Tapi itu dulu....
Sekarang jangan tanya, Jepang adalah langganan turnamen di mana-mana. Sejak 1998, mereka selalu lolos ke Piala Dunia , tiga kali mencapai babak 16 besar di 2002, 2010, dan 2018. Begitu juga sejak 1988, mereka langganan Piala Asia dan bisa jadi juara empat kali di 1992, 2000, 2004, dan 2011. Lima kali main di Piala Konfederasi, bahkan diundang berpartisipasi ke Copa America 1999 dan 2019.
Timnya juga benar-benar mengerikan, para pemainnya bertaburan di Eropa, dan bukan main di tim-tim kecil, kita sebut saja saat ini ada Takehiro Tomiyasu (Arsenal), Maya Yoshida (Schalke 04), Eiji Kawashima (Strasbourg), Ko Itakura (Borussia Mnchengladbach), Takumi Minamino (AS Monaco), Takefusa Kubo (Real Sociedad), Hidemasa Morita (Sporting CP), dan Daizen Maeda (Celtic) sebagai punggawa-punggawa Jepang yang merumput di klub besar Eropa.
Semua diraih dengan perjuangan yang tidak mudah. Pada Piala Dunia pertama mereka, Jepang mengandalkan 100% pemain lokal dan mesti puas menelan tiga kekalahan di grup H dari Argentina, Kroasia, dan Jamaika. Namun setelah itu, pada turnamen-turnamen berikutnya, Jepang mulai konsisten memberi kejutan. Misalnya dengan melibas Russia 1-0 dan menahan seri Belgia 2-2 di turnamen 2002. Menghajar Kamerun 1-0, Denmark 3-1 dan memaksa Paraguay adu penalti di turnamen 2010. Hingga puncak kejutan mereka adalah mengandaskan Jerman 2-1 di pertandingan semalam.
Bisa dibilang, ini adalah kemenangan pertama Jepang di Piala Dunia saat melawan negara-negara dengan kultur sepakbola kuat. Sebab biasanya Jepang akan bertekuk lutut jika bertemu negara seperti Argentina, Brazil, atau Belanda di Piala Dunia. Namun kali ini tidak.
Lupakan semua analisis taktik dan strategi. Ya, Hajime Motiyasu, pelatih Jepang pasti memikirkan itu, tapi komentarnya setelah mengandaskan Jerman ternyata lebih mencerminkan prinsip Bushido. "Sejak awal kami memutuskan untuk agresif, namun agresi Jerman lebih tinggi. Ini tidak mengejutkan bagi kami. Namun skuad kami sangat cerdas, mereka pintar. dan bermain bagus dengan gigih. Mereka berjuang sangat keras." ujarnya.
Perhatikan hal yang disebut Motiyasu: kegigihan dan kerja keras.Â
Itu adalah bagian dari prinsip Bushido. Dari tujuh prinsip Bushido, salah satunya adalah makoto, artinya saat seorang pejuang akan berlaga, maka dia harus melakukannya sebaik yang ia mampu. Tidak ada yang bisa menghentikan perjuangannya sampai titik darah penghabisan. Tak kalah penting dari itu adalah yuuki, artinya sembunyi seperti kura-kura dalam cangkang bukan sifat seorang pejuang. Seorang pejuang harus memiliki semangat juang yang heroik dan siap mengambil resiko.
Maka jika ada yang menonton pertandingan semalam, kita bisa melihat betapa tabahnya kiper Shuichi Gonda menahan gempuran pemain-pemain Jerman. Tercatat dia bisa menahan delapan shot on target sepanjang pertandingan, bahkan salah satunya adalah shot empat kali beruntun dalam 20 detik, masing-masing tiga dari Serge Gnabry dan satu dari Kai Harvetz. Ketabahan itu juga ditunjukkan seluruh punggawa timnas Jepang. Ketika mereka harus tertinggal dari gol penalti Ilkay Gundogan di menit 33', semangat mereka tidak surut, mereka terus berjuang mencari peluang.
Mereka menerapkan makoto secara terus menerus, berjuang sampai titik darah penghabisan, menyerang dan menyerang mengejar ketertinggalan, mereka tidak takut pada nama besar Jerman. Jepang tidak mau sembunyi seperti kura-kura dalam cangkang. Ada harga diri bangsa yang perlu diselamatkan.