dikeluarkan pemerintah, biaya pemenangan pemilu parpol, dan biaya kampanye caleg.

Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp 24,1 trilyun yang terdiri dari anggaran dana pemilu sebesar Rp 16 trilyun dan biaya persiapan pemilu yang dimasukkan pada anggaran 2013 sebesar 8,1 Trilyun.

Untuk pengeluaran dana pemilu partai politik dan para caleg datanya agak sulit ditemukan, walaupun mudah dipahami mengapa parpol maupun caleg tersebut seolah-olah enggan mengungkapkan data pengeluaran dana kampanye mereka secara lebih transparan dan akuntabel.

Satu referensi adalah berdasarkan laporan dana kampanye parpol yang diterima KPU setelah pileg 2014 yang totalnya sebesar Rp 3,1 trilyun (walaupun real-nya diyakini jauh lebih besar lagi).

Sementara untuk data pengeluaran caleg dihitung berdasarkan estimasi yang mengacu pada hasil penelitian dan pengamatan di lapangan. Hasil tabulasinya digambarkan pada tabel berikut:

13988980821749388684
13988980821749388684

Kolom estimasi biaya rata-rata pemenangan pemilu tiap caleg pada tabel ditetapkan dengan mengacu pada hasil riset LPEM FEUI yang mengukur rentang (range) pengeluaran biaya kampanye optimal bagi seorang caleg agar tetap memiliki peluang untuk terpilih pada pemilu 2014. Perhitungan ini dilandaskan pada asumsi bahwa investasi politik sebesar range angka optimal tersebut tidak menjamin seorang caleg akan terpilih, tapi jika kurang dari range tersebut maka peluang terpilih sangat kecil sekali.

Mayoritas caleg pasti ingin menang dan upaya-upaya pemenangan yang dilakukan membuat anggaran biaya mereka akan berada di range optimal tersebut, bahkan lebih jika ingin memperbesar peluang.

Berdasarkan hasil tabulasi diatas, satu hal yang mencengangkan adalah perkiraan pengeluaran dana pemilu caleg yang nilainya mencapai Rp 54 trilyun, sementara total nilai 3 komponen biaya berjumlah Rp 81 trilyun yang sejalan dengan penelitian LPEM FEUI yang memprediksi total dana yang bergulir pada Pemilu 2014 bahkan mencapai Rp 115 triliun! Angka-angka yang sungguh luar biasa untuk kategori sebuah pesta (pesta demokrasi).

Bandingkan dengan biaya yang dibutuhkan Pemerintah Brazil untuk menyelenggarakan perhelatan World Cup 2014 sebesar BRL 25,6 milyar (Brazilian Real) yang setara dengan USD 11,4 milyar atau setara dengan Rp 135 trilyun.

Walapun sebenarnya tidak bisa dibandingkan, kedua perhelatan akbar tersebut memiliki nilai nominal yang hampir mirip tapi dengan dampak yang jauh berbeda terutama secara ekonomis. Keseluruhan biaya Pemilu 2014 hanya memberikan stimulus bagi industri kertas, garment, percetakan, dan advertising. Selebihnya akan dinikmati masyarakat sebagaimana program BLT yang tidak memberikan dampak apapun terhadap tumbuhnya perekonomian negara.

Layakkah Biaya Kampanye Caleg Dipandang Sebagai Investasi Politik?

Ada yang beranggapan bahwa kompetisi para caleg pada pemilu adalah perjudian (gambling) maka dengan demikian mereka berjudi juga dengan biaya yang dikeluarkan, namun ada juga yang beranggapan bahwa biaya pemenangan pemilu caleg merupakan investasi politik.

Untuk lebih dalam memahami kedua penilaian tersebut, berikut saya ilustrasikan perhitungan biaya yang diturunkan dari Tabel I.

1398898163232243977
1398898163232243977

Dari tabel diatas bisa tergambarkan dengan jelas bahwa pemilu ibarat sebuah kompetisi ekstrim dimana peluang menang berada di bawah 10% hingga mengakibatkan sebanyak 186.000 orang caleg yang gagal akan menderita kerugian hingga mencapai Rp 48 trilyun!

Tentunya kerugian Rp 48 trilyun tersebut bukan merupakan perjudian jika konteksnya halal haram karena masing-masing caleg bisa melakukan upaya-upaya untuk memperbesar peluang menang. Hanya karakteristiknya saja yang mirip judi karena apa yang dihadapi adalah potensi total loss sebagai resiko jika mereka gagal.

Lain halnya bagi yang beranggapan bahwa Rp 48 trilyun tersebut merupakan investasi politik. Selayaknya sebuah investasi, contohnya pembelian rumah atau tanah, para caleg bisa berharap “value” di masa depan sebagai keuntungan dari apa yang telah mereka korbankan di saat ini. Jadi, ini bukan tentang kerugian tapi justru keuntungan.

Pada investasi politik, value tentunya hanya didapat dari sesuatu yang berbentuk intangible asset berupa jumlah perolehan suara pemilu dan jaringan kerja caleg (jaringan tim sukses serta jaringan partai).

Masalahnya, pola relasi yang terbangun antara caleg dengan konstituen pada kenyataannya menjadi tidak begitu kuat menjelang pemilu karena yang lebih dominan adalah permainan politik transaksional. Realitas politik seperti ini berakibat perolehan suara yang diharapkan bahkan dari basis massa yang telah lama dibina oleh para caleg menjadi mudah berpaling, susah untuk diprediksi.

Jika begini ceritanya tentu saya sangat yakin bahwa sekelas Analis Investasi yang baru lulus sekolah pun sangat tidak merekomendasikan investasi pada asset jenis ini.

***

Bagaimanapun, pemilu legislatif 2014 telah usai dengan meninggalkan beragam cerita dan peristiwa dibelakangnya. Tantangan demokrasi selanjutnya tentu ada pada pemerintahan baru setelah pilpres dan partai-partai politik yang ada di parlemen.

Ongkos politik negeri ini rasanya masih terlalu besar dan resiko-resiko yang dihadapi para caleg juga terkesan sadis dan kurang manusiawi. Sepertinya kita butuh rumusan baru sebagai revisi atas blueprint demokrasi yang telah terbentuk diawal era reformasi dulu.

Semoga demokrasi Indonesia terus melangkah maju.

Sumber:

1, 2, 3, 4, 5, 6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun