Mohon tunggu...
Hendra Wattimena
Hendra Wattimena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Puisi | Perencanaan Wilayah | Politik | Olahraga | Isu Terkini

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Cita-cita Tak Direstui Orangtua, Salah Jurusan Bukan Berarti Salah Masa Depan!

4 Februari 2023   01:49 Diperbarui: 4 Februari 2023   02:29 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas dibenak anda ketika mendengar kata "cita-cita", atau mendengar kata "impian"? Setiap orang tentu punya cita-cita maupun impian yang pastinya ingin dicapai.

Sejak kecil saya telah menanamkan tekat di dalam hati dan pikiran saya untuk harus menjadi seorang dokter. Tiap kali ditanya guru, orang tua, keluarga atau siapapun itu saya akan dengan bangganya mengatakan saya ingin jadi seorang dokter kelak.

Saking terobsesinya  dengan cita-cita saya tersebut saya begitu kutu buku dan belajar mati-matian sejak SD, agar tetap menjadi nomor satu di kelas.

Alasan saya ingin menjadi seorang dokter cukup simple karena saya ingin membantu orang lain diluar sana yang kesusahan berobat. Saya ingin memberikan biaya perobatan gratis lantaran saat kecil saya sering kali menonton di televisi terkait dengan mahalnya biaya perobatan di Indonesia.

Selain itu, saya sering mengikuti tayangan Kick Andy di Metro TV yang memberikan kisah-kisah inspiratif dari orang-orang yang sukarela membantu kepada mereka yang membutuhkan. Hal tersebut menjadi salah satu penggerak motivasi bagi saya.

Hampir setiap minggunya di hari jumat saya harus buru-buru ke depan televisi untuk menyaksikan tayangan Kick Andy. Dari sanalah jiwa dan raga saya untuk membantu orang lain dengan cita-cita menjadi seorang dokter kelak mulai dibentuk.

Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Obsesi saya menjadi seoran dokter tidak main-main hampir di semua buku tulis dan meja belajar saya tulis Profesor. Dr.dr. Hendra Wattimena M.Kes. terkesan terlalu lucu dan mengada-ngada, seorang anak miskin yang ingin punya gelar seperti itu. Tapi bagi saya mimpi tetaplah mimpi yang harus dikejar.

Kadang kala dari pihak keluarga maupun orang lain yang menanyakan kepada saya mengenai cita-cita saya tersebut selalu mengatakan seperti ini " Biaya kuliah dokter itu tidak murah, orang tuamu harus mengumpulkan banyak uang, apakah mereka mampu?'

Di dalam benak saya uang bukan masalah jika ada kemauan. Itulah prinsip yang saya pegang untuk tetap terobsesi menjadi seorang dokter. Diiringi doa setiap malam dan terus belajar membuat saya makin mengila mengejar cita-cita saya tersebut.

Masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya kemudian menjadi orang nomor satu di sekolah saya dengan menjadi ketua OSIS selama dua kali berturut-turut hal ini tak lepas dari prestasi yang saya miliki karena begitu tekun belajar.

Setiap waktu luang saya habiskan di perpustakaan sekolah untuk membaca buku-buku yang berhubungan dengan biologi, fisika, dan kimia.

Saya selalu fokus ke tiga bidang ilmu tersebut mengingat kedepan saya akan berkuliah menjadi mahasiswa kedokteran. Sejak SMP saya sudah mencari tahu terkait beasiswa kedokteran yang ada. 

Singkat cerita saya kemudian dinyatakan lulus sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Lulus SMP saya menjadi juara dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di sekolah saya tersebut.

Orang tua kemudian menanyakan kepada saya setelah ini mau lanjut ke mana. Saya kemudian mengatakan ingin mencoba masuk salah satu sekolah favorit di Provinsi Maluku. Dimana di sekolah tersebut akan dibiayai 100%  untuk siswa yang lolos di sana.

Alasan saya memilih melanjutkan SMA disana lantaran dengan begitu akan ada peluang untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dengan full beasiswa mengingat itu merupakan sekolah bergengsi, tentu banyak tawaran bebasiswa disana. Akan tetapi saya gagal lolos masuk ke sekolah yang sisitem seleksinya begitu ketat tersebut.

Tidak sampai disitu bagi saya kegagalan bukanlah akhir dari suatu perjuangan, saya kemudian meminta izin ke kedua orang tua saya untuk hendak melanjutkan sekolah ke sekolah terbaik di kabupaten saya tinggal. Akan tetapi orang tua tidak mengizinkan lantaran terlalu jauh dari rumah. Mau tidak mau terpaksa saya harus mengikuti arahan orang tua saya.

Terpaksa saya melanjutkan sekolah di salah satu SMA di kecamatan saya tinggal. Di sekolah ini memang kualitas pembelajarannya tidak begitu bagus. Jarang mendapatkan pembelajaran dan fasilitas tidak mendukung namun tidak membuat semangat saya pudar. 

Waktu-waktu kosong yang banyak akibat guru jarang masuk membuat saya untuk pergi ke perpustakaan belajar otodidak disana. Saking seringnya di perpustakaan hingga pegawai perpustakaan begitu akrab dengan saya.

Di SMA orang tua kemudian mulai serius soal cita-cita saya, mereka anggap selama ini mungkin saya tidak begitu serius dengan cita-cita saya menjadi seorang dokter. Hampir setiap malam selesai makan dan hendak tidur mereka menasehati saya, bahwasanya kuliah kedokteran bukanlah mudah, mereka memang tau kemampuan saya akan tetapi soal biaya mereka tidak mampu. 

Saya berusaha meyakinkan kedua orang tua agar nanti setelah lulus SMA saya akan tes beasiswa bidik misi dan mencari beasiswa lainnya untuk kuliah kedokteran, akan tetapi mereka tetap menolak dan menyarankan saya untuk tidak melanjutkan kuliah.

Sudahlah, saya kemudian membuat plan B, namun tetap fokus menjalani plan A yakni mengejar cita-cita sebagai seorang dokter. 

Sejak kelas satu SMA saya kemudian sudah mulai memikirkan cara untuk mulai menabung untuk menghasilkan uang mencari tambahan untuk bisa membiayai kuliah saya nanti dan mencari uang untuk membeli paket data agar bisa mencari informasi seputar kuliah.

Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Mulai dari menanam sayur kangkung, budidaya labu siam,menanam pisang, hingga bertani semangka saya geluti. Setiap pulang sekolah saya mengambil parang dan cangkul untuk membersihkan kebun kemudian bertani.

Pendapatan dari bertani lumayan untuk menambah biaya sekolah saya dan disisakan sedikit. Karena sering bercocok tanam  saya kemudian berfikir kenapa saya tidak mencoba untuk menjadi petani saja, jika memang orang tua tidak mengizinkan saya kuliah kedokteran.

Dari situlah plan B, saya sebagai seorang sarjana pertanian terbentuk, di pikiran saya adalah saya harus menjadi ahli  di bidang pertanian yang bisa menciptakan tanaman-tanaman berkualitas. Maka dari itu saya kemudian tertarik untuk masuk IPB dan mengambil jurusan hortikulatur.

Di balik perjuangan saya ada satu sosok yang tetap menopang cita-cita saya, apapun itu yang terbaik selalu dia dukung. Namanya Om Edo, dia merupakan saudara ayah saya.

Dia sering memberikan motivasi dan penguatan kepada saya agar tetap kuat apapun rintangannya harus maju jangan mundur

"Kamu itu pintar, Om tidak meragukanmu lagi, Om akan bantu nanti kalau kamu kuliah," itu yang di ucapkan Om Edo setiap kali dengan saya.

Masuk kelas 12 di mana tinggal menghitung bulan saya kemudian akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Orang tua mulai serius terkait kemana nanti saya harus kuliah.

Saya kemudian dengan yakin mengatakan ingin masuk kedokteran, kalu tidak ingin kuliah di IPB ambil Pertanian.

Sayangnya lagi-lagi orang tua menolak dengan alasan biaya dan jarak yang jauh. Hampir tiap hari saya dan orang tua saya berdebat soal kuliah saya nanti mau kemana.

Akibatnya hampir 1 semester saya berdiam diri dikamar dan tidak berbiciara dengan kedua orang tua akibat terlalu kecewa. 

Di waktu-waktu terakhir untuk mendafatarkan kuliah kebetulan waktu itu, saya ikut SNMPTN atau jalur prestasi masuk perguruan tinggi negeri.

Saya kemudian memberanikan diri meminta izin dari kedua orang tua untuk hendak memilih kedokteran pada pilihan pertama dan pertanian di pilihan kedua, akan tetapi tidak diizinkan akhirnya.Di saat-saat terakhir malah operator sekolah yang memilih tempat kuliah saya. Di waktu pengumuman saya akhirnya lulus di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Pattimura, jurusan di mana sampai saat ini saya menempuh pendidikan.

Mau tidak mau dengan terpaksa saya lanjut saja, walau itu bukan merupakan cita-cita dan impian saya. Yang menguatkan saya di saat-saat saya patah semangat adalah om Edo dia terus menyemangati saya.

Masalah baru muncul, disaat hendak berangkat ke Kota Ambon untuk kuliah keluarga kami mengalami masalah ekonomi. Selain itu ada kakak saya yang hendak wisuda dan membutuhkan biaya. Hampir saya tidak bisa lagi melanjutkan kuliah.

Namun ayah dan ibu berusaha sebisa mereka dengan biaya pas-pasan agar saya bisa melanjutkan kuliah. 

Di saat-saat krisis saya berdiskusi dengan Om Edo, dia kemudian memberikan saya sejumlah uang yang lumayan besar untuk digunakan sebagai biaya awal kuliah sembari menunggu bebasiswa saya cair di semester pertama, karena saya lulus SNMPTN sekaligus mendapatkan beasiswa bidik misi. Saya juga dibelinya HP baru untuk digunakan.

Sehari sebelum saya hendak berangkat dia mengantarkan saya ke seorang gembala (pendeta) untuk didoakan.

Besok paginya saya meninggalkan rumah dan memulai perjuangan sebagai seorang anak perantau untuk menjadi mahasiswa.

Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Awal-awal kuliah menjadi waktu di mana masa krisis dalam hidup. Sering diusir oleh mama kos karena terlambat bayar uang kosan, jarang makan dan menjadi mahasiswa kupu-kupu karena tidak punya motivasi kuliah di jurusan tersebut.

Namun kembali saya ingat perjuangan orang tua saya dan mereka yang sudah membantu saya sejauh ini.

Di semester tiga, saya mulai berbenah diri, kemudian mencari cara menghasilkan uang dengan mengikuti berbagai kegiatan lomba.

Dengan uang tersebut saya kemudian gunakan untuk biaya hidup, bayar kos dan keperluan lainya. Saya kemudian pindah dari kosan pertama saya ke kosan yang lebih murah dan dekat dari kampus supaya menghemat biaya.

Selama kuliah saja merasa saya salah jurusan sama sekali. Beberapa kali ingin berhenti kuliah namun kembali saya mengingat perjuangan saya. Bertahan dari semester ke semester tanpa semangat. 

Di semester 7, saya terpilih menjadi ketua  senat mahasiswa/Ketua DPMF di kampus saya, kemudian disibukkan dengan berbagai kegiatan. Di situ saya mulai menyadari makna saya ditempatkan tuhan disini.

Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Saat ini saya telah duduk di semester delapan dan akan berpacu dengan tugas akhir, untuk menyandang gelar sarjana. Walaupun dengan berbagai kekurangan dan kuliah tanpa semangat karena salah jurusan namun IPK saya tetap baik dan tidak ada nilai yang jelek atau mengulang mata kuliah.

Tulisan ini saya buat sebagai pengingat bahwa saya sudah berjuang dan bertahan sejauh ini sampai di titik ini.

Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Sumber: Dokumen Pribadi/Hendra Wattimena
Memang cita-cita sebagai seorang dokter tidak bisa saya wujudkan, memang saat ini saya salah jurusan. Akan tetapi itu bukan penghalang untuk maju. Jika sudah memulai sesuatu maka selesaikanlah apa yang suda dimulai jangan menyerah sampai di sini.

Menjadi dokter bukan salah satu cara membantu orang lain, akan tetapi saya kemudian mengerti dan bertekat harus menjadi orang sukses agar kelak bisa memberikan beasiswa dokter untuk anak-anak miskin seperti saya yang ingin mencapai cita-cita mereka namun kekurangan biaya dan dukungan orang tua.

Bagi saya cita-cita adalah tujuan yang ingin dicapai seseorang dalam hidup namun jika takdir tuhan lain maka jangan pernah berhenti dan menyerah.

Tetap bergerak maju dan jadi inspirasi untuk orang lain.Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun