Mohon tunggu...
Hendra Purnama
Hendra Purnama Mohon Tunggu... Freelancer - Seniman yang diakui negara

Penulis yang tidak idealis, hobi menyikat gigi dan bernapas, pendukung tim sepakbola gurem

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Piala Dunia 2022: Usaha Kolektif Menyelamatkan Muka Asia

3 Desember 2022   08:12 Diperbarui: 3 Desember 2022   14:05 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, selesai sudah babak grup Piala Dunia 2022. Setelah ini, enam belas tim dipastikan harus saling bunuh di putaran kedua. Tiga diantaranya adalah negara perwakilan Asia, yaitu Korea Selatan, Australia dan Jepang. Sementara perwakilan Asia lain yang harus puas jadi penonton adalah Iran, Arab Saudi, dan tuan rumah Qatar.

Lucunya, jika merujuk pada wilayah geografis, sebenarnya hanya Korea Selatan dan Jepang yang sah disebut perwakilan Asia. Sebab Australia bukan benar-benar "orang Asia". Awalnya mereka ada di zona OFC dan baru masuk lewat kualifikasi AFC tahun 2006. Namun marilah hal di atas kita jadikan lelucon saja. Sebab siapapun, asal sesuai dengan aturan yang berlaku dan lewat prosedur yang sah, boleh dan layak disebut sebagai wakil Asia. Apalagi, faktanya, Australia sendiri memiliki "karakter Asia" dalam diri tim nasionalnya.

Apa karakter tim nasional negara-negara Asia yang paling kentara? Sederhana: negara-negara di Asia selalu memiliki pemain yang bagus secara individu, mengejutkan banyak orang bahkan di level Eropa sekalipun, tapi tidak selalu baik jika disatukan dalam kesebelasan.

Mau bukti? Kita bisa sisir satu-satu pemain Asia yang menjadi buah bibir di Eropa. Ingin mulai dari mana?

Ada Shunsuke Nakamura, pemain Jepang yang nyaris dikultuskan oleh fans Celtic. Ada Ali Daei, pemain Iran yang kenyang malang melintang di Jerman untuk Bayern Muenchen, Hertha BSC, dan Arminia Bielefeld. Ada juga Park Ji Sung, pemain Korea Selatan yang jadi kesayangan Sir Alex Ferguson. Kemudian ada Shinji Okazaki yang berperan besar mengantarkan Leicester City juara Premiere League 2015/16. Ada Hidetoshi Nakata, playmaker andalan AS Roma, dan tentu saja kita kenal Heung-Min Son yang diakui sebagai salah satu penyerang terbaik di Premiere League.

Australia pun memenuhi "persyaratan" ini, meski memang saat ini tidak ada pemain yang benar-benar menonjol dari sana, tapi Australia terkenal sudah menelurkan banyak legenda seperti  Mark Schwarzer, Tim Cahill, Harry Kewell, Mark Bosnich, Mark Bresciano, atau Mark Viduka yang sudah sering terdengar kiprahnya di klub-klub besar Eropa.

Intinya, Asia tidak pernah alpa menyetorkan talenta-talenta ke Eropa. Namun ketika pemain-pemain itu disatukan dalam tim nasional, keajaiban mereka seolah teredam dengan sendirinya.

Faktanya, sejak pertama kali Piala Dunia digelar, sudah 13 negara mewakili Asia, namun hanya lima yang pernah merasakan lolos dari babak penyisihan grup. Dari sana, hanya dua negara yang bisa menyentuh (minimal) perempat final. Masing-masing Korea Utara pada 1966 dan Korea Selatan ketika jadi tuan rumah tahun 2002. Sisanya, tiga negara lain: Jepang, Australia, dan Arab Saudi seringkali terhenti di putaran kedua.

Sebagai perbandingan, kita bisa lihat perwakilan-perwakilan Afrika.

Sejak pertama kali Piala Dunia digelar, sudah 13 negara mewakili Afrika. Dari sana ada enam negara yang pernah merasakan lolos ke putaran kedua, dan tiga diantaranya bisa menembus (minimal) perempat final, yaitu Ghana, Senegal, dan Kamerun. Sisanya, tiga negara lain: Nigeria, Maroko, dan Algeria selalu terhenti di putaran kedua.

Image: dokpri
Image: dokpri

Oke, sekilas tampak Asia hanya kalah tipis dari Afrika. Namun jika dilihat konsistensi, Asia kalah telak.

Buktinya, sejak 1986 selalu saja ada perwakilan Afrika yang lolos ke putaran kedua. Perwakilan Afrika hanya absen di putaran kedua pada 2018. Lalu sejak tahun 1990, Afrika sudah tiga kali mengirim wakilnya ke perempat final. Sebaliknya dengan Asia, jika tidak ada "privilege" tuan rumah di 2002, bisa dibilang terakhir kali Asia mampu mengirimkan perwakilan di perempat final adalah tahun 1966. Sudah lama sekali. Lagipula sejak 1994 terhitung perwakilan Asia absen tiga kali di putaran kedua, yaitu pada gelaran 1998, 2006, dan 2014.

Karena itulah tidak heran jika pada setiap Piala Dunia, ada harapan lain terhembus yaitu usaha menyelamatkan muka Asia di panggung dunia. Di samping menjaga harkat dan martabat negara sendiri. Lambat laun semangat ini jadi usaha kolektif bersama. Siapapun negara Asia yang lolos ke putaran final, wajib ikut menjaga kebanggaan benuanya di panggung dunia.

Misi yang sulit karena secara historis, Piala Dunia telah menjadi duopoli Eropa dan Amerika Selatan. Tidak ada tim dari luar kedua benua tersebut yang pernah jadi juara. Satu hal yang bisa dituding menjadi biang keladi ketimpangan ini, salah satunya adalah persoalan alokasi slot setiap konfederasi. FIFA memang punya hitung-hitungan sendiri soal ini, namun hasil hitungan mereka malah membuat tidak ada kemerataan alokasi jumlah peserta. UEFA punya jatah paling banyak dengan 13 tim, konfederasi lain berkisar antara 4-5 tim, tergantung hasil playoff. Kecuali OFC yang hanya kebagian jatah "setengah" karena juara kualifikasi masih harus melakukan playoff dengan perwakilan konfederasi lain.

Alokasi slot Piala Dunia memang kental dengan masalah politik, sampai ada pendapat yang mengatakan bahwa secara umum Eropa memiliki tim yang lebih baik sehingga harus diberi slot lebih banyak. Sebuah pendapat yang bisa diperdebatkan. Apalagi jelas ini membuat kemungkinan Asia bicara di pentas dunia cukup kecil. 

Soalnya, bagaimana bisa bersaing jika dari awal saja slot peserta dibatasi?

Begitu juga jatah tuan rumah. Sudah rahasia umum kalau tuan rumah selalu punya keuntungan tersendiri baik teknis atau non teknis. Keuntungan ini membuat (biasanya) prestasi tuan rumah bisa lebih baik. Masuknya Korea Selatan ke semifinal di 2002 juga disebut-sebut karena mereka main di kandang sendiri. Namun, urusan tuan rumah juga dirajai oleh Eropa. Sejauh ini, AFC baru kebagian dua kali jadi tuan rumah, CAF malah baru sekali, CONMEBOL lima kali, OFC sama sekali belum pernah, dan CONCACAF empat kali. Bandingkan dengan UEFA yang sudah kebagian sebelas kali. Terasa cukup jomplang, bukan?

Namun peraturan tetap peraturan, daripada mengeluh memang lebih baik kita berjuang dengan apa yang dimiliki saat ini. Begitu pula wakil-wakil Asia. Kuota yang sedikit dari FIFA selalu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengusung misi yang sama. Ditambah lagi, kondisi ini membuat kita harus mau mensyukuri keuntungan apapun yang didapat.  Seperti pada gelaran 2022. Akibat Qatar jadi tuan rumah maka Asia jadi punya enam perwakilan, terbanyak sepanjang sejarah Piala Dunia. Melihat angka ini Presiden AFC Sheikh Salman bin Ibrahim Al Khalifa langsung menegaskan kegembiraannya. "Ini memang waktu Asia!" Ujarnya.

Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa Sheikh Salman bicara bukan tentang negara, namun mewakili satu benua. Semua tahu apa yang dia maksud, keinginan Asia membuktikan diri, bahwa benua ini tidak bisa dipandang remah dan main-main lagi.

Mungkin karena itu pula, perjalanan wakil Asia di Piala Dunia Qatar 2022 sejauh ini cukup menggembirakan.

Meski awalnya tak terlalu bagus, karena Qatar yang sering diremehkan malah memperkuat "remehan" itu dengan menyerah 0-2 dari Ekuador di pertandingan pembuka. Ditambah Iran yang sebenarnya memiliki sejarah kuat di Piala Dunia malah dicukur 2-6 oleh Inggris. Lalu seperti belum cukup, Australia juga digasak 1-4 oleh Perancis. Namun di pertandingan berikut-berikutnya, tim-tim lain mulai bangkit. Ditandai dengan Arab Saudi yang mengalahkan Argentina 2-1. Lalu Jepang ikut-ikutan melibas Jerman 2-1. Kemudian Korea Selatan menahan seri Uruguay 0-0.

Orang-orang pun mulai berpaling menatap para perwakilan Asia. Mereka mulai penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya. Apalagi setelahnya, Iran bangkit dari keterpurukannya dengan menghajar Wales 2-0. Semua orang makin penasaran lagi. 

Wakil-wakil Asia sempat terpuruk sebentar di pertandingan kedua. Qatar harus pulang duluan akibat dikalahkan Senegal 1-3, Arab Saudi ditekuk Polandia 0-2, Jepang kalah tipis 0-1 dari Costa Rica, dan Korea Selatan juga harus mengakui keunggulan Ghana 2-3. Saat itu Hanya Australia yang bisa sedikit menyelamatkan muka Asia lewat kemenangan 1-0 atas Tunisia.

Namun akhirnya, Asia membuktikan dirinya dengan gilang-gemilang.  Meski Qatar, Arab Saudi, dan Iran harus angkat koper tapi perwakilan Asia lain berhasil menjawab keraguan dengan cara yang tidak main-main.

Australia meredam dinamit Denmark 1-0 dan menemani Perancis ke babak berikutnya.

Jepang secara tidak terduga menjadi juara grup E setelah mengalahkan Spanyol 2-1. Selain mengangkangi Jerman dan membuat der panzer harus rela back to back tidak lolos ke babak kedua, negara matahari terbit ini boleh bangga karena tercatat bisa mengalahkan dua raksasa bola, Jerman dan Spanyol hanya dalam waktu kurang dari dua minggu saja.

Terakhir, Korea Selatan juga tidak mau kalah. Dalam pertandingan penutup grup H mereka melibas Portugal 2-1 meski di sana bermain sang mega bintang Cristiano Ronaldo. Mereka lolos ke babak berikutnya sekaligus memaksa dua kali juara dunia, Uruguay pulang duluan sambil menangis.

Pencapaian tiga negara ini diapresiasi banyak pihak, dan secara tidak langsung orang-orang mulai bicara soal sepak bola Asia, bukan lagi negara per negara. Salah satunya adalah pernyataan dari pelatih Jepang, Hajime Moriyasu usai timnya mengalahkan Spanyol. "Kami mencapai standar global dan kapasitas maksimal kami dari sepak bola Asia!" Ujarnya.

Perhatikan, alih-alih mengatakan "sepak bola Jepang", Moriyasu memilih frase sepak bola Asia. Karena selain menujukkan bahwa Jepang sudah layak bermain di level Asia, pernyataan ini juga menunjukkan bahwa di luar prestasi negaranya, ada sesuatu yang lebih besar yang harus diusung, yaitu Asia. Sepak bola Asia adalah sepakbola yang pantang menyerah, "Ketika kami kebobolan, kami terus maju. Kami harus gigih, tangguh sampai akhir dan memanfaatkan momentum kami!" Lanjut Moriyasu.

Maka jelas, inilah sepakbola Asia yang sesungguhnya, inilah semangat Asia yang diharapkan oleh semua, dan hal ini juga lah yang terus berusaha dijaga oleh perwakilan Asia yang tersisa di Piala Dunia Qatar 2022. Semua demi kehormatan Asia di panggung dunia.

Salam olah raga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun