Lalu Ridho pun mengusungkan tangannya menyambut tantangan Toro.
"Oke, deal!!!"
Toro pun menyambut tangan Ridho dan tersenyum. Dalam hati dia menertawai Ridho. Lalu Toro menepuk bahu Ridho mengalihkan perhatiannya.
 "Nah, sekarang buruan. Entar kita nggak ketemu Ibu Mega lagi di rumahnya."
Kebetulan memang mereka berdua bermaksud untuk temui Ibu Mega, Dosen Pembimbingnya.
Dengan terpaksa Ridho menstarter mobilnya dan segera beranjak dari pelataran parkir kampus itu. Ridho merasa berat mengalihkan perhatiannya, sukmanya benar-benar sudah terbetot ama itu cewek. Apalagi Ridho, yang namanya pacaran belum pernah dia lakukan. Lihat cewek yang telah memikat hati, tentu terasa berat untuk meninggalkannya. Kalau dia boleh pilih, ingin rasanya untuk menghampiri cewek yang telah menggoda hatinya itu, ketimbang temui Dosen Pembimbingnya yang dikenal galak. Hati Ridho pun semakin gundah. Apalagi tiba-tiba di tengah jalan, Toro berkomentar.
 "Paling-paling, kamu patah hati Dho?"
"Mengapa pula kamu berkata seperti itu Toro?" Dipandangnya wajah Toro dengan penasaran.
"Aku gak bermaksud ngecilkan hatimu, Dho. Aku hanya sekedar ingatkan kamu. Kayaknya cewek tadi, bukan sembarang cewek deh. Dari gayanya kulihat dia cewek yang sudah matang. Aku yakin banyak cowok yang telah berlabuh di hatinya."
"Alaaa, jangan berprasangkalah kamu, Toro! Sebelum janur kuning menghias di depan rumahnya, berarti kan masih ada peluang, Toro," kilah Ridhco, membesarkan hati. Dia pun tersenyum kecut. Apa pun yang dikatakan Toro, maka Ridho sudah nggak peduli. Dia telah bertetapan hati untuk mengenal itu cewek. Dia pun menduga, paling-paling Toro sengaja untuk melemahkan hatinya saja, agar kalah taruhan.
"Aku kasihan ama kamu, Ridho. Otakmu boleh kuakui, tapi masalah cewek, kamu itu seperti bau kencur. Entar kamu salah pilih lagi," ujar Toro memanas-manasi Ridho.