Mohon tunggu...
hendra tua
hendra tua Mohon Tunggu... -

seorang pengapdi, tinggal di pulau numbing, sebuah pulau kecil di kepulauan riau,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Jangkrik Bernyanyi

6 September 2011   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar suara malam ketika jangkrik bernyanyi, entah lagu gembira atau kabar kesedihan, pun disaat itu terlihat seorang pemuda berbaju putih bercelana biru duduk diruang tamu, wajahnya seperti menunggu tetapi ini sudah bukan jam tamu, karena jarum jam berkata begitu. Pemuda itu memang tidak menunggu tamu tetapi termenung merenungi arti perjalanan, aku tahu persis karena pemuda itu adalah aku.

Seorang yang masih mencari sesuatu sampai semalam ini, kalau adam berjalan dimuka bumi, tujuannya jelas sangat jelas mencari siti hawa belahan jiwa, bahkan setanpun berada di muka bumi memiliki tujuan yang jelas menggoda manusia, tapi sampai saat ini pemuda berbaju putih bercelana biru itu masih meragu.

Dilahirkan di keluarga biasa dan besar di lingkungan pasar, nasibnya sedikit beruntung karena sekarang dia adalah sarjana. Itu sedikit riwayat hidup pemuda berbaju putih bercelana biru itu yang nyata-nyata adalah aku yang sekarang tengah duduk di ruang tamu tetapi bukan menunggu tamu, tapi tengah mencari sebuah rute yang tepat yang harus ditempuh, semua jalan yang dianggap ideal telah dia coba sesuai dengan kemampuan yang ada tetapi hasil siapa yang bisa duga. Tersedu pun tak menghilangkan mangkal di hatinya hanya kegembiraan semu yang dapat di perlihatkan kepada kedua orang tua yang mengisyaratkan kalau dia adalah anak yang kuat yang ingin membuktikan usaha kedua orang tuanya tiada sia-sia, tapi sekarang pemuda berbaju putih bercelana biru yang tengah duduk di ruang tamu tak kuasa menahan haru, dari kelopak mata keluar air tanpa ia duga, yang jelas itu bukan air mata bahagia dan itupun tanpa suara.

Tuhan kalau boleh aku memohon, tolong jangan cabut dulu nyawaku sebelum aku berguna bagi keluargaku..terlejit sepotong doa dan asa, sebagai penutup kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun