Benarkah JK menjanjikan mahar 10 trilyun kepada Jokowi/Mega untuk menduduki posisi cawapres? Polemik tentang isu ini sudah pasti akan mengisi pemberitaan media-media online, termasuk kompasiana, dengan beragam analisa yang mengharu-biru yang bisa membuat sakit kepala.
Bagi Jokowi haters, isu ini dipakai sebagai ‘serangan’ pada Jokowi yang ternyata juga menjalankan politik transaksional, tidak sesuai dengan yang apa yang telah berulangkali disampaikan. Bagi lovers-nya, isu ini diangap hanya bualan Sabam Sirait sebagai ungkapan frustasi dari seorang pecundang.
Bagi saya, isu tersebut adalah biasa-biasa saja (jika benar wajar-wajar saja dan jika salah juga bisa jadi; sama sekali tidak benar atau nominalnya saja yang salah). Apa yang mengherankan saya malah polemik tajam yang ditimbulkan oleh isu tersebut.
Saya justru ingin menyoroti fenomena di negara kita bahwa mahar atau kontribusi atau investasi atau sumbangan yang terkait dengan dana pemenangan pemilu (apalagi pilpres) masih dianggap wilayah yang sensitif untuk diungkap atau dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan namun sekaligus menjadi sesuatu yang sangat naif untuk dikesampingkan begitu saja.
Padahal di negara-negara demokrasi lainnya aktifitas pendanaan pemilu telah dikontrol dan dibatasi lewat regulasi yang ketat dan sistem yang akuntabel lalu hasilnya diumumkan pada publik. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan potensi gesekan-gesekan kepentingan yang bisa terjadi pada calon yang nanti terpilih dengan para donatur mereka.
Terkait hal tersebut, ada pertanyaan yang menarik dicermati yang berhubungan juga dengan peraturan KPU tentang dana kampanye. Berapa sebenarnya dana pemenangan pilpres yang telah dikumpulkan masing-masing capres dan dari mana mereka memperolehnya? Jika dirunut lebih awal lagi, berapa hitungan mereka tentang total kebutuhan dana kampanye agar bisa memenangkan pilpres?
Berapa kebutuhan dana kampanye untuk pemenangan pilpres?
Beberapa sumber menyajikan angka-angka (estimasi) yang berbeda terkait kebutuhan dana untuk pemenangan pilpres. Ada sumber yang menyodorkan nilai 3,5 trilyun, 7 trilyun, 10 trilyun, bahkan ada yang lebih dari itu. Namun kesemuanya pasti menyodorkan angka yang jumlahnya trilyunan rupiah untuk masing-masing capres-cawapres!
Memang agak sulit untuk mereka-reka berapa kebutuhan dana masing-masing capres agar bisa memenangi pilpres. Namun beberapa point berikut bisa dijadikan sebagai acuan:
- Pemerintah menganggarkan dana untuk pilpres sebesar 4 trilyun jika pemilu dilaksanakan cuma satu putaran dan tambahan 3,8 trilyun (total 7,8 trilyun) jika harus melaksanakan pemilu putaran kedua. Logikanya, jika pemerintah saja membutuhkan dana sebesar itu, tentunya masing-masing capres akan mengeluarkan dana lebih besar lagi. Sebagaimana pemerintah, setiap capres juga mengalokasikan dana untuk perangkat-perangkat pemilu seperti dana saksi, cetak atribut, distribusi logistik, dan lain-lain. Namun kebutuhan dana capres jauh lebih besar karena mereka masih harus mengeluarkan biaya kampanye, biaya iklan, dan sumbangan-sumbangan pada masyarakat.
- Barack Obama mengabiskan USD 1,2 milyar (sekitar Rp. 14 trilyun) untuk memenangkan pemilu Amerika Serikat. Memang benar bahwa banyak hal yang tidak bisa dibandingkan antara pemilu di Indonesia dengan di AS. Namun pertimbangan-pertimbangan hegemoni media, jumlah penduduk, dan luas area masing-masing negara, menyebabkan jumlah yang dikeluarkan Obama dalam pemenangan pilpres bisa menjadi salah satu acuan bagi pilpres di Indonesia.
Jika berdasarkan kedua point diatas saja bisa dikatakan bahwa total kebutuhan dana pemenangan pemilu pilpres di Indonesia akan berada pada kisaran 7,8 trilyun hingga 14 trilyun untuk masing-masing pasangan capres-cawapres.
Sebuah angka yang sangat mahal tentu saja, dan mahalnya ongkos untuk menjadi presiden ini menjadi semakin real jika berkaca dari analisa pengamat politik Charta Politica Arya Fernandez saat menjadi pembicara diskusi "Mahalnya Ongkos Nyapres" di Cheesecake Factory Cikini, Jakarta Pusat, (Sabtu, 25/1).
Arya menjelaskan sedikitnya ada tiga faktor yang melatari semakin mahalnya biaya politik. Pertama, adanya perubahan gaya kampanye dari yang sebelumnya sporadik menjadi berjangka panjang. Kedua, munculnya televisi sebagai medium efektif untuk mempengaruhi pemilih. Ketiga, adanya pergeseran politik yang semakin personal yang berakibat pada pelemahan pendanaan parpol. Pasalnya, semakin personal, semakin orang membutuhkan personal branding dan akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan. "Kalau ada yang bilang biaya capres murah, itu mimpi," demikian lanjut Arya.
Dari mana Capres mendapatkan dana untuk pemenangan pemilu?
Dengan nominal dana yang sangat besar, maka diyakini tak ada satu pun pasangan capres-cawapres yang sanggup membiayai kampenyenya sendiri. Para pasangan capres-cawapres itu dituntut untuk mampu menggalang dana pemilu baik dari masyarakat (individu) dan perusahaan (korporasi).
Satu yang menjadi masalah adalah fase demokrasi di Indonesia masih di tahap ‘belajar’ hingga tidak memungkinkan untuk menutupi keseluruhan kebutuhan dana melalui aktifitas fund raising secara terbuka dari masyakarat maupun perusahaan. Bahkan baik Jokowi maupun Prabowo praktis tidak melakukan upaya-upaya fund raising sebagaimana yang dilakukan Barrack Obama di pilpres AS melalui even-even seremonial, telemarketing, ataupun memanfaatkan media online.
Fund raising yang dilakukan capres-cawapres hanya dilaksanakan lewat operasi senyap yang dijalankan dalam kegelapan, seolah-olah publik tidak perlu mengetahui darimana mereka mendapatkan dana, dan mumpung juga regulasi KPU tentang dana kampanye tidak diikuti dengan rancangan sistem yang memadai untuk mengontrol lalu lintas dana pemilu yang tentunya akan melahirkan sinyalemen bahwa calon tersebut berpotensi menerima ’dana siluman’ dari para konglomerat-konglomerat yang yang ingin barter dengan kepentingan-kepentingan mereka.
***
Kembali pada isu cawapres 10 Trilyun diatas, baik pihak PDIP maupun Jokowi sendiri tidak ada yang membenarkan atau membantah isu tersebut. Begitu juga dengan pihak Prabowo yang dilanda isu yang sama terkait gagalnya duet capres-cawapres Prabowo-ARB yang disinyalir akibat tidak tercapainya kesepakatan untuk pembiayaan pemenangan pilpres nanti.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah kemunafikan dan pembodohan dari elit-elit politik dengan mengatakan bahwa tidak ada politik transaksional dalam tiap langkah yang mereka lakukan untuk berkoalisi/bekerjasama untuk memenangkan pemilu presiden nanti. Seolah-olah dana trilyunan tersebut hanya dijatuhkan Tuhan dari langit begitu saja.
Sumber:
http://www.rmol.co/read/2013/08/19/122384/Capres-Butuh-7-Triliun-Rayu-70-Juta-Pemilih-
http://forum.detik.com/usung-jk-cawapres-jokowi-mahar-10-t-dahsyat-t946081.html
http://politik.kompasiana.com/2013/03/06/belajar-galang-dana-kampanye-ala-obama-539697.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H