Mohon tunggu...
Mochamad HendraSukmana
Mochamad HendraSukmana Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah UPI

Agama diajarkan kepada manusia agar ia memiliki pengetahuan dan kesanggupan untuk menata hidup, menata diri dan alam, menata sejarah, kebudayaan, politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jejak Sejarah Penulisan Lontar

8 Mei 2020   05:51 Diperbarui: 8 Mei 2020   05:50 2978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum ditemukan kertas, sejarah mengenal beberapa media yang digunakan sebagai alat dokumentasi. Beberapa di antaranya adalah batu sabak, bambu, papan kayu, dan daun lontar.

Dokumentasi dengan daun lontar populer digunakan oleh masyarakat daerah Jawa, Bali, Lombok zaman lampau untuk menulis hikayat, aturan adat, serta pencatatan sejarah. 

Daun lontar merupakan sejenis daun palem (Borassus flabellifer). Daun ini diolah sedemikian rupa menjadi alas tulis yang berkualitas. Kata lontar sebetulnya bentukan metatesis dari kata Jawa Kuna ron tal, yang berarti daun tal, yakni daun pohon tal.

Sebelum diproduksi sebagai alas tulis naskah, daun lontar dipilih dan dipetik. Bagi orang Bali, bulan terbaik untuk pemetikan ini adalah bulan Kartika (September/Oktober), Kasanga/Kadasa (Maret/April) sebelum naik bulan purnama. 

Di luar bulan-bulan tersebut kualitas lontar dianggap kurang baik untuk dijadikan bahan tulis. Pohon yang baik terutama yang tumbuh di daerah kering dan di wilayah pesisiran. Hasil akhir produksi daun lontar yang ingin dihasilkan adalah daun lontar yang kering dan tahan terhadap serangga.

Daun yang telah menjadi alat tulis ini ditulisi oleh alat tulis khusus, sejenis pisau yang disebut pengrupak di Bali atau peso pangot di Sunda. Selain digunakan secara luas di Bali dan Jawa, naskah lontar juga pernah dipakai di Sulawesi Selatan yang menyebabkan kemungkinan hubungan antara lontara dan lontar, meskipun saat ini lontara berarti 'naskah' dalam Bahasa Bugis. Dalam Bahasa Bugis, lontar disebut 'ta' dan dalam Bahasa Makassar disebut 'tala'.

Jika di Jawa bentuk naskah lontar berupa lembaran-lembaran terpisah yang disatukan dengan tali pengikat dan dijilid dengan kayu pengapit, di Sulawesi Selatan bentuk naskah lontar betul-betul unik. Ukuran lontarnya bisa mencapai puluhan meter dan lebarnya hanya sekitar 1,5 cm. Panjangnya yang luar biasa ini dijahit dan digulung dalam sebuah gulungan, sehingga bentuk naskahnya mirip dengan gulungan kaset.

Naskah-naskah berbentuk unik khasl Sulawesi Selatan ini jumlahnya sangat sedikit. Untuk menghasilkan lontar sebagai alat tulis, pertama-tama daun yang belum dipotong dikeringkan di bawah sinar matahari yang menyebabkan warnanya berubah kuning pucat. Kemudian daun dicuci pada air mengalir atau dalam bak air yang selalu diganti airnya setiap hari selama tiga sampai empat hari. Setelah itu daun dipotong sesuai ukuran yang diharapkan dan ijuk pada daun dilepaskan.

https://www.perpusnas.go.id/magazine-detail.php?lang=en&id=8199

Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, 2005

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun