Mohon tunggu...
Hendra Wattimena
Hendra Wattimena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Puisi | Perencanaan Wilayah | Politik | Olahraga | Isu Terkini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Balada Dosen Kolonial dan Kampus yang Tidak Ikut Perkembangan Zaman

15 Februari 2022   21:06 Diperbarui: 1 Mei 2022   09:47 3720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia kampus memang dipenuhi orang-orang intelektual, tempat dimana manusia-manusia yang haus akan ilmu berkumpul untuk meminum sumber air kehidupan sebagai bekal mereka di masa depan.

Ada dua makluk di dunia kampus yang paling disoroti yaitu dosen sebagai pengajar dan mahasiswa yang merupakan para musafir pengejar ilmu. Dua kelompok manusia ini saling membutuhkan satu sama lain.

Terlepas dari semua itu, kita perlu tahu bahwa dalam dunia kampus banyak sekali fenomena yang terjadi. Fenomena itu tercipta tak lain dari mahasiswa dan dosen itu sendiri. Pada tulisan saya kali ini, saya ingin mengulik fenomena-fenomena tersebut.

Sebagai seorang mahasiswa, saya akan lebih menyoroti dosen sebagai pengajar dan sistem kampus yang terkesan kolot. Ya, saya tau kita mahasiswa juga mempunyai banyak sekali persoalan, maka dari itu kita membutuhkan dosen untuk bisa memberikan pencerahan bagi kita.

Baca Juga: Basa Basi Kurang Aksi, Apa Pentingnya Organisasi bagi Mahasiswa?

Ada tipe-tipe dosen yang mungkin membuat mahasiswa begitu kurang nyaman di dunia kampus, apalagi mereka membuat kampus seakan seperti tempat penjajahan. Hal tersebut akibat kebijakan-kebijakan yang mereka buat terkesan tak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Aturan dibuat mengikuti gaya dan kemaun mereka. Kebijakan yang dibuat dan diambil oleh para pemimpin di kampus juga terkesan tidak menguntungkan mahasiswa.  Sebelum saya lanjut lebih jauh, saya perlu disclaimer bahwa apa yang saya tulis  tidak semua kampus maupun dosen seperti demikian hanya saja ada kumpulan-kumpulan  tertentu kedapatan memiliki karakter demikian.

Kampus Merdeka, Dosen Kolonial

Bapak Nadiem Anwar Makarim ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan, beliau banyak sekali melakukan terobosan, terutama pada pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Salah satu program luar biasanya adalah Kampus Merdeka. Bagi saya beliau merupakan Menteri Pendidikan yang sangat mengerti persoalan dunia pendidikan kita.

Sumber: Pixabay.Com
Sumber: Pixabay.Com

Kampus Merdeka sendiri dibuat oleh mas menteri, dengan tujuan agar dapat membuat  mahasiswa bisa lebih mempelajari hal-hal baru di luar kampus dan mengembangkan skill serta kreativitas mereka, agar nantinya dapat mempersiapkan mahasiswa untuk siap terjun ke dunia kerja.

Kebijakan dari Kampus Merdeka  benar-benar memberikan ruang buat mahasiswa agar bisa lebih merdeka dalam proses menuntut ilmu, dimana Kampus Merdeka memberikan kesempatan pada mahasiswa agar dapat menggambil SKS di luar prodi, selama tiga semester terbagi dari 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi.

Program keren yang digagas oleh mantan Co Gojek tersebut, mempunyai harapan dapat menjawab tantangan perguruan tinggi untuk melahirkan lulusan yang sesuai dengan perkembangan zaman, kemajuan IPTEK, tuntutan dunia usaha dan industri, maupun dinamika masyarakat.

a-book-g7ab7823b5-1920-620bac271e0cba351470a223.jpg
a-book-g7ab7823b5-1920-620bac271e0cba351470a223.jpg

Dengan program Kampus Merdeka sangat diharapkan dapat memberikan pengalaman kontekstual kepada mahasiswa dalam meningkatkan kompetesi mereka secara utuh, siap kerja, atau menciptakan lapangan kerja baru.

Uniknya lagi, pembelajaan Kampus Merdeka memberikan tantangan serta kesempatan dalam pengembangan inovasi, kreativitas, kapasitas kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa. Kampus Merdeka merupakan salah satu perwujudan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning) yang sangat esensial.

Akan tetapi, dibalik kelebihan dari suatu program pasti ada kendala serta permasalahan yang terjadi. Masih banyak sekali kampus yang belum mengerti persoalan Kampus Merdeka ini, akibatnya program studi kebanyakan tidak mau memberikan konvers SKS bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan tersebut.

