Sejak itu, beta rutin sekali memainkan jari jemari pada kertas, mulai dari puisi cinta hingga puisi perjuangan.
Namun, sayangnya, puisi-puisi tersebut belum terdigitalisasi karena tidak ada laptop dan HP. Makanya, banyak karya yang dibuat rusak, karena terkena hujan maupun kertasnya sobek termakan usia.
Setelah lulus SMA dan berkuliah, beta dikenalkan dengan Kompasiana. Melalui media blog ini, beta kemudian banyak mengabadikan semua karya di sini, sehingga banyak sekali karya saya bisa dinikmati oleh banyak orang di luar sana.
Namun, banyak sekali puisi-puisi saya yang diplagiasi oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, kemudian dibacakan dengan menggantikan beberapa kata dalam bait puisi.
Di tengah perkembangan zaman ini, banyak sekali istilah-istilah luar yang digunakan oleh anak muda sebagai bahasa gaul yang dicampuradukkan dengan Bahasa Indonesia.
Misalkan Bahasa Jaksel, jujur saya agak kecewa. Jika dibandingkan dengan bahasa Jaksel yang sok ke Inggris-inggrisan, Bahasa Melayu Ambon lebih keren.
Namun, di tengah kehidupan dunia pergaulan, kebanyakan anak muda Maluku sepertinya malu menggunakan Melayu Ambon.
Tak jarang, mereka sering diejek dan dianggap tidak berpendidikan karena menganggap itu bahasa pasar ketika digunakan pada tempat-tempat tertentu.Â
Stigma seperti ini sering kali ditemui saat sekolah, dan itu datang dari kalangan guru yang melarang menggunakan Melayu Ambon.
Bagi saya, sih tidak masalah, kalau di lingkungan sekolah maupun perkuliahan yang ada di lingkungan orang Maluku memperbiasakan menggunakan istilah-istilah Melayu Ambon.
Saat ini, anak muda di Maluku banyak yang sudah tidak tahu lagi beberapa istilah Melayu Ambon, seperti halalang, cecelepu, bangkawang, baniang, bastang, dan masih banyak lagi.