Putusan Mahkamah Agung Nomor 457/Pid.Sus/2017/PN Smn, menyatakan terdakwa Victor Ngaderman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan ; Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja: (a) membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Victor Ngaderman dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangi selama berada dalam tahanan dengan perintah tetap ditahan dan denda sebesar Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan penjara.
Sdr Victor Ngaderman terbukti memerintahkan karyawannya untuk membuat kredit baru dengan cara mencari debitur yang mau dipinjam namanya untuk menciptakan kredit baru tersebut dilakukan sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 sebagaimana terurai diatas. Dengan demikian unsur jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut telah terpenuhi.
Perbuatan yang diambilnya tersebut adalah melanggar undang- undang maupun SOP intern PT. BPR Restu Mandiri Makmur, namun terdakwa tetap mengambil langkah tersebut dengan tujuan untuk memperbaiki pelanggaran BMPK dan NPL. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.
Peraturan Bank IndonesiaNomor: 7/3/Pbi/2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum menyatakan: Pasal 1 ayat (2) Â ; Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disebut dengan BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal Bank. Pasal 13 ayat (2); BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet.
Bahwa pada tahun 2011, ada audit dari Bank Indonesia yang saat ini telah dilakukan oleh otorisasi jasa keuangan (OJK) yang menemukan adanya pemberian kredit yang melebihi BMPK terhadap 2 kelompok peminjam yang dilakukan oleh terdakwa selaku direktur utama. Hal tersebut diketahui karena pihak pemeriksa telah melakukan pemeriksaan on the spot (ots) yang akhirnya diketahui bahwa nama-nama peminjam sebenarnya tidak menerima uang tetapi diterima oleh pihak lain yang terafiliasi.
Pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya atau barang-barang yang berada di dalam pengawasannya.
Teori pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liablility ini pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan  secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dengan perkataan lain, apakah perbuatan dan kesalahan seseorang itu bisa dimintakan pertanggungjawabannya kepada orang lain. Pertanyaann ini muncul karena pada dasarnya pertanggungjawaban pidana itu merupakan hal pribadi.
Vicarious liablity diartikan oleh Black's Law dictionary sebagai.
"liablity that asupervisory party (such as an employer) beras for the actionable conduct of subordinate or associate (such as an employee) based on the realationship between the two parties"
Sehubungan dengan doktrin pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability ini, dapat dikemukakan 3 (tiga) hal yang berkaitan dengannya, yaitu, pertama, doktrin ini berpangkal tolak dari ajaran respondeat superior, yang adagiumnya bisa diartikan sebagai " a master is liable in certain cases for the wrongful acts of his servant, and a principal for those of his agents".Â
Kedua, doktrin ini didasarkan pada "employment principle", dimana seorang majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para karyawan; sehingga dikatakan bahwa "the servant's act is the master's act in law; dan, Â ketiga, doktrin ini juga didasarkan pada "the delegation principle".
Dengan demikian, kesalahan atau guilty mind dari karyawan hanya dapat dihubungkan kemajikan, apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan. Jadi harus ada "a relevan delegation of power and duties" menurut undang-undang.
Doktrin vicarious liability ini, yang sering disebut juga sebagai respondeat superior, atau yang juga dinamakan sebagai theory of imputing, karena perbuatan seorang pegawai yang bertindak untuk kepentingan korporasinya dimasukkan atau diteruskan ke dalam korporasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H