Alasan mereka beragam, mulai dari program studi yang tidak memiliki keterkaitan dengan program yang diikuti mahasiswa tersebut, sampai dengan alasan kalau program studi belum menerapkan kurikulum merdeka belajar.

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com

Point yang saya sorot pertama, yakni prodi-prodi yang beralasan kalau belum menerapkan kurikulum  tersebut pada sistem pendidikan mereka, hal ini kan lucu. Kira-kira kerja apa saja mereka selama ini sampai tidak bisa mengurus persoalan tersebut. Padahal program ini sudah berlangsung sejak  2020 lalu.

Mungkin, mereka masih nyaman dengan sistem lama. Mereka tidak mau mengikuti perkembangan zaman untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan sekarang, serta mereka lambat dalam menyesuaikan dengan keadaan yang terjadi. Jika alasan terkait bagaimana program yang diambil oleh mahasiswa  tidak relevan dengan keilmuan di prodi, maka bagi saya ini alasan yang sangat ketinggalan.

Perlu diketahui pendidikan kita tidak akan menentukan dimana nantinya kita bekerja, apa salahnya jika mahasiswa yang berkuliah di prodi ilmu pemerintahan belajar terkait bahasa pemograman? Kita lihat saja Menteri Kesehatan dia bukan seorang dokter. Dia adalah sarjana nuklir tapi bisa jadi Menteri Kesehatan dan rekam jejak karirnya  merupakan seorang bankir.

Memang program Kampus Merdeka sengaja dibuat agar mahasiswa bisa mempelajari hal baru di luar basic keilmuannya, kebanyakan program yang ditawarkan berkaitan seputar dunia digital. Persoalan mengenai teknologi digital inilah yang sangat dibutuhkan dimasa depan nanti, mahasiswa perlu dibekali dengan hal-hal seperti itu.

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Lagian pada program Kampus Merdeka sudah memberikan batasan-batasan tertentu bagi mahasiswa dengan latar belakang keilmuan yang relevan dengan kegiatan yang akan diikuti. Misalnya, kegiatan Magang Merdeka yang merupakan program dari Kampus Merdeka.

Kegiatan ini mempersiapkan mahasiswa turun langsung dan mengambil bagian pada perusahaan, dunia industri maupun instansi pemerintah. Disini pihak perusahaan sudah  memberikan persyaratan tertentu bagi mahasiswa. Mahasiswa yang ingin mengikuti kegiatan tersebut adalah mahasiswa yang memiliki basic keilmuan yang sesuai dengan perusahan tempat dia magang.

Jadi sangat tidak masuk akal jikalau prodi tidak bisa memberikan kesempatan mahasiswa agar mengikuti program Kampus Merdeka, prodi-prodi seperti ini seakan sedang menjajah mahasiswa.

Bagaimana coba perasan anda melihat rekan-rekan anda di prodi lain mengikuti program Kampus Merdeka, magang di perusahan nasional, memiliki ilmu baru, pergi belajar di universitas lain dan melihat teman-teman kalian bisa mengasah skill mereka bersama dunia industri kemudian mendapatkan konversi 20 SKS hingga mendapatkan gaji dan uang saku dari pemerintah.

Pasti sangat kecewa bukan? yang lain sudah di bulan sedangkan kalian masih terlunta-lunta dijajah dengan sistem perkuliahan di prodi seperti itu. Kebijakan para pimpinan kampus yang tak adaptif dengan perkembangan saat ini, bagi saya mereka adalah golongan dosen-dosen yang kolonial bukan dosen milenial.

Kampus sudah merdeka, tapi masih banyak sekali dosen berwatak kolonial di sana-sini. Katanya kita sudah merdeka belajar, kok aturannya masih menjajah?

Apa Itu Dosen Kolonial? 

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Masih berhubungan dengan Kampus Merdeka, saya juga ingin mengulas sedikit terkait para dosen yang kolonial. Frasa kata "Dosen Kolonial" sengaja saya gunakan dengan maksud menggambarkan watak golongan dosen yang memiliki ciri-ciri layaknya penjajah.

