Menjadi guru ideal?! Bagi seorang guru, siapa yang tidak ingin dikatakan guru ideal, bukan? Kehadirannya selalu dinanti dan dirindu di ruang kelas dan di waktu-waktu senggang oleh peserta didik untuk mendapatkan petuah-petuah berharga. Perkataan dan perbuatannya selalu digugu dan ditiru oleh semua orang, terutama oleh murid-muridnya. Sosok kepribadiannya menjadi suri tauladan bagi semua orang. Namun menjadi guru ideal ternyata tidaklah mudah seperti yang kita harapkan.Â
Walau telah belajar dan dinyatakan menguasai teori didaktika dari institusi keguruan, tetapi dalam praktek di lapangan guru banyak menghadapi kendala untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas.Â
Daya serap peserta didik rendah. Sementara, peserta didik yang berprestasi hanya peserta didik yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata saja. Dengan kata lain, peserta didik yang menonjol prestasinya hanya anak yang memiliki kategori pintar dan cerdas saja.
Dewasa ini, pemerintah sudah berupaya untuk meningkatkan profesionalitas guru dengan memberi bekal pendalaman dan teknik penyampaian materi pelajaran melalui kegiatan diklat, workshop, seminar, lokakarya dan sebagainya. Namun, fakta daya serap peserta didik masih dikategorikan rendah. Apa yang salah? Di mana letak kekurangan guru, sehingga transfer knowledge tidak berjalan secara optimal?
Sebagai guru yang baik tentu merasa miris dan tertantang menghadapi fakta penelitian lembaga survei pendidikan yang menyatakan kualitas dan daya serap pendidikan di Indonesia rendah, seperti hasil laporan penelitian International Education Achieviement (IEA) tahun 2002, menyatakan kemampuan membaca untuk tingkat SD saja Indonesia terpuruk dalam urutan 38 dari 39 peserta studi.
 Sedangkan kemampuan daya serap matematika siswa SLTP kita masuk urutan ke 39 dari 42 negara peserta. Begitu juga untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Indonesia masuk ke dalam urutan 40 dari 42 negara peserta. Laporan ini mengindikasikan secara umum kemampuan daya serap pelajar kita sangat lemah.Â
Setelah beberapa tahun berjalan, ternyata secara umum kemampuan daya serap peserta didik Indonesia tidak jauh berubah. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengutip berita dari UIN Jakarta mengutarakan:
Kualitas pendidikan di Indonesia dinilai masih rendah dan memprihatinkan. Menurunnya kualitas pendidikan tersebut di antaranya karena minat baca masyarakat yang juga masih rendah.
Hal itu diutarakan Prof Dr Ulfah Fajarini, guru besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Antropologi Budaya di Auditorium Harun Nasution, Minggu (5/11/2017). Acara pengukuhan yang sekaligus Wisuda Sarjana ke-106 tersebut dihadiri Rektor UIN Jakarta Prof Dr Dede Rosyada, para guru besar, orangtua, dan peserta wisuda.
Menurut Ulfah, data World Education Ranking yang diterbitkan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) seperti yang dilansir The Guardian, disebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-57 dari total 65 negara di dunia. Sedangkan untuk minat baca, menurut studi Most Litered Nation in the World yang dilakukan Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.
"Hal ini menunjukkan bahwa dalam bidang pendidikan Indonesia memang masih memprihatinkan,"katanya. (http://www.uinjkt.ac.id/id/kualitas-pendidikan-di-indonesia-masih-memprihatinkan/)
Berita Kompas.com, menyatakan:
Hasil riset Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada 2015 mengonfirmasi rendahnya penguasaan Matematika pelajar Indonesia. Negara berpenduduk lebih dari 250 juta orang ini hanya berada di peringkat ke-45 dari 50 negara yang disurvei.
Sebagaimana diwartakan harian Kompas (Kamis, 15/12/2016), dibutuhkan pendekatan baru untuk menggenjot minat pelajar Indonesia terhadap pelajaran Matematika.
"Siswa harus dibiasakan berlatih soal-soal non-rutin, belajar dengan alat-alat peraga, lalu guru mengembangkan metode pembelajaran serta penilaian bernalar," ujar Rahmah Zulaiha, peneliti Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. ()
Melihat kondisi daya serap peserta didik di Indonesia masih dikategorikan rendah ini, apakah guru masih terjebak atau belum dapat melepaskan diri dari pola pembelajaran konvensional yang berfahamkan pendekatan behaviorisme dalam proses pembelajaran?
Pendekatan behaviorisme proses pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered). Sementara peserta didik menjadi objek belajar dan pasif dalam proses pembelajaran. Guru menjadi pusat sumber belajar (informasi). Guru secara monoton akan menginformasikan materi yang diajarkan kepada peserta didik secara verbal atau tulis, peserta didik diminta membaca dan mencatat. Seringkali peserta didik diminta untuk menghafalkan materi yang diperoleh tersebut.Â
Guru memberikan latihan-latihan yang berulang (drill) atau tugas yang terkait materi tersebut secara berulang untuk meningkatkan daya ingat peserta didik. Peserta didik diberi tugas mengerjakan soal-soal dan kemudian diperiksa bersama. Peserta didik yang berhasil dalam latihan-latihan itu akan diberikan hadiah (reward) berupa pujian. Sedangkan siswa yang tidak berhasil akan diberikan hukuman (punishment), seperti mengerjakan tugas yang lebih berat.
Metode mengajar yang berdasarkan pendekatan behaviorisme ini sudah harus ditinggalkan karena tidak mendidik. Peserta didik akan belajar lebih banyak karena terpaksa seperti takut dihukum atau dimarahi oleh pengajarnya. Peserta didik lebih banyak yang terjebak dalam metode belajar menghafal, bukan belajar proses untuk memahami materi pembelajaran.Â
Belajar model ini belum dapat mengembangkan kemampuan berpikir membangun konsep atau pemahaman, tetapi mendorong peserta didik hanya mengingat (memorizing) materi yang dipelajarinya. Keadaan ini akan menyebabkan pemahaman yang dangkal dan akan cepat hilang. Sementara, dalam praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi peserta didik yang menguasai materi pembelajaran sangat kecil sekali.
 Kalau boleh dibilang peserta didik yang mampu melakukan proses pembelajaran dengan baik hanya 10-20 % saja. Itu pun peserta didik yang dikategorikan anak pintar atau anak cerdas saja yang mampu memaksimalkan kemampuannya dengan mengembangkan pembelajaran secara mandiri. Maka tidak heranlah berbagai penelitian menyebutkan pada umumnya daya serap peserta didik di Indonesia masih dikategorikan rendah.
Kini, kita harus meninggalkan pembelajaran konvensional yang berfaham pendekatan behaviorisme dan beralih paradigma pembelajaran dengan mempergunakan pendekatan konstruktivisme.
 Paradigma konstruktivisme yang dikembangkan penggiat pendidikan pada saat ini adalah berupaya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik secara optimal. Dalam membelajarkan peserta didik, peserta didik harus berpartisipasi aktif untuk membangun konsep atau pemahamannya step by step (tahap demi tahap) proses belajar. Kita harus mengembangkan keterampilan belajar (learning skills) peserta didik.
Secara umum, jika ditelaah lebih lanjut masalah rendahnya kemampuan daya serap peserta didik, ternyata sebahagian besar bersumber dari masalah internal dari pelajar itu sendiri. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan R.L. Mooney dan Mary Alice Price di Amerika, menyatakan ada 2 kesukaran yang paling menonjol atau paling banyak dialami pelajar, yaitu:
Tidak tahu bagaimana cara belajar yang efektif (don't know how to study efektively)
Tidak dapat memusatkan perhatian dengan baik (unable to concentrate will).
Menyadari berbagai fakta yang telah dikemukakan di atas, maka tugas seorang guru yang baik adalah berusaha mengembangkan inovasi pembelajaran untuk dapat meningkatkan daya serap dan hasil belajar peserta didik dengan pendekatan yang tepat. Untuk itu, kita selaku guru harus mampu membantu memperkenalkan pembelajaran berbasis learning skills (keterampilan belajar).
Tentu sebagai seorang guru berharap dapat melakukan pembelajaran dengan perasaan gembira. Kalau guru menerangkan pelajaran, maka peserta didik pun "langsung nyambung" dan mudah memahami apa yang dijabarkan. Peserta didik pun betah berlama-lama memusatkan perhatian pada pelajaran.Â
Persoalannya, bagaimana mewujudkan harapan tersebut menjadi suatu kenyataan? Perlu diingat, seorang guru bukan "menjejalkan ikan" terus kepada peserta didik, melainkan memberi "kail" pada peserta didik untuk menangkap "ikan" sendiri, sehingga peserta didik tahu bagaimana cara belajar yang baik dan benar. Peserta didik mengetahui cara mengembangkan strategi belajar yang praktis dan efektif menjadi pelajar yang berprestasi dan memiliki kompetensi unggulan.Â
Guru harus mampu memandu peserta didik menemukan cara belajar praktis dan efektif. Bagaimana langkah-langkah cara membuka pikiran, menggiring pikiran, menyusun kerangka berpikir step by step dan kreatif-inovatif dalam mengembangkan kompetensi diri, mengembangkan metodologi belajar, mencari solusi permasalahan yang menghambat peserta didik untuk dapat melakukan kegiatan belajar dengan mengenali, mengidentifikasi dan menganalisa bentuk hambatan yang mengganggu proses belajar. [Sumber: Menjadi Guru Ideal. Penerapan Pembelajaran Berbasis Learning Skills (dalam proses penerbitan)].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H