film pendek yang disutradarai oleh Martina Gatalaufara.
Matahari Mayukani merupakan sebuahMenariknya, si sutradara dalam film pendek adalah seorang gadis belia yang baru saja menginjakan kakinya di bangku sekolah menengah pertama di Benjina, Aru Tengah.Â
Film ini diangkat dari cerpen Eko Saputra Poceratu.Â
Waktu menunjukan pukul 01:00 WIT, saya awalnya sedikit tertarik ketika melihat potongan video pendek tentang film tersebut di halaman Instagram @ekosaputrapoceratu yang tidak lain merupakan seorang penulis.
Hasil tulisannya berupa cerpen inilah yang diangkat menjadi film tersebut.
Eko Saputra Poceratu merupakan salah satu penyair kebanggaan orang Maluku yang sangat saya sukai.
Karya-karyanya begitu menarik karena penuh dengan nilai-nilai dan kritik sosial yang ia selipkan di setiap bait karya-karyanya.
Tidak butuh waktu lama saya langsung mengarahkan jari jempol saya ke kolom pencarian YouTube. Saya mengetik kata kunci film Matahari Mayukani.Â
Selama 24 menit 08 detik ditemani dengan segelas kopi, saya fokus menonton film pendek yang membuat saya penasaran tersebut.
Seberapa menarik sih film tersebut, munurut saya? Semua terjawab saat saya menontonnya.Â
Di awal film saja sudah membuat bulu kuduk saya merinding. Bukan karena takut, tapi ketika membaca kredit titel di awal film membuat saya yang awalnya sedikit tertarik jadi makin tertarik dan penasaran dengan film tersebut.Â
Apa sih sebenarnya yang mau di sampaikan dalam film ini? Adegan demi adegan dalam film seakan menyeret imajinasi saya jauh menuju Aru. Singkat cerita, dalam film menceritakan mengenai kondisi sosial di mana seorang anak yakni Ina yang ingin berjuang mengejar pendidikannya namun terhambat oleh pemikiran sang ayah yang sempit.
Bagi ayahnya, perempuan hanya mempunyai tugas sebatas memasak, mencuci dan berkebun. Dalam film seakan sedang memberikan pesan betapa pentingnya pendidikan agar kita tidak dibodohi oleh orang.
Sosok Ibu Ina (Wendy Patyanan) dan Ibu Guru Santi (Clara Sidharta) adalah dua perempuan yang gigih untuk terus memperjuangkan Ina agar dapat menggapai cita-citanya lewat pendidikan.
Film pendek ini memperlihatkan permasalahan kesetaraan gender, kekerasan rumah tangga, kemiskinan dan isu-isu budaya yang disampaikan baik secara langsung lewat adegan para pemain maupun lewat dialog-dialog yang disampaikan.
Saya sangat terpukau dengan akting dari Ina (Monalisa Kamsy) dan beberapa anak kecil dalam film tersebut yang begitu natural, sehingga pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam film kepada penonton biasa dengan mudah tersampaikan.
Bentar, ada yang kurang. Potret kondisi dari kualitas pendidikan di Aru yang begitu memprihatinkan ikut terangkat dalam film ini.Â
Sekolah yang kekurangan guru mengakibatkan anak-anak banyak bermain dari pada belajar di sekolah. Kondisi ini kemudian membentuk pola pikir sang ayah dalam film tersebut untuk skeptic dengan masa depan anaknya. Sang ayah merasa tidak mampu bagi anaknya dapat bersaing dengan anak-anak di kota yang jauh lebih maju dalam hal pendidikan.
Sang ayah yang diperankan oleh Silvester Heatubun sukses menghipnotis penonton dengan aktingnya yang ciamik.
Permasalahan yang kompleks di dalam film ini sebenarnya persoalannya juga relate dengan daerah lainnya di Provinsi Maluku.
Setelah menonton film ini, saya baru tahu ternyata harga bensin di Aru sangatlah mahal di mana satu liter bensin dihargai 20 ribu rupiah. Belum lagi kondisi sinyal yang hilang-hilang sungguh sangat memprihatinkan.
Menurut saya, film ini sangat direkomendasi untuk ditonton oleh kalian karena sarat akan nilai-nilai dan kritik sosial di dalamnya yang membut kita tahu kondisi di Kabupaten Aru, Provinsi Maluku.
Ada sedikit masukan untuk film Matahari Mayukani, yakni dialog pemain yang menggunakan dialeg Aru namun tidak menyertakan subtitle Indonesia membuat orang dari luar Maluku pasti akan kesulitan menejermahkan kata demi kata yang disampaikan.
Hingga artikel ini ditulis, film yang tayang pada 27 Juli 2024 ini telah ditonton oleh 7.200 penonton di YouTube Eko Saputra Poceratu dan disukai lebih dari 870 orang.
Dalam deskripsi film di YouTube dijelaskan bahwa film diproduksi sendiri oleh para peserta festival NAMA yang dijalankan di Maijuring.Â
Film ini merupakan persembahan dari anak-anak Maijuring dan Namara untuk Aru dan dunia. Walaupun dengan peralataan seadanya, namun film ini sangat berkualitas dan layak untuk ditonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H