Dosen kolonial sendiri merupakan tipe dosen yang mengatur sistem pada mahasiswanya dengan begitu otoriter. Mereka golongan dosen killer yang tak mau banyak basa-basi dan negosiasi dengan mahasiswa, apapun kebijakan yang dibuat harus diikuti, bahkan mereka merasa maha benar. Berikut ulasan terkait ciri-ciri dosen kolonial, antara lain:

  • Lebih Mementingkan Proyek Luar dan Rapat ketimbang Mengajar Mahasiswa

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Ciri pertama, mereka jarang sekali masuk ke kelas dengan berbagai alasan. Hampir setiap saat ada rapat dan urusan penting yang tak boleh ditinggalkan, mereka menelantarkan mahasiswa begitu saja.

Kebanyakan disibukkan dengan proyek-proyek di luar, sedangkan kelas tak mereka pentingkan. Yang paling penting di sini adalah proyeknya  bisa diselesaikan sementara mahasiswa dilupakan.

Ingat, Pak dan Bu, tugas kalian adalah memberi materi sesibuk apa pun kalian, jangan pernah melupakan mahasiswa. Setidaknya, berikan tugas atau kegiatan lain buat mahasiswa agar bisa mengisi kekosongan yang ada. Usahakan sesibuk apapun agenda yang ada, mahasiswa itu perlu diprioritaskan nomor 1. Urusan rapat dan proyek jangan tiap harilah.

  • Pembelajaran Terkesan Monoton

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Tipe berikutnya merupakan dosen yang begitu kaku dalam proses pembelajaran, tugas datang silih berganti. Bagi saya tak masalah, tapi gaya belajarnya yang perlu diperbaiki, apalagi kuliah online seperti sekarang ini.

Ditambah power point dibuat sudah tak menarik, slide-slidenya hanya paragraf hasil copy paste, terlihat polos  dengan latar putih. Sejam duduk di depan kamera dan menatap layar seperti itu bagaimana mau ngerti? Apalagi cara menerangkannya cuman baca slide di PPT.

Cobalah kreatif jangan baca slide ppt saja, buatlah pembelajaran yang kreatif agar membuat mahasiswa menjadi aktif dan lebih asik di kelasnya. Apalagi pas ujian tiba jawabannya harus benar-benar sama dengan materi yang dia berikan. Mahasiswa lebih banyak dibuat untuk menghafal ketimbang memahami materi.

Bahasa yang digunakan juga tak komunikatif padahal dosen tersebut pintar, tapi terlalu menggunakan bahasa yang sama sekali mahasiswa tak memahaminya sehingga materi yang sebenarnya mudah terkesan sulit saat dibawakan, mahasiswa hanya bisa mendengarkan dengan mata melotot dan kebingungan.

  • Gaptek (Gagap Teknologi)

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Zaman sekarang ini semua dituntut untuk bisa beradaptasi dengan teknologi yang ada, namun dosen tipe ini terkesan pasif, tidak mampu memanfaatkan fasilitas teknologi yang ada untuk memberikan pembelajaran  menarik.

Zaman sudah hi-tech, kok masih gunakan cara-cara lama? Sekali-sekali coba dong manfaatkan Tiktok, Instagram buat menerangkan materi. Kalau memberikan tugas coba dong suruh buat konten Youtube yang berkaitan dengan materi terkait, biar kelas terkesan tak membosankan.

Sekarang sudah ada banyak dosen yang mulai menggunakan media sosial untuk memberikan edukasi kepada mahasiswa dan hal tersebut sangat menarik bagi kalangan anak-anak milenial. Mulai dari berbagai tips dan trik skripsi, beasiswa hingga cara-cara menghadapi dosen.

  • Punya Jurus Menghilang ketika Diperlukan 

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Hal yang membuat mahasiswa tingkat akhir banyak yang terlambat wisuda adalah permasalahan skripsi, bukan karena mereka bodoh atau malas, akan tetapi dosen pembimbing sangat susah dihubungi.

Ketika di Whatsapp tak pernah ada balasan, lagi-lagi cuman dibaca dan tak membalas sepatah kata pun. Ketika di telepon tak pernah direspon.

Mahasiswa dibuat menunggu berbulan-bulan, kasihan Pak dan Bu coba layani dong mahasiswa, dosen itu tugasnya melayani bukan malah lari-lari, golongan ini terlalu idealis tak mengerti latar belakang dan beban mahasiswa, maunya dimengerti tapi tak ingin mengerti kondisi mahasiswa.

Banyak sekali mengkritik skripsi mahasiswa, sering disuruh revisi berulang kali. Padahal jurnal ilmiahnya saja tidak sebanyak revisi dan kritikan yang dia beri.

Kalau misalnya tak niat jadi dosen pembimbing mending mengundurkan diri saja, jangan terlalu buat susah mahasiswa ingat ada karma yang pasti berlaku. Jadilah dosen yang menyenangkan hati mahasiswa, membuat mudah dalam segala urusan, yakinlah di balik dosen baik banyak sekali doa yang mahasiswa panjatkan, tapi di balik dosen killer dan suka buat susah mahasiswa, ada sumpah serapah yang begitu banyak.

  • Tidak Mau Dikritik

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Ketika mahasiswa demo diintimidasi, " Siapa yang berani ikut demo, jangan harap lulus di mata kuliah saya". Mungkin dosen ini ketika jadi mahasiswa hanya kuliah pulang-kuliah pulang.

Selama mahasiswa demo tapi  di setiap kelas anda dia hadir maka biarkan saja, itu kan hak dan kebebasan mereka buat apa dilarang-larang, apalagi diintimidasi. Berikanlah mereka pencerahan biar tak bersikap anarkis saat demo. Saya curiga dosen tipe ini merupakan kaki tangan pemerintah.

Mereka juga tak mau dikritik, tapi suka sekali mengkritik mahasiswa. Siap-siap tak aman anda jika berani memprotes kebijakannya Jangan harap lulus di mata kuliah yang dibawanya. Selama kritik mahasiswa itu baik silakan diterima jangan sok paling benar.

Sering melanggar kesepakatan yang sudah dibuat, apa yang dia bilang harus ikut dan terkadang aturan yang dibuat sepihak tanpa menanyakan pendapat mahasiswa. Misalnya, jadwal kuliah sudah disepakati tapi malah gonta-ganti, teliti dengan absen mahasiswa padahal diri sendiri malas masuk.

Suka membawa masalah pribadi di kampus, makanya saat mengajar suka mood-moodtan, kalau mood jelek siap-siap mahasiswa dimarahin habis-habisan.

  • Tidak Disiplin

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com
Banyak aturan diberikan pas kontrak kuliah, terutama dalam hal disiplin waktu, mahasiswa yang terlambat tidak akan diberi dispensasi. Tapi pas dia yang terlambat dia akan tetap masuk dan memberikan pelajaran malahan pada waktu yang bukan jamnya.

Mereka tidak profesional dalam mendidik mahasiswa. Dari segi waktu sudah tak on time, dalam penilaian cenderung subjektif. Serta yang terakhir sering PHP-in mahasiswa membatalkan kuliah dan masuk kuliah sesuka hatinya tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

Apa Akibat Jika Watak Dosen Seperti Itu Masih Ada di Dunia Kampus?

education-6808072-340-620bb2bfbb44865cc777bb83.jpg
education-6808072-340-620bb2bfbb44865cc777bb83.jpg

Akibat dari watak dosen pada penjelasan di atas membuat dunia kampus terkesan seperti padang pasir tanpa air, benar-benar tandus. Pendidkan tak akan pernah berkembang jika orang-orang tersebut masih ada. Apalagi watak dosen tersebut menduduki jabatan strategis, misalnya kaprodi atau ketua jurusan. Aturan yang dibuat akan sesuka hatinya.Pemerataan pendidikan bukan hanya di sebabkan karena ketersediaan fasilitas pembelajaraan tetapi penyebabnya adalah para pengajar yang tidak mampu beradaptasi dengan sistem kurikulum nasional yang di terapkan oleh pemerintah pusat karena watak dari para pengajar yang kaku dan tak mampu beradaptasi dengan keadaan.

Dunia kampus harus benar-benar berubah total, dosen harus menjadi support system yang baik buat mahasiswa. Antara dosen dan mahasiswa tak boleh ada jarak, saling menghargai dan menghormati itu lebih baik.

istockphoto-1218975578-170667a-620bb2f9bb44863029072704.jpg
istockphoto-1218975578-170667a-620bb2f9bb44863029072704.jpg

Jadilah dosen yang melayani dengan setulus hati, mengerti persoalan yang dialami mahasiswa, ajak dia diskusi jika ada persoalan yang dia alami lalu bimbing dia dengan baik bawalah dia mencari solusi sama-sama.

Ingat, hidup hanya sekali. Jadi orang baik apa susahnya? Mahasiswa harus dianggap seperti anak sendiri, jika sudah dianggap anak sendiri maka jangan dibuat susah. Karena tak ada orang tua yang mau anaknya susah, bukankah begitu?

Mahasiswa dan dosen harus jadi sahabat karib, dosen perlu memperlakukan mahasiswa sebagai kawan berpikir, berkarya dan mengembangkan potensi yang ada dalam meningkatkan prestasi dan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun