Makariki, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku terdapat salah satu tradisi yang boleh dibilang unik dan sarat akan nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam tradisi tersebut.Â
Di NegeriNama tradisi tersebut adalah sarong baju atau disebut juga oleh masyarakat setempat kawin mata rumah (nikah adat).Â
Jika dilihat dari namanya, sarong baju berasal dari kata sarong dan baju, sarong sendiri merupakan dialek ambon yang jika diartikan ke bahasa Indonesia sama dengan menggunakan/memakai. Jadi, bisa diartikan bahwa sarong baju adalah menggunakan baju atau memakai baju.Â
BACA JUGA: Adiraku Penolongku
Tradisi ini merupakan budaya yang telah dilakukan oleh masyarakat Negeri Makariki dari turun temurun hingga saat ini. Sarong baju dilakukan untuk pasangan yang sudah menikah.
Tradisi ini hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki dari Negeri Makariki yang sudah menikah atau disebut dengan kawin masuk, artinya mempelai perempuan telah masuk dan bergabung dengan keluarga mempelai lelaki.Â
Sarong baju tidak akan dilakukan pada perempuan Negeri Makariki yang kawin dengan laki-laki dari daerah lain (kawin keluar).
Sebelum dilakukan proses sarong baju, biasanya dilakukan prosesi antar atiting oleh sanak saudara perempuan dari mempelai laki-laki.Â
Atiting sendiri merupakan kegiatan membawa berbagai hasil bumi ke rumah tempat acara sarong baju. Hasil bumi yang dibawakan beraneka ragam mulai dari singkong, keladi, ubi jalar, pisang dan lain sebagainya.Â
Kalau sudah tiba waktunya, makanan hasil bumi tersebut akan dicicipi bersama-sama di acara sarong baju.Â
Ketika tiba acara sarong baju, para undangan dan sanak saudara akan berdatangan ke acara tersebut di mana diwajibkan memakai baju cele, sedangkan kedua mempelai memaki baju adat.
Pada saat prosesi sarong baju dilakukan, mempelai perempuan akan dibawa masuk ke dalam rumah bersama mama-mama mananol. Kemudian, mereka akan duduk dulang (duduk daun), yaitu prosesi duduk bersama-sama mengelilingi makanan yang telah disajikan di atas daun pisang dan tikar.Â
Setelah itu, pemuka agama yaitu pendeta akan membuka prosesi tersebut dengan doa. Orang yang menyarungkan baju mananol ke pengantin perempuan nantinya bukan orang sembarangan tetapi harus berasal dari istri Kepala Dati.Â
Baju yang dipakai disebut baju mananol, baju ini berwarna hitam dan berlengan panjang.
Setelah semua sudah duduk dan mencicipi hidangan yang disediakan, dalam kegiatan makan bersama ini nantinya mama-mama mananol akan menerangkan kepada mempelai perempuan mengenai keluarga mereka (keluarga mempelai pria).Â
Seperti memperkenalkan para sanak saudara serta sebutan atau panggilan apa yang harus diberikan kepada orang-orang tersebut, misalnya siapa saja yang boleh di panggil Ua (bibi), siapa saja yang dipangil Wate (paman) dan mengenalkan konyadu-konyadu (ipar-ipar).Â
Setelah selesai, mempelai perempuan akan keluar bersama pengantin pria kemudian bertemu undangan di luar rumah. Nantinya, pengantin pria akan membagikan sopi dan pengantin perempuan akan membagikan sirih pinang kepada para orang tua dan undangan.
Untuk acara sarong baju sendiri, tidak bisa dilakukan sembarangan hari namun harus pada hari Jumat.Â
Alasannya, karena baju yang sudah dikenakan pengantin perempuan harus tetap dipakai dan tidak boleh dilepaskan selama tiga hari berturut-turut. Nah, pada hari ketika bertepatan dengan hari Minggu barulah baju tersebut dibuka.Â
Maka otomatis waktu lepas baju tersebut akan tepat pada hari Minggu bertepatan dengan waktu beribadah, agar nantinya kedua mempelai akan ke gereja untuk menunaikan puji dan syukur kepada Sang Pencipta.
Masyarakat Negeri Makariki meyakini bahwa tradisi sarong baju dilakukan bukanlah sekedar kegiatan seremonial semata.
Akan tetapi, di dalam terkandung makna serta nilai-nilai filosofi yang mempunyai fungsi sebagai pedoman bagi kedua mempelai. Setiap prosesi tahap demi tahap yang dilakukan dalam tradisi ini memiliki makna tersendiri.Â
Jika kita ulik lebih dalam misalnya makna dari antar atiting merupakan suatu perwujudan nilai tanggung jawab kegotongroyongan dalam kehidupan orang bersaudara yang selalu hidup harmonis merasakan suka duka satu sama yang lain secara bersama-sama dan saling menopang satu sama yang lain.
Ketika mempelai perempuan mengenakan baju mananol, itu bermakna bahwa si mempelai perempuan sudah sah secara adat menjadi bagian keluarga mereka, duduk dan makan bersama-sama.
Kemudian, dilakukanya prosesi perkenalan anggota keluarga memiliki filosofi yang begitu berharga bahwa sesunggunya ketika sudah menjadi bagian dari sebuah keluarga besar, si menantu haruslah saling menghargai dan menghormati sanak saudara.
Kemudian, tanda dari membagi-bagikan sopi dan sirih pinang dari kedua mempelai kepada para sanak saudara bermakna yakni mereka haruslah saling berbagi satu sama lain dengan keluarga besar, susah maupun senang harus dirasakan bersama.Â
Serta yang terakhir baju mananol yang dibuka tepat pada hari Minggu bermakna sangat dalam dari sisi spiritual umat beragama yang mana mempelai perempuan sangat bahagia karena sudah bergabung dalam keluarga besar dan dalam mengarungi bahtera keluarga mereka harus tetap mengandalkan Sang Pencipta.
Secara garis besar, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya makna dari filosofi sarong baju adalah perempuan yang menikah harus tahu tentang adat istiadat yang berlaku di Negeri Makariki.Â
Menantu perempuan diharapkan untuk bisa mengenal sanak saudara dari keluarga laki-laki. Perempuan yang dulunya berasal dari keluarga lain kini telah menjadi bagian dari keluarga besar mereka yang harus menghormati serta menghargai keluarga barunya.
 Tradisi budaya sarong baju juga terkandung nilai dan norma-norma yang merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat Makariki, seperti nilai saling memiliki antara orang bersaudara, membentuk rasa kebersamaan, mewujudkan sikap sopan santun dan tata krama dalam ikatan keluarga serta membentuk nilai kesederhanaan dalam kehidupan orang bersaudara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H