Mau tahu mentalitas bangsa Spanyol? Bayangkan saja sebuah kematian dan bagaimana kematian itu menjadi bagian dari kehidupan.Â
Penyair besar Spanyol, Federico Garcia Lorca menuliskan ini dengan baik. Katanya, "In Spain, the dead are more alive than the dead of any other country in the world."Â Karena itulah, orang Spanyol tidak takut akan kematian, sebab kultur dan budaya yang ditanamkan selama ratusan tahun sejarah bangsa membuat mereka menyadari bahwa kematian sudah berkelindan dalam setiap sendi kehidupan mereka.
Saking akrabnya dengan kematian, bahkan hiburan rakyat di sana pun adalah konsep menantang kematian. Matador. Kita semuatahu bahwa pada acara itu, para toreros rela menyabung nyawa melawan serudukan-serudukan banteng. Memang benar, lebih banyak kisah mereka menang, tapi bukan berarti para matador itu aman. Tercatat matador terakhir yang meninggal adalah Ivan Fandino pada 2017. Fandino menambah list lebih dari 500 matador yang meninggal "dalam tugas"
Bahkan jika mereka tidak meninggal pun, selalu ada resiko cacat permanen. Pada 2011 Juan Jos Padilla terkena tandukan banteng hingga kehilangan mata kiri, telinga kanan rusak, dan wajahnya lumpuh. Hal ini dibilang lumrah dan sudah menjadi risiko, bahaya ini dikatakan merupakan inti dari sifat dan daya tarik adu banteng.
Tidak heran jika di setiap arena adu banteng, kita bisa menemukan kapel tempat seorang matador berdoa, dan melakukan sakramen. Sakramen yang paling sering dilakukan oleh seorang matador adalah Extreme Unction atau Last Rites, ritus terakhir. Dari sini saja jelas para matador itu menyadari bahwa kematian mungkin saja sedang ada di depannya, dan sekarang mereka akan bermain-main dengan itu. Ernest Hemingway pernah mengatakan bahwa adu banteng adalah satu-satunya seni di mana senimannya berada dalam bahaya kematian, dan di mana tingkat kecemerlangan pertunjukan diserahkan kepada kehormatan petarung.
Dengan menyadari atau bahkan sampai "mengalami" proses kematian—seperti yang terjadi pada Jos Padilla—bangsa Spanyol diajarkan untuk selalu bangkit. Itulah kenapa hanya lima bulan setelah insiden mengerikan yang dialaminya, Padilla telah kembali ke gelanggang adu banteng lagi dengan penutup mata dan beberapa plat titanium menempel di tengkoraknya. Padilla mencoba bangkit lagi, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Luis Surez Miramontes, legenda sepak bola Spanyol yang membawa negaranya juara Piala Eropa 1964 paham betul tentang mental ini. Peraih Ballon d'Or 1960 yang sepanjang tahun 50-70 an malang melintang di Barcelona dan Inter Milan tersebut menegaskan bahwa mentalitas toreros memang berurat berakar dalam tim Spanyol, "Seperti pemain Brazil tidak bisa lepas dari Samba, demikian pula kami tidak bisa lepas dari mentalitas toreros." Ujarnya.
Dengan mentalitas ini pula Spanyol datang ke Piala Dunia Qatar 2022. Rekor mereka bagus di kualifikasi, menjadi juara grup B dengan mencetak 15 gol dan kebobolan lima. Hanya sekali "kepeleset"1-2 Â ketika meladeni Swedia di Stockholm, dan sekali seri 1-1 dengan Yunani di kandang sendiri. Tapi sisanya Spanyol melesat kencang.Â
Bahkan di partai pembuka, mereka tidak tanggung-tanggung menggulung Costa Rica 7-0.
Namun siapa yang sangka jika kemenangan 7-0 itu seolah menghabiskan seluruh keberuntungan Spanyol dan menandai perputaran siklusnya. Andai saja keberuntungan itu bisa dicicil, saya yakin Spanyol lebih suka menang 3-0 lawan Costa Rica, sementara sisa empat gol yang lain dicicil dan dibagi-bagi saat menghadapi Jerman, Jepang, atau bahkan Maroko. Â Sebab jelas setelah kemenangan besar itu, mesin Spanyol seperti macet. Mereka seolah lupa cara membuat gol, yang mereka ingat hanya oper-operan saja.
Tidak percaya? Beginilah statistik Spanyol setelah partai melawan Costa Rica:
- Melawan Jerman, 634 operan dengan akurasi 85% (Jerman hanya melakukan 344 operan dengan akurasi 78%), 65% penuguasaan bola (Jerman 35%), shot on target hanya 3, jumlah gol: 1
- Melawan Jepang, 1058 operan dengan akurasi 91% (Jepang hanya melakukan 228 operan dengan akurasi 67%), 83% penguasaan bola (Jepang 17%), shot on target hanya 5, jumlah gol: 1
- Melawan Maroko, 1019 operan dengan akurasi 90% (Maroko hanya melakukan 305 operan dengan akurasi 70%), 77% penguasaan bola (Maroko 23%), shot on target hanya 1, jumlah gol: 0
Jadi alih-alih mereka menjadi matador yang menantang kematian di ujung tanduk banteng, dan bermain indah untuk menaklukkan si banteng, tim Spanyol malah seolah jadi matador yang bingung mesti melakukan apa. Sepanjang pertandingan mereka hanya mengoper-mengoper dan mengoper. 1000 kali operan tidak ada gunanya jika tak ada gol tercipta.
Hingga akhirnya nasib pahit melanda. Tadi malam kesebelasan peringkat tujuh FIFA ini harus pulang lebih dulu setelah kalah adu penalti lawan Maroko, sebuah kesebelasan non unggulan asal Afrika yang hanya duduk di peringkat 22 FIFA.
Apakah masa Spanyol sudah habis? Bisa ya bisa tidak, namun kita mesti perhatikan bahwa sebenarnya kematian Spanyol tidaklah ditandai dari kekalahannya semalam, bahkan bukan ketika mereka kalah 1-2 dari Jepang.Â
Sebenarnya kematian Spanyol sudah bisa dibayangkan sejak tahun 2016.
Sebelumnya kita kutip dulu omongan Franco Baresi, legenda AC Milan dan Italia. Bersama tim merah hitam itu, Baresi telah menjalani 532 pertandingan dan mempersembahkan macam-macam gelar bagi klubnya. Lalu bersama Italia, direngkuhnya Piala Dunia 1982. Baresi adalah pemain yang seolah ditakdirkan hidup dalam masa-masa emas. Debutnya di Piala Dunia saja langsung berbuah gelar. Lalu setahun setelah bermain untuk AC Milan, dia langsung bisa juara Serie A.
Meski nyaris selalu diliputi gilang-gemilangnya gelar, namun Baresi menyadari bahwa hal itu tidak akan abadi. "Setiap tim memiliki siklus, dan tugas setiap anggota tim adalah menahan sekuat tenaga agar siklus itu tidak segera berputar." Begitu katanya.
Senada dengan itu, di piala dunia kali ini kita mendengar keluhan yang sama dari Kevin de Bruyne. Pemain tengah Belgia itu mengeluhkan kondisi timnya sendiri. "Tidak mungkin," katanya ketika The Guardian bertanya kepadanya apakah Belgia bisa memenangkan Piala Dunia. "Kita terlalu tua. Peluang kami ada di tahun 2018. Kami memiliki tim yang bagus, tetapi sudah menua. Kami kehilangan beberapa pemain kunci. Kami memiliki beberapa pemain baru yang bagus, tetapi mereka tidak berada di level pemain lain di tahun 2018." Ujarnya.
Kabarnya, komentar de Bruyne ini bikin panas kamp pelatihan Belgia. Sampai dia, Eden Hazard dan Jan Vertonghen berkelahi hingga harus dipisah oleh Romelu Lukaku. Namun apapun itu, kita mesti akui de Bruyne mungkin benar. Dia sedang bicara tentang siklus. Puncak generasi emas Belgia adalah tahun 2018, tapi di saat itu pun mereka tidak bisa memenangkan apapun. Hanya sampai ke peringkat ketiga Piala Dunia 2018. Sekarang lihat saja, usia Mignolet, Alderweireld, Vertongen, Meunier, Witsel, Hazard, dan bahkan de Bruyne sendiri sudah di atas 30 tahun, belum tentu mereka bisa main di Piala Dunia 2026. Siklus Belgia sedang meluncur ke bawah, pemain-pemain itu sudah "terlalu tua" untuk menahan perputaran roda siklus nasib.
Itu terjadi juga pada Spanyol. Tim matador adalah bukti nyata siklus itu ada, bahkan lucunya perputaran roda siklus Spanyol itu terjadi begitu cepat. Kadang malah membingungkan. Seperti saat ini, orang masih bisa mengenang Spanyol sebagai juara dunia 2010 setelah memainkan sepak bola indah di final melawan Belanda. Jadi kenangan itu belum terlalu lama, masih sangat jelas. Tapi kenangan itu rusak karena di Qatar, mereka mesti menunduk malu setelah dilibas Jepang dan Maroko.Â
Orang jadi gampang bertanya-tanya: Ada apa dengan Spanyol?
Siklus Spanyol selalu berputar dengan cepat. Setelah juara Eropa 2008, juara dunia 2010 dan juara Eropa (lagi di) 2012, mereka langsung berantakan di turnamen 2014, 2016, dan 2018. Tidak bisa menembus babak grup di Piala Dunia 2014, bahkan ditandai kekalahan memalukan 1-5 atas Belanda yang empat tahun lalu masih bisa mereka kangkangi. Hanya sampai babak 16 besar di Piala Eropa 2016 setelah ditekuk Italia 0-2. Dan juga hanya sampai babak 16 besar di Piala Dunia 2018 setelah ditekuk Russia lewat adu penalti.
Kematian seolah melanda Spanyol, kehormatan mereka sebagai raja Eropa dan penguasa Piala Dunia rusak berat. Namun seperti mental toreros, kematian adalah sesuatu yang harus dijalani untuk memperoleh kebangkitan. Â
Legenda Spanyol, Fernandez "Gallego" Rodrguez yang membawa Spanyol juara Eropa 1964 mengamini hal itu. Dia mengungkit mentalitas orang Spanyol setiap berada di ambang kematian. "Selalu, setiap kita tergeletak di jurang maka kita pun melahirkan keajaiban." Ujarnya.
Wajar Gallego mengeluarkan pernyataan itu. Sebab di masa Gallego bermain, gelar juara Eropa 1964 diraih saat Spanyol baru keluar dari siklusnya. Bayangkan saja, mereka tidak lolos kualifikasi Piala Dunia 1954 dan 1958, lolos ke Piala Dunia 1962 pun hanya sampai babak grup saja. Namun ternyata dengan tim yang tidak diunggulkan seperti itu, mereka tiba-tiba bisa juara Eropa 1964! Wah!
Itulah mental toreros, kebangkitan dan kekuatan saat ada di ambang kematian!
Mental itu pula yang dicanangkan oleh mereka pasca pulang dari Russia 2018. Berbagai perubahan dilakukan, termasuk menunjuk Luis Enrique sebagai pelatih. Kritik demi kritik jadi makanannya sehari-hari, tapi Enrique tidak peduli, di pundaknya ada beban berat yaitu membangkitkan Spanyol dari kematian.
Di Piala Eropa 2020, dia dihajar habis oleh media dan masyarakat Spanyol—terutama fans Real Madrid—karena sama sekali tidak menyertakan pemain Madrid di timnya. Sebagai bintang yang menutup karirnya di Barcelona, dia dituding sebagai orang yang anti-Madrid. Sesuatu yang mengherankan karena Enrique juga pernah jadi punggawa Real Madrid pada 1991-1996. Namun Enrique membungkam semua pengkritiknya, dibawanya Spanyol ke semifinal, mereka ditekuk Italia lewat drama adu penalti. Tidak buruk untuk sebuah tim yang baru mulai bangkit.  Â
Luis Enrique meneruskan eksperimennya. Hasilnya terus menanjak. Dibawanya Spanyol jadi runner-up UEFA Nation League 2021. Meski kalah 1-2 dari Perancis tapi prestasi Spanyol di ajang itu sangat meyakinkan, salah satunya bahkan menggebuk Jerman 6-0.
Lanjut ke babak kualifikasi Piala Dunia 2022, hasilnya juga meyakinkan.Â
Hingga akhirnya tibalah putaran final Piala Dunia. Lagi-lagi kritik diterima Enrique atas pilihan pemainnya. Bagaimana bisa untuk ajang sekelas Piala Dunia, dia tidak memanggil Sergio Ramos? Kapten Spanyol sekaligus pemilik caps terbanyak!Â
Menanggapi kritik itu, Enrique hanya mengangkat bahu, baginya Ramos tidak meyakinkan. Karena cedera lututnya membuat Ramos hanya tampil 21 kali di klub, "Dia tidak mampu tampil rutin musim ini dalam kondisi terbaik, khususnya setelah Januari," ujar Enrique seperti dikutip ESPN.
Semua orang bisa paham, apalagi Enrique berulang-ulang menegaskan jika kebugaran jadi faktor penting pemilihan timnya. Namun semua orang juga jadi mengerutkan kening heran ketika dia malah memanggil Jordi Alba. Padahal Alba sudah tidak menjadi pemain starter di Barcelona! Usia Alba juga sudah 33 tahun. Apa sih maksudnya Enrique?
Bukan cuma itu, pemilihan lini depan timnas Spanyol juga dinilai mengkhawatirkan. Pasalnya dari semua penyerang yang dibawa, tidak ada satu pun yang terbilang subur. Penyerang tersubur yang dibawa Luis Enrique cuma Alvaro Morata yang baru mencetak lima gol. Namun lagi-lagi Enrique cuek bebek, "Pesan saya (bagi mereka yang tak dipanggil) adalah terima kasih. Saya tahu ini adalah kekecewaan," ujarnya santai.
Baiklah, terserah pelatih saja. Toh Enrique tahu apa yang dia lakukan.Â
Hingga dia membungkam lagi semua pengkritiknya setelah kemenangan 7-0 di partai pemuka. Semua puas, semua kembali memuji Spanyol. Hanya satu hal yang tidak disadari, ternyata kemenangan itu menghabiskan semua "jatah keberuntungan" Spanyol. Setelah itu, mereka kembali terjerembab dalam kematian. Terhenti di babak 16 besar, dikalahkan Maroko. Bahkan sebelumnya dikalahkan Jepang. Â Pada saat dikalahkan Jepang itulah jelas ada kehormatan yang tercabut dari nama besar tim matador.
Nah, sekarang Spanyol sudah angkat koper dari Qatar. Mereka harus mulai siaga menyadari kemungkinan siklus mereka terus menurun. Dalam kondisi ini Spanyol harus percaya pada mentalitas toreros yang mereka punya. Mentalitas untuk bangkit dan menjadi kuat dalam bayang-bayang kematian.
Maka kita tunggu saja di turnamen berikutnya, apakah Spanyol masih terpuruk, atau malah bisa bangkit dari abu dan kembali pada kegemilangannya?
Salam olah raga